OPINI, mediakita.co – Tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa kudeta terhadap Sukarno.
Tanggal 12 September 1973 Santiago de Chile. Kudeta Jendral Pinochet terhadap Presiden Allende yang Sosialis. Di tembok2 kota Santiago terlihat tulisan “Operasi Jakarta”.
Tanggal 9 September 2001 Gedung Kembar di New York ditabrak pesawat penumpang yang dibajak teroris. Hancur dan rata dengan tanah. 3000 orang menjadi korban.
Usai keruntuhan imperium Uni Sovyet akibat implosion dan bangkrutnya ideologi Komunis, AS meluncurkan program baru “Perang melawan Terorisme Internasional”. Anggarannya 10 Triliun US dollar.
Proyek Arab Spring gagal total. Berlanjut Perang melawan ISIS di Irak dan Syria sebagai strategi baru AS. Terjadi Perang semua lawan semua. Bellum Omnium Contra Omnes. Syria jadi tempat percobaan senjata mutakhir AS dan Rusia.
Di tengah berlangsungnya konflik di Syria, terjadi percobaan kudeta terhadap Erdogan oleh lawan politiknya Gullen yg suaka di New York. Putin membisikkan rencana kudeta tersebut ke Erdogan dan berhasil menggagalkan rencana kudeta tersebut. Ribuan tentara, polisi dan intelektual dijebloskan ke penjara. Hubungan Turki dengan Rusia mendadak pulih. Padahal sebelumnya pesawat tempur Rusia ditembak jatuh oleh Turki di perbatasan Turki Syria.
Rusia berhasil mengebom jalur transport minyak yang dicuri dan dijual ISIS ke Turki. Sumber finansial ISIS rontok. Teroris Islam Internasional bubar. Para sukarelawan mancanegara yang tertipu ISIS kembali ke negara masing-masing, termasuk ke Prancis, Jerman, Inggris, Belanda dll.
Proyek ISIS berakhir. Fareed Zakaria dalam bukunya “The Post American World” menganjurkan agar kekuatan armada AS dipindahkan ke Asia Pasifik yang lebih strategis dan penting, karena semakin kuatnya militer China.
Perang Dagang AS terhadap China diluncurkan Donald Trump. Padahal kemunduran perekonomian AS disebabkan masalah system ekonomi dan keuangan AS yang sudah lapuk.
Terjadi defisit ganda, yaitu defisit neraca perdagangan luar negeri AS dan defisit anggaran penerimaan dan belanja AS.
Tahun 2008 terjadi krisis finansial di AS. Penyebabnya: Surplus devisa China diinvestasikan dalam Surat Hutang AS, US treasury bond.
Dana tersebut dipergunakan pemerintah AS untuk membiayai program kredit murah bagi warga AS yang tidak mampu. Dikenal dengan istilah Ninja Credit, artinya No Income, No Job, No Asset.
Surat jaminan hutang diperjualbelikan berulang kali oleh para spekulan dan perbankan di Wallstreet. Ketika para nasabah kredit Ninja tidak dapat melunasi cicilan kredit beserta bunganya, terjadi crash di bursa saham Wallstreet. Harga saham langsung berjatuhan. Terjadi efek domino. Lehmann Brother dan beberapa bank penyalur kredit bangkrut.
The Fed, bank sentral AS melakukan kebijakan quantitative easing, pelonggaran atau penurunan tingkat suku bunga acuan, agar dapat mau membanjiri pasar keuangan dengan dollar. Tujuannya menyelamatkan perbankan AS.
Perbankan Uni Eropa mengalami hal yang sama. Kebijakan yg diambil adalah menurunkan suku bunga acuan European Central Bank. Bank of Japan, Bank of England mengikuti langkah The Fed.
Rendahnya tingkat suku bunga acuan global mendorong arus dana ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar menguat. Bursa saham Indonesia mendadak bugar.
Namun kebijakan The Fed, ECB, BoJ dll tidak dapat memulihkan perekonomian negara-negara barat.
Krisis terus berlanjut sampai munculnya kasus Covid-19 di Wuhan dan menyebar ke seluruh dunia. Terjadi saling tuduh antara AS dan China mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap bocornya virus tersebut.
WHO, media cetak dan elektronik main stream dunia serta politisi serta ekonom negara2 barat mulai merancang berbagai skenario global agar dapat meredam penyebaran pandemi. Pandemi flu Spanyol tahun 1920 telah menelan korban tewas 25-50 juta di seluruh dunia.
Kasus Wuhan menimbulkan kepanikan di seluruh dunia. Global Supply Chains terputus. Produksi, distribusi dan konsumsi dunia mengalami penurunan signifikan. Terjadi gelombang PHK besar2an di berbagai negara.
Untuk menyelamatkan perekonomian, AS, Uni Eropa dan negara2 industri lainnya melanjukan kebijakan suku bunga rendah sampai 0%, bahkan minus. Negara melakukan intervensi terhadap Bank Sentral. Kebijakan ini bertentangan dengan dogma system ekonomi dan keuangan Neoliberal agar Bank Sentral tetap independen. Demikian pula dengan langkah proteksi yang dilakukan AS terhadap produk asing, terutama dari China, Eropa, Jepang dll.
Dunia di masa pandemi sekarang dibanjiri dana murah, termasuk Indonesia. Hutang luar negeri negara2 sedang berkembang meningkat. Tujuannya agar perekonomian dapat diselamatkan dan tingkat pengangguran dapat diminimalkan. Jika gagal, dapat terjadi resesi ekonomi. Selanjutnya, angka pengangguran yang sangat tinggi dapat menyebabkan instabilitas politik dan jatuhnya rejim yang berkuasa, terutama yang dianggap memberi peluang bagi perluasan kegiatan investasi dari China.
Dari latar belakang perkembangan pandemi dan krisis finansial global tersebut kemungkinan besar akan bermuara pada konstelasi baru geopolitik dan ekonomi.
Pertanyaannya: kebijakan ekonomi dan finansial seperti apa yang akan dilakukan oleh negara-negara barat setelah berakhirnya pandemi?
Yang pasti: untuk menarik kembali begitu banyak uang yang beredar, The Fed dan Bank Sentral di barat akan menaikkan tingkat suku bunga acuan, untuk mencegah inflasi.
Terkait dengan system nilai tukar antara berbagai mata uang dunia, terutama terhadap mata uang utama seperti dollar, euro, yen, poundsterling, yuan kemungkinan besar akan berlangsung konperensi finansial internasional model Bretton Wood. Kartu dikocok kembali.
Konstelasi geopolitik dan ekonomi akan mengalami perubahan besar. Peta dunia berubah dari Unipolar menjadi Multipolar. Persaingan ekonomi, perdagangan dan militer akan tetap berlanjut.
Kemungkinan besar aliansi Atlantik, antara AS dan Uni Eropa akan pulih, jika Joe Biden memenangkan Pilpres 3 November mendatang.
Demikian pula ketegangan hubungan ekonomi dan perdagangan antara AS dan China, paling tidak selama sepuluh tahun mendatang akan mereda, jika Joe Biden terpilih untuk kedua kalinya.
Namun persaingan di bidang ekonomi dan teknologi akan terus berlanjut.
AS dan sekutunya akan terus mendorong proses demokratisasi di China dengan berbagai cara. Dari luar maupun dari dalam. Asia Timur, Selatan dan Tenggara akan menjadi wilayah persaingan dan ketegangan baru antara kekuatan dunia.
Aliansi China, Rusia, Iran dan Turki akan menguat, jika tidak terjadi perubahan internal yang fundamental di negara-negara tersebut.
Uni Eropa akan mengambil jalan Tengah sebagai penyeimbang. China merupakan mitra dagang terpenting Uni Eropa. Di sisi lain AS merupakan Sekutu utama Uni Eropa.
Jika para pemimpin di Asia Tenggara tidak bijak, maka wilayah ini akan terjerumus pada tarik menarik dua kekuatan besar, AS dan China dan akan terjadi peningkatan penjualan senjata serta instabilitas dalam negeri di beberapa negara anggota ASEAN.
Di samping melanjutkan dan menguatkan kebijakan luar negeri bebas aktif, Indonesia juga harus mampu meredam berbagai gejolak internal. Fokus utama saat ini adalah menekan penyebaran pandemi dan mengatasi resesi ekonomi.
Dalam jangka menengah perlu ada kesepakatan di antara kelompok strategis negeri ini untuk memperkuat system ekonomi politik dan ketatanegaraan.
Ada beberapa pilihan. Pertama meneruskan system yang sudah lapuk seperti sekarang; kedua kembali ke UUD 1945 dan menghidupkan lembaga MPR sebagai lembaga negara tertinggi yang memilih dan menghentikan Presiden atau merampungkan agenda reformasi di berbagai bidang atau kombinasi dihapusnya Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota langsung yang terlalu banyak memboroskan dana dan melahirkan money politics atau menggunakan teknologi terkini dalam Pemilu.
Dunia pasca pandemi akan diwarnai kebijakan politik dan ekonomi yang cenderung lebih memperkuat peran negara daripada peran pasar. System demokrasi dan ekonomi neoliberal akan mengalami masa surut, kalau tidak mau dikatakan senjakala. System ini akan dalam beberapa dasawarsa akan berhasil melalui masa darurat dan! transisi menuju system yang lebih lentur berkat pengaruh teknologi dan perubahan demografi.
Di sisi lain, system otoritarian yang dianut oleh China, Rusia, Turki dan Iran akan mengalami tantangan yang berat, jika memutuskan diri dari system internasional yg akan bertransformasi.
Masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda yang memiliki visi jauh ke depan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan lahir Negarawan Indonesia abad 21
Bogor, 2 Oktober 2020
Penulis : Suchjar Effendi
(Ekonom lulusan dari Jerman tinggal di Bogor)