4 Tahun Anies Gubernur, LBH Jakarta Beri 10 Rapor Merah, Ferdinan : Ada yang Bisa Bantah Anies Bohong demi Pilkada ?

4 Tahun Anies Gubernur, LBH Jakarta Beri 10 Rapor Merah, Ferdinan : Ada yang Bisa Bantah Anies Bohong demi Pilkada ?
Gubernur DKI Anies Baswedan (Liputan6.com/Faizal Fanani)

JAKARTA, mediakita.co- Pegiat media sosial dan mantan politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahean menanggapi pemberian rapor merah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kepada Anies Baswedan sepanjang 4 tahun memimpin Jakarta.

Menurut Ferdinand, selain 10 catatan yang menjadi rapor merah bagi Anies, LBH juga menyoroti penyelenggaraan rumah yang semmula diperuntukan bagi warga berpenghasilan 4-7 juta yang belakangan kemudian diubah menjadi strata berpendapatanan 14 juta.

“Selan itu, LBH menyoroti penyelenggaraan rumah yang pada awalnya diperuntukan kepada warga berpenghasilan strata pendapat 4-7 juta, kemudian diubah menjadi strata pendapatan 14 juta. Ada yang bisa bantah? Anies berbohong demi pilkada?,” kata Ferdinand Hutahaean, melalui kaun pribadinya @FerdinandHaean3, Senin (18/10/2021).

Memang, pemberian rapor merah kepada Anies ini tergolong cukup mengejutkan. Pasalnya, Pengacara LBH Jakarta, Charlie Albajili, menyebut ada 10 rapor merah untuk Gubernur Anies.

“LBH Jakarta menyoroti sepuluh permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta dan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta,” kata Charlie Albajili, Senin, (18/10/2021).

Bacaan Lainnya

10 Catatan Merah

Pertama, buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sebagaimana yang ditetapkan oleh PP No. 41/1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.

Penyebabnya adalah karena Pemprov DKI Jakarta abai dalam melakukan pencegahan dan penanggulangannya.

Kedua, sulitnya akses air bersih di Jakarta karena swastanisasi air. “Permasalahan ini utamanya dapat ditemui pada pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota”.

Ketiga, penanganan banjir yang dinilai belum mengakar pada penyebab banjir. Karena banjir di Jakarta tidak hanya satu tipe banjir saja. Namun ada tipe banjir hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur dan banjir kombinasi.

Keempat, penataan kampung kota yang belum partisipatif. Community Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipasi warga. Salah satu contoh penerapan penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP adalah Kampung Akuarium.

“Rencana aksi ini merupakan salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan saat menjadi kontestan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam”.

Namun kenyataanya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal layak bagi warga Kampung Akuarium.

“Kelima, ketidakseriusan Pemprov DKI dalam memperluas akses bantuan hukum,” katanya.

Kekosongan aturan inilah yang melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Dan penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum,” ungkapnya.

Keenam, sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta.

Ketujuh, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemprov DKI terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain,” tambahnya.

Delapan, penanganan pandemi yang masih setengah hati mengingat Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.

Kesembilan, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.

“Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM,” ujarnya.

Terakhir, LBH mencatat reklamasi masih berlanjut.

Pos terkait