ajibpol
OPINI

Pesan Sosial Lailatul Qadar

Kerahasiaan Lailatul Qadar memang menjadi persoalan tersendiri bagi umat Islam yang ingin mengejar pahala dan keberkahan pada malam itu.

Ketidakpastian kapan malam itu tiba berimplikasi setidaknya pada dua hal. Pertama, semakin intensnya umat Islam beribadah dan kedua, membiarkan malam-malam berlalu begitu saja dengan ibadah seperti biasa. Disini kemudian kesabaran umat Islam mendapat ujian.

 

Sejatinya kerahasiaan Lailatul Qadar menyimpan sejuta makna. Ada harapan besar dari Tuhan kepada manusia yang meyakini kebenarannya, agar mereka menegakkan ibadah sebagai tugas kehadiran manusia ke bumi tanpa batas waktu (QS. al-Dzariyat.56).

Kesalehan Sosial

Lantas apa makna frase “malam yang lebih baik dari “seribu malam” bagi umat Islam sebagai umat beragama yang hidup berdampingan dengan entitas lain dengan beragam latar belakang agama, ras, suku, strata sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini frase tersebut perlu dihadirkan maknanya secara sosiologis untuk mendapatkan pesan membumi darinya.

Ibadah  dalam Islam selalu berkorelasi dengan hadirnya kesalehan sosial yang mewujud melalui hadirnya tingkah keadaban dengan tidak melakukan hal-hal yang destruktif (QS. al-Ankabut.45).

Baca Juga :  Kebangkitan Kader Ditengah Pandemi

Dalam konteks Lailatul Qadar, keutamaan dan kemuliaan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu juga harus dihadirkan menjadi realitas yang membumi. Ibadah-ibadah dan pengharapan yang banyak harus terus dilakukan secara intens. Lebih dari itu, kehadiran ibadah harus menjadi realitas.

Artinya, kebaikan Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan tidak boleh mengendap sebagai keyakinan yang tidak bergerak. Lailatul Qadar harus mewujud menjadi realitas dengan hadirnya keadaban tingkah yang lebih baik dari seribu bulan. Sehingga, Lailatul Qadar bukan hanya konsep imaji dalam teologi, melainkan juga riil dalam realitas sosial.

Salah satu keistimewaan dari Lailatul Qadar adalah bahwa “Malam itu (penuh) kedamaian sampai terbit fajar.” (QS.al-Qadar.5) Pamahaman substantif dari ayat ini, orang yang beribadah tiada henti pada Lailatul Qadar, tetapi keadaban tingkahnya tidak lebih baik dari sebelumnya, itu berarti belum berjumpa dengan Lailatul Qadar.

Pemahaman ini sejalan dengan hadis Nabi yang mengatakan bawa orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari kemaren. Sementara sebaliknya, orang yang tidak lebih baik adalah orang yang celaka, sebagai penegas firman Allah  “Hanya orang yang beriman dan beramal saleh yang tidak merugi” (QS. Al-Asr.2).

Baca Juga :  Koperasi Raksasa Mondragon, Lawan Tanding Korporasi Kapitalis

Di sini iman selalu dikaitkan dengan amal saleh. Keimanan sejati adalah hadirnya amal saleh sebagai ungkapan riil dari rasa syukur kepada Allah. Sama seperti konsepsi teologis tentang Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Selama tidak menancap dalam gerakan riil keadaban tingkah, berarti perjumpaan dengan Lailatul Qadar hanya ilusi.

1 2

Artikel Lainnya