HALUT, Mediakita.co,- Sekilas terngiang lirik lagu “ISI RIMBA TAK ADA TEMPAT BERPIJAK LAGI”, dari Sang Maestro Iwan Fals, “Raung buldozer gemuruh pohon tumbang…..Berpadu dengan jerit isi rimba raya tawa kelakar badut-badut serakah…..Dengan HPH berbuat semaunya…Lestarikan alam hanya celoteh belaka….”.
Lantunan lirik lagu tersebut, seolah mewakili jeritan Masyarakat Adat Tobelo Dalam (Suku Tugutil), yang tergusur akibat pembukaan perusahaan tambang nikel di Hutan Akejira, Halmahera Tengah.
Hutan Akejira merupakan wilayah adat Tobelo Dalam yang selama ini menjadi rumah dan habitat Suku Tugutil. Mereka sangat menggantungkan hidup dari kekayaan hutan. Saat ini, diketahui tinggal 8 orang Suku Tugutil yang menempati pedalaman Hutan Akejira, sedangkan lainnya telah beradaptasi dan menyatu dengan peradaban masyarakat pesisir di sekitarnya, namun demikian, sesekali mereka juga kembali hidup di hutan secara nomaden.
Pembukaan lahan tambang oleh PT Weda Bay Nikel (WBN), yang dikerjakan oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), mengusik kehidupan Suku Tugutil Akejira yang masih tinggal di hutan.
Masyarakat Adat Tobelo Dalam Akejira ini, sebelumnya tidak pernah mendapatkan informasi dari pihak perusahan maupun pemerintah terhadap wilayah adat mereka yang ditetapkan sebagai kawasan penambangan, maupun pembukaan jalan untuk mendukung aktifitas penambangan tersebut.
Sejumlah warga masyarakat adat Tobelo Dalam Akejira yang telah hidup menetap di perkampungan pesisir bersama-sama dengan tim AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menyusuri hutan Akejira untuk bertemu dengan kelompok sukunya yang masih tinggal di hutan tersebut, Senin (26/08/19). Pertemuan itu, untuk mengecek keberadaan mereka, sekaligus mengabarkan pelaksanaan pembangunan jalan yang dikerjakan oleh perusahan tambang.
Informasi yang mereka dapat, membuat mereka khawatir dan was-was karena kegiatan tersebut berada di wilayah adat yang selama ini jadi tumpuan mereka tinggal dan mencari makan.
Masyarakat Tobelo Dalam Akejira melakukan pemalangan jalan perusahan yang menembus areal mereka di Mein serta membentangkan spanduk larangan kepada perusahan melakukan kegiatan pembukaan jalan dan penambangan, Senin (09/09/19). Malamnya, pihak perusahan WBN dan IWIP beserta anggota dari TNI dan Polri membubarkan demo itu.
Adu pendapat terjadi antara pihak perusahan dan masyarakat adat. Perusahan berdalil bahwa kawasan tersebut merupakan Hutan Negara, dan masyarakat adat Tobelo Dalam tidak memiliki hak apa-apa atas wilayah tersebut.
Bahkan ada salah satu dari pihak perusahan tersebut yang menyebut dirinya sebagai pegawai kehutanan, menggunakan UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup untuk memantahkan pendapat dan klaim masyarakat adat.
Pembukaan lahan pertambangan tersebut sangat berpotensi menghilangkan entitas dan budaya masyarakat adat Tobelo Dalam Akejira. AMAN Maluku Utara berpendapat bahwa keputusan sepihak perusahaan PT WBN dan PT IWIP telah melanggar beberapa ketentuan hukum dan kesepakatan yang berlaku terkait dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat, antara lain: Konvensi ILO 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat, Deklarasi PBB Tahun 2007 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. , Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 35/PUU-X/2012 yang menegaskan Hutan Adat (tak terkecuali Hutan Adat Tobelo Dalam Akejira) bukan Hutan Negara, dan tidak melaksanakan Free, Prior, Informed and Consent (FPIC) yang menjadi prinsip dasar dalam pembangunan yang dilangsungkan di wilayah adat.
“Penambangan janganlah melanggar HAM dan memusnahkan komunitas masyarakat adat yang selama ini dengan arif telah menjaga kelestarian hutan. Sebaiknya, Pemda harusnya melindungi kelompok minoritas masyarakat Adat Tobelo Dalam Akejira untuk tidak menjadi korban perusakan lingkungan, dan menggusur mereka dari wilayah miliknya”, Ungkap Saviske Talangamin, Aktifis KAHERA (Komunitas Anak Halmahera).
Penulis: Paulus Tri Arso / mediakita.co