OPINI, mediakita.co- Di tepi kolam teratai penuh cebong dengan tanaman hias mawar merah duduk 3 prajurit.
Antara sejarah dan pengadilan moral, tiga sosok berseragam berkumpul. Kolam dalam taman itu tak terletak di bumi, tapi suara rakyat dari bawah bisa terdengar jelas: jerit buruh yang dipecat, desah napas petani yang digusur, tangis mahasiswa yang dipukul gas air mata.
Letnan Surjadi dari PETA duduk di kursi rotan produk kongsi sang Jenderal dan rekannya. Cosplay militer serdadu Jepang lusuh, seperti masih berlumur lumpur medan tempur. Di sebelahnya, berdiri Panglima Besar Sudirman. Kerisnya tetap di pinggang, tapi dadanya sesak. Bukan karena TBC nya tak terpapar vaksin Bill Gates, tapi karena kabar dari negeri yang dulu ia perjuangkan: negeri itu kini dijajah bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh anak-anak republik sendiri yang menjelma jadi tuan tanah berseragam.
Masuklah seorang lelaki gagah, dadanya penuh bintang, tangannya melingkar jam mewah seharga satu desa. Namanya Lihai Bongsor Perwira, Jenderal kebanggaan televisi, kolektor konsesi, dan orator dalam seminar investasi tambang berkelanjutan. Pemilik Konsorsium Power Bintang Tujuh.
Penulis: Firman Tendry Masengi