Jejak Sejarah Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

Jejak Sejarah : Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang
Gapura Pintu Masuk Wisata Pangeran Purbaya Desa Surajaya

oleh : Bambang Mugiarto

Bagian 2 (Tamat) 

Purbaya juga tak habis pikir, hampir semua ilmu yang diajarkan kakeknya, Ki Ageng Giring juga masih bisa diihalau dengan jurus-jurus yang dimiliki Paselingsingan. Ia masih terngiang pesan ibunya mengapa harus belajar ilmu kanuragan dari eyang Giring.

Suatu ketika ibunya bercerita, bahwa ayahnya, Ki Ageng Giring adalah sosok yang sangat disegani. Dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi. Karena itulah maka Ki Ageng Giring selalu menjalin hubungan persahabatan dengan Ki Ageng Pemanahan. Karena keduanya sering bersama-sama menimba ilmu kanuragan. Dan Keduanya, menurut ibunya, masih keturunan dari Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Giring adalah keturunan Brawijaya IV, sedangkan Ki Ageng Pemanahan masih keturunan dari Brawijaya V.

“ Paselingsingan, kau memang kesatria yang digjaya dan pilih tanding”, katanya dalam hati.

“Kau memang hebat kisanak, tapi tidak mungkin bisa mengelahkan aji-aji pamungkasku nanti, tunggu saja Paselingsingan”, ungkapnya mendesah, tapi mulutnya nampak sedikit meringis menahan sakit karena luka dalam dan meredam kekesalannya dalam hati.

Bacaan Lainnya

Ia membalikan badannya. Nampaknya ia begitu gelisah, wajahnya pucat, hanya karena kesaktiannya, maka wajah ketangguhannya tak terkalahkan oleh luka dan sakitnya. Seharian ia bertarung habis-habisan, hahkan dari beberapa hari yang lalu. Ia sejatinya sangat kelelahan. Dikeluh dan gelisah hatinya yang tak terucap, Purbaya mencoba menenggelamkan seluruh angan dan risau hatinya yang terus bergelayut dihatinya. Ia sandarkan seluruh raganya kepada malam yang bersolek dengan kunang-kunang, untuk menghentikan percakapan dihatinya. Demi cintanya kepada bumi Mataram yang menonggak didadanya, ia tawarkan seluruh jiwa dan raganya. Ia sadar, masih ada jalan panjang yang membentang di esok hari, jalan menuju padang pertarungan penuh misteri yang harus ditaklukan demi memegang titah raja, sang Panembahan Senopati, ayahnya  !

Paginya, seorang prajuritnya melaporkan keberadaan Paselingsingan. Menurut informasinya, lawan tandingnya berada ditepi hutan jati di areal perbukitan sebelah barat. Hanya melewati beberapa gundukan arah barat jalan. Paselingsingan terluka cukup parah dan sengaja disembunyikan oleh prajurit yang mengawalnya. Kabarnya, seorang tabib bahkan sengaja didatangkan dari Cirebon untuk mengobati luka dalamnya. Disini, Purbaya mendapati bahwa banyak dari serangan-serangannya, dan segala ilmu yang digunakannya kemarin benar-benar bekerja. Tapi ia juga mendapati bahwa Paselingsingan ternyata masih bisa bertahan hidup dan tidak lama lagi tentu akan kembali bertarung denganya. Dan untuk memastikannya, Purbaya harus melakukan kontak batin agar bisa menemukan isyarat-isyarat-nya sendiri, untuk mengenali situasi sebenarnya.

Dua hari kemudian, ketika Purbaya sedang melakukan kontak batin dengan alamnya untuk ketujuh kalinya, ia mendapati Paselingsingan sudah tidak ada ditempatnya. Ia merasa sudah saatnya harus kembali memulai pertandingan ini. Ia akan tetap berjuang untuk mengalahkan Paselingsingan. Karena menurutnya, mengalahkan Paselingsingan menjadi sebuah tujuan cukup berharga diperjuangkan. Setiap prajurit yang bisa mengemban titah raja sebesar ini, patut memperoleh seluruh keyakinan dan keteguhan segenap usahanya. Dan untuk menunjukan bahwa ia mengembannya dengan seluruh keteguhannya, untuk menunjukan betapa pentingnya menjaga martabat Mataram, ia akan melakukan semua yang dimilikinya, seberat apapun dengan pertaruhan apapun, bahkan dengan nyawanya.

Ia sadar, pertarungan kali ini pasti lebih berat karena selain secara fisik telah ada luka yang belum sepenuhnya sembuh, pasti akan menjadi pertarungan habis-habisan. Pertarungan dengan ilmu-ilmu yang lebih dahsyat dari yang telah dikeluarkan sebelumnya. Ia sendiri tengah menyiapkan seluruhnya. Seluruh ilmunya, tenaga dalamnya, seluruh ajian sakti andalan berikutnya, baik yang ia peroleh dari eyang dari ibunya- Ki Ageng Giring maupun eyang dari Ayahnya Ki Ageng Pemanahan.

Sebelumnya, Purbaya belum pernah menggabungkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Namun saat ini, sudah saatnya ia harus melakukannya agar semua segera cepat berakhir. Paselingsingan harus segera dihentikan langkahnya. Baik dengan cara menyerah atau dengan kematiannya sekalipun, jika itu memang harus terjadi.

“Ampun yang mulia, apakah paduka benar-benar akan kembali mencari Paselingsingan ?”, tanya seorang prajurit dari balik badannya yang baru selesai menyiapkan kudanya.

“Iya” jawabnya tegas tanpa menoleh sedikitpun.

“Aku harus bisa mengalahkan Paselingsingan. Dan Aku harus segera menghadap Sultan Cirebon secepatnya, karena itu titah raja yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya”.

Sesaat terdiam. “Paselingsingan yang telah menghalang-halangi langkahku. Dan itu artinya dia harus disingkirkan,” katanya melanjuttkan.

Pangeran Purbaya sudah diatas kuda. Ia bergerak secepat kilat kearah barat mencari Paselingsingan. Semua prajurit dan abdi dalem bergegas mengikutinya. Mereka semua tau bahwa setiap kali Pangeran Purbaya melakukan tugasnya, ia akan melakukan apapun untuk menyelesaikannya. Bagaimanapun, itulah yang diyakini sebagai seorang kesatria yang bertanggung jawab. Ia punya tujuan yang jelas saat ini, untuk menyingkirkan orang yang menghalangi dalam melaksakan tugasnya. Ia punya tujuan yang jelas, untuk menghadap Sultan Girilaya. Ia punya tujuan yang jelas, untuk menagih upeti kepada Sultan Cirebon itu. Mereka dengan sabar mengikuti Purbaya sampai diujung barat hutan jati. Tempat dimana Paselingsingan katanya sempat beristirahat disitu.

Diantara semak-semak pohon jati, nampak orang-orang berduyun-duyun melintas didepan dan menghdangnya. Paselingsingan, salah satu dari mereka, walaupun dia nampak sedikit berbeda dengan dengan waktu bertanding sebelumnya, matanya menatap lurus ke depan. Ada dua pria tua dan satu wanita muda dibelakangnya. Semua mengenakan baju berwarna putih, ada bekas bercak tanah dibajunya. Selain mereka, ada seorang lelaki tua dengan memegang tongkat berkepala harimau. Mereka serempak mundur beberapa langkah, ketika Paselingsingan memberi isyarat dengan tangan kanannya. Tak ada kalimat apapun keluar dari mulutnya. Lagi-lagi, datang suara angin yang memusar menerbangkan daun-daun kering dibawah pohon. Angin yang menyerupai badai kecil itu meliukan pepohonan, menggoyang dan merontokan dahan dan ranting.

Pos terkait