Oleh : Bambang Mugiarto
Dalam beberapa hari terakhir, diksi “kejujuran” banyak berkelebat, menghias lembar dinding media sosial. Tak bukan, kalimat “kejujuran” itu serupa gugatan. Dilihat dari penyajinya, kalimat demi kalimat bernuansa gugatan kejujuran ini disuarakan dari pihak berlatar belakang sama. Memiliki semangat yang sama pula. Mereka adalah para akademisi, profesional kesehatan, penggiat sosial dan politik.
Dilihat dari arah kemana kalimat itu dilayarkan, bisa dikenali dalam dua arah yang menjadi sasarannya. Pertama kepada pemerintah sebagai kritik, dan kedua kepada masyarakat sebagai seruan moral.
Kepada khalayak atau masyarakat, kejujuran pasien bukan saja penting demi tepatnya penanganan. Lebih dari itu, dalam menghadapi virus corona baru penyebab Covid-19, kejujuran pasien dapat memberi jaminan keselamatan tenaga paramedis yang membantunya.
Contoh kasus paling segar, bermula dari pasien tak jujur, 46 tenaga medis yang terdiri atas dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain RS Dokter Kariadi Semarang harus menanggung status positif corona. Mereka kini harus mengisolasi diri sesuai protokol kesehatan. Disaat rumah sakit sangat membutuhkan banyak tenaga dokter dan keahliannya.
Sebelum ini, kisah serupa terjadi di Kabupaten Grobogan. Sebanyak 76 tenaga paramedis dan pekerja RSUD dr Soedjati Soemodiardjo, harus menjalani rapid test akibat pasien tak jujur. Kasus lain terjadi di Pekalongan. Hanya berawal dari ketidak jujuran seorang pasien, para pekerja di salah satu rumah sakit harus menyandang status Orang Dalam Pemantauan (ODP ) corona.
Seharusnya para dokter tak sakit. Seharusnya para ahli ini yang mendampingi dan menangani pasien-pasien yang tergeletak di kamar perawatan. Tak perlu terkena tularan virus paling mematikan ini bahkan dari pasien yang pernah ditolongnya. Pasien yang sebenarnya telah diselamatkan jiwannya. Tapi yang tragis terjadi dan itulah bagian terpenting dalam pesan dan arti pentingnya kejujuran pasien.
Kepada pemerintah, dan ini sasaran kedua, diminta segera merapikan data dan cara menanggulangi pageblug Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Akurasi data sangat penting. Karena dalam data dan informasi yang salah, maka keputusannya jadi salah. Itu dalil yang telah menjadi logika umum, bahkan logika awam sekalipun. Bukankah data yang rapi dan yang benar adalah kejujuran ?
Dalam pageblug, keberanian menjawab panggilan kejujuran ini diuji. Kegelisahan terhadap dampak ikutan yang didera virus corona ini tak henti menjadi kemelut dan bayang-bayang kehidupan dan penghidupan rakyat. Memang bukan hal mudah, ketika pandemi memfaktakan kehidupan menjadi serba gugup dan kalang kabut.
Pada rute kekuasaan yang dimandatkan rakyat, pemerintah memiliki kewenangan lebar dalam konstruksi sosial yang menyangkut hak rakyat. Baik hak atas informasi publik yang dimandatkan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Klausul informasi publik berdasar UU 14/2008, mengundangkan bahwa informasi merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Dalam konstruksi sosial politiknya, rakyat sebagai individu wajib melakukan upaya yang melindungi diri dengan menghindari wilayah atau lingkungan tertentu yang beresiko tertularnya virus ini. Pemerintah dan steak holder harus memastikan layanan publik yang dihelat dapat diterima oleh semua masyarakat terdampak dengan prinsip kesetaraan. Kebenaran data dan kejujuran informasi yang disatu sisi memastikan perlindungan bagi tenaga kesehatan.dan kelompok rentan.
Sebagaimana dimaklumi bersama, bentuk rantai kenakalan pageblug virus corona ini tidak saja menyebabkan kematian yang saban hari terus terjadi, melainkan juga mereka yang sekerat dan terkapar secara ekonomi. Hampir pasti, puluhan juta warga sekarat dan telah terkapar. Pengangguran baru perlu dapat perhatian khusus.
Hal itu, belum termasuk kalangan menengah yang pada data normal tidak termasuk dalam kategori miskin. Tapi mereka akan menjadi penghuni “rumah” miskin baru. Padahal kelompok ini, dari waktu kewaktu intens mendengar dan mengikuti bakal ada bantuan sosial. Dalam harap dan cemasnya, mereka berhitung dengan waktu dan hanya bisa menunggu empati elit sebagai penyelenggara pemerintahan yang syah.
<!–nextpage–>