OPINI, Mediakita.co,- Telah hampir 1 periode berlalu, masih teringat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu. Pemilihan secara langsung ini menyisakan banyak pengalaman dan pelajaran bagi para kontestan, tim sukses maupun para pemilh sendiri.
Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu ini, KPU telah melaksanakan pleno daftar pemilih sementara (DPS) tingkat nasional pada tanggal 18 April 2023 di Gedung KPU Jakarta. DPS berada di angka 205.853.518 yang terdiri dari 102.847.040 pemilih laki-laki dan 103. 006.478 pemilih perempuan. Dapat kita lihat bahwa pemilih perempuan mengambil porsi cukup signifikan terhadap perolehan suara.
Dalam acara “perempuan bicara” pada 6 Mei 2023 lalu di TV one, beberapa narasumber diundang, mereka adalah representasi peneliti BRIN, selebgram, aktivis hukum dan HAM serta selebriti. Menarik dalam tema ini, bagaimana suara perempuan yang dianggap signifikan untuk pemilu 2024 nanti, diamati oleh para tokoh-tokoh perempuan ini, dalam berbagai analisa-analisanya mengulas bahwa:
Dari beberapa pandangan dipandang cukup penting bahwa pemilih perempuan harus menimbang-nimbang mengenai calon presiden yang memiliki indikator kerja, terutama program-program yang berkaitan dengan isu-isu terdekat dan berpihak pada perempuan (seperti isu pendidikan dan akses kesehatan yang mudah diperoleh), paling tidak isu ini yang diangkat oleh Prof. Siti Zuhro sebagai tokoh peneliti BRIN. Menurut pandangannya, hal ini menjadi penting bagi para pemilih perempuan untuk melihat dulu dan memutuskan pilihannya.
Selain program kerja, ternyata menurut tokoh selebgram, penting juga untuk menampakkan indikator lain seperti bagaimana para calon presiden itu bisa memikat calon pemilihnya, serta rekam jejak digital yang dapat ditelusur oleh masyarakat pemilih. Disadari selama ini perempuan hanya “dimanfaatkan” saja suaranya tanpa juga mengambil peran penting mereka untuk menjadi yang dipilih.
Sementara itu, Feni Rose sebagai representasi selebriti memiliki pengamatan pemilih dalam 3 segmen, yaitu:
- Karakter emosional dan fanatik, salah atau benar bukan lagi menjadi pertimbangan karena calon telah mampu memikat dan memiliki “citra” yang kadung memukau,
- Karakter pemilih fomo (fear of missing out), karakter pemilih seperti ini adalah tipe malas mikir, cenderung mengandalkan pilihan laki-laki (bisa pasangan, anak, kakak, atau ayah dan kerabat dekatnya), maka pilihannya akan ikutan saja.
- Karakter terakhir yaitu loyal dan thinker, jenis ini akan rela menghabiskan waktu untuk menilai obyek dari jejak masa lalu, prestasi bahkan “dosa-dosa” dalam aktivitas yang dia lakukan. Bahkan mengingat kembali apa yang pernah dulu dia lakukan baik prestasi maupun hal buruk.
Dari berbagai pendapat menarik yang sempat saya sadur dari 2 tokoh perempuan diatas, saya kembalikan lagi dalam konteks lokal Salatiga. DPS telah ditetapkan di tingkat Kota Salatiga pada 5 April 2023, dengan jumlah pemilih 144.710 terdiri dari 70.150 pemilih laki-laki dan 74.560 pemilih perempuan. Di kota kecil inipun, potensi suara perempuan juga cukup signifikan, ada lebih dari 4000 an pemilih perempuan tercatat sebagai calon penyumbang suara.
Saya menyitir pendapat dari dua tokoh perempuan di Kota Salatiga dalam kacamata mereka memandang bagaimana sebaiknya perempuan Salatiga memilih dalam Pemilu 2024 nanti.
Satuf Rohul Hidayah, S.E., sebagai pimpinan Koalisi Perempuan Indonesia cabang Salatiga, yang juga mantan komisioner KPU Kota Salatiga periode 2004-2009 dan 2009-2014 menggaris bawahi bahwa pemilih perempuan harus melihat rekam jejak calon, program kerja yang diusung sensitif terhadap isu perempuan, memiliki cara berfikir yang terbuka akan kesetaraan gender serta inklusif, berkeadilan dan demokratis.
Beliau pun masih meragukan bahwa pemilih perempuan saat ini masih belum mandiri, masih perlu banyak motivasi untuk perempuan melakukan keputusan memilihnya sendiri, dan jangan hanya mau diposisikan sebagai pelengkap memenuhi kuota saja. Tidak lupa juga budaya dan stereotif bahwa perempuan sudah biasa diperlakukan diskriminatif dan pembiasaan akan hal ini menjadikan perempuan mengamini saja selama beberapa generasi. Perempuan perlu disadarkan tentang pentingnya memilih pemimpin yang nantinya akan memihaknya. Sedangkan menurutnya, pemimpin negara yang ideal adalah yang terbuka dan adil serta menghormati dan mengakui perempuan sebagai bagian keberlangsungan bangsa untuk arah yang lebih baik.
Tokoh perempuan kedua ini juga telah lama saya kenal, sebagai guru, teman berdiskusi dan bermitra dalam beberapa program. Dr. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si yang sekarang menjabat sebagai Kepala Unit Penjaminan Mutu Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Menurutnya, seorang capres perlu ditelisik dalam hal pengetahuan, psikologi, gaya kepemimpinan, komunikasi, pengetahuan sosiologi, ekonomi dan politik nya.
Selain itu, nilai ideal seorang capres lain adalah harus memiliki jiwa kenegaraan, sikap setia dan berbakti pada Pancasila, memimpin tanpa diskriminatif dan rendah hati. Mampu menempatkan dirinya sebagai pemimpin dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan perempuan secara keseluruhan, masih ada yang perlu dimandirikan dalam memutuskan pilihan politik nya, karena dipandang masih ada juga yang memilih karena mengikut suami atau orang tua atau orang dekat yang lain. Perempuan pemilih hendaknya memahami calon pilihannya adalah sosok yang cerdas dan bijak, paham akan kualifikasinya memiliki jiwa nasionalis, berkomitmen pada kepentingan bangsa dan negara.
Semoga dalam hitungan bulan ini, para perempuan pemilih potensial nantinya mampu menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk melihat, mendengar dan meresakan, juga berhasil menganalisa secara tepat siapa calon pemimpin yang layak untuk memimpin negara Indonesia ini, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat pada 14 Februari 2024 nanti.
Dewi Retnowati
Aktivis dan pegiat kepemiluan Percik Salatiga