Prolog Pemikiran Bung Hatta Tentang Koperasi, Demokrasi Ekonomi dan Relevansinya Kini

Suroto (Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis AKSES)
Suroto (Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis AKSES)

OPINI, mediakita.co – Banyak orang mengenal Bung Hatta (Mohamad Hatta, 1902-1970) sebagai seorang pejuang dan proklamator kemerdekaan. Tapi yang tidak banyak dikenal oleh anak-anak muda sekarang ini adalah bahwa Bung Hatta itu juga seorang Bapak Koperasi Indonesia, pemikir dan pejuang demokrasi ekonomi. Pandangan beliau yang jauh kedepan, konseptual, analitik,dan penuh pengalaman dan ketekunan adalah reputasi yang tak terbantahkan.

Pemikiran beliau mengenai persoalan ekonomi pada umumnya dan perhatiannya yang khusus terhadap gerakan koperasi salah satunya dapat kita baca dari buku ini (Kooperasi Membangun dan Membangun Kooperasi: ed). Sebagai insan koperasi, walaupun sudah menjabat sebagai Wakil Presiden sekalipun tetap memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan gerakan dan tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada para pegiatnya. Kumpulan pidato dan amanat pada setiap Hari Koperasi tanggal 12 Juli ini adalah salah satu buktinya.

Buku ini merupakan artefak penting, bukan saja dikarenakan miskinnya referensi mengenai koperasi dan demokrasi ekonomi di tanah air, tapi karena buku ini ditulis oleh tangan pertama dari perancang pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dari tulisan-tulisan beliau yang clear di buku ini bisa jadi panduan bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai maksud dan cita-cita dari demokrasi ekonomi dan koperasi sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Tulisan ini juga bisa jadi bahan argumentasi yang sahih untuk meluruskan kembali penyimpangan atau bahkan penyelewengan cita-cita dan perintah Undang-Undang Dasar 1945.

Judul buku aslinya yang dibuat dan ditulis tangan sendiri oleh Bung Hatta dengan huruf latin dan dibubuhi dengan tandatangan dibawah judul “Kooperasi Membangun dan Membangun Kooperasi“ ini juga memperkukuh pandangan beliau bahwa pembangunan koperasi itu tidak dapat didikotomi dalam dimensinya secara makro-ideologi dan dalam dimensi mikro-organisasi.

Koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi itu juga musti dikaitkan secara erat dengan strategi (politik) pembangunan yang dikonsepsikan. Koperasi dihubungkan dengan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yang berkeadilan (growth with justice) dan bukan semata-mata untuk mencapai pertumbuhan (growth) yang diharapkan tetesanya ke bawah (trikle down effect).

Bacaan Lainnya

Sambungan konsep mikro-organisasinya dapat kita lihat dari gambaran konsep ekonomi partisipatif dalam sistem perlindungan dana kembali (economic patrone refund), sistem ekonomi kejujuran dari teladan manajemen berbasis nilai (value base management) dari koperasi konsumen pertama Pionner of Rochdale, Inggris dengan konsep belanja ethis ketimbang konsumeris dan masih banyak lagi.

Koperasi yang berulang-ulang diklarifikasi oleh Bung Hatta sebagai terjemahan dari usaha bersama berdasar asas kekeluargaan itu adalah bangun yang lengkap. Disusun secara bertahap dengan pembagian tugas yang jelas hingga terbentuklah rumah koperasi Indonesia dan demokrasi kooperatif yang indah. Koperasi dibangun dari atas oleh para penganjur koperasi dan terutama aparatus negara yang mampu memahami koperasi dengan baik dan dari bawah oleh masyarakat sendiri sebagai spirit usaha menolong diri sendiri (self help) dengan cara bekerjasama (mutual help).

Sumbangsih Bung Hatta terhadap pemikiran demokrasi mengandung dua inti pemikiran, ialah cita-cita negara hukum yang demokratis dan penolakan terhadap individualisme yang dijabarkan dalam konsep koperasi. Dalam penolakkanya terhadap individualisme, Bung Hatta beranggapan bahwa kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan sehari-hari yang bercorak kolektivisme. Beliau menyatakan bahwa cita-cita perjuangan Indonesia adalah menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja dianggapnya tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, karena di sebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi.

Buku ini merupakan kumpulan naskah pidato dan juga artikel yang berserak, maka ada beberapa hal mungkin mengalami pengulangan. Tapi dalam frasa penting yang sering diulang dan ditegaskan itu justru menurut hemat penulis menandakan bahwa Bung Hatta seperti ingin memberikan pernyataan bahwa jangan sampai kita mengalami kesesatan ketika menerjemahkan konsepsi koperasi dan juga perintah Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 33. Hal ini dapat kita baca dari keterangan beliau di buku ini, yang menegaskan bahwa makna usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan itu ialah koperasi!

Bagaimana praktek pemikiran Bung Hatta mengenai demokrasi ekonomi, ekonomi konstitusi dan koperasi tersebut kini?

Secara politik, negeri ini mengaku sebagai rezim demokrasi. Setiap orang berhak atas hak politiknya dan dijamin persamaannya di depan hukum. Dalam pemaknaan demokrasi politik yang mekanistik, bahkan kita telah berjalan sampai tahapan ultra-demokrasi. Demokrasi kita berubah menjadi demokrasi voting! Sementara demokrasi ekonominya tertinggal jauh di belakang. Cita-cita kemakmuran bagi semua tertawan rezim plutokharkhi, kuasa ditangan segelintir elit penguasa dan pengusaha yang dimana mana selalu memenangkan pertarungan politik.

Konstitusi kita, UUD 1945 terutama pasal 33 (yang telah diamandemen atau aslinya) jelas masih menyebut bahwa sistem perekonomian kita menganut asas demokrasi ekonomi dan musti disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Sebuah sistem perekonomian yang berarti sistem produksi, distribusi dan konsumsinya diselenggarakan dengan proses pelibatan seluruh anggota masyarakat. Seperti yang berulang dikatakan oleh Bung Hatta, kalau kita ingin serius membangun masyarakat demokratis, maka kita tak boleh lupa bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. Disamping demokrasi politik, demokrasi ekonomi haruslah berjalan sebagai dua sisi mata uang.

Demokrasi ekonomi atau biasa disebut dengan sosio-demokrasi atau ekonomi solidaritas sebetulnya adalah sebuah sistem yang juga relatif baru di belahan dunia. Sistem ini betapa telah diperdebatkan oleh para pendiri republik ini jauh sebelum Indonesia merdeka, namun baru menjadi wacana para pakar-pakar ekonomi dunia pada tahun 1970-an. Dikarenakan terjadinya konsentrasi kepemilikkan kekayaan dan semakin melebarnya kesenjangan sosial ekonomi akibat dari sistem kapitalisme saat ini telah mendorong berbagai pihak untuk memikirkan kembali tata kelola ekonomi yang berkeadilan.

Pada tahun 2015 bahkan gerakan koperasi dunia, International Co-operative Alliance (ICA) memilih thema mendasar tentang persamaan dengan jargon “ choose equality, choose co-operative!”

Kesetaraan politik harus diimbangi dengan hak setara dalam akses terhadap sumberdaya ekonomi. Segelintir orang tidak boleh memarginalkan sebagian besar masyarakat seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi yang liberal kapitalistik. Hal ini temukan relevansinya ketika dunia saat ini ternyata butuh equality, kesetaraan akses. Dunia yang kita huni ini ternyata 54 persen assetnya hanya dikuasai oleh 1 persen dari jumlah penduduk (Guinan: 2013). Demikian juga sebagaimana yang terjadi di Indonesia, dimana lebih dari 80 persen kekayaan nasional kita ternyata hanya dikuasai oleh kurang dari 1 persen jumlah penduduk negeri ini.

Pertumbuhan ekonomi kita yang dalam satu dekade rata-rata 5,6 persen dan tingkat gini rasio yang setiap tahun terus mengalami peningkatan dari 0,33 pada tahun 2004 hingga 0,42 pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sistem demokrasi politik liberalistik yang penuh hiruk pikuk saat ini hanya memperkaya segelintir mereka yang berpunya dan meninggalkan kebanyakan mereka yang tidak berpunya dibelakang. Angka statistik tersebut juga mengatakan pada kita bahwa yang kaya makin kaya, yang miskin semakin sengasara.

Seharusnya di dalam sistem demokrasi ekonomi, masyarakat harus diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan dalam bentuk kepemilikan dan mendapatkan sistem pembagian yang adil dalam pendapatan. Dalam sistem masyarakat yang demokratis dengan demikian, akses terhadap kepemilikan alat produksi dan juga sistem penggajian perlu diatur sedemikian rupa. Masyarakat perlu terlibat dalam kepemilikan dan pengawasan perusahaan secara langsung dalam skema ESOP (employee share ownership plan) setidaknya dan juga koperasi-koperasi dan perusahaan mutual dan sosial lainya. Rasio gaji yang terendah dan tertinggi disatu sisi juga harus dibatasi agar tidak terjadi kesenjangan yang tajam. Reformasi agraria sebagai poin penting dalam kembalikan kepemilikkan lahan kepada petani untuk dapat mencukupi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan mereka juga merupakan agenda yang mendesak untuk dapat segera direalisasikan.

Kita harus membaca tanda-tanda jaman, dominasi kepemilikan model lama oleh negara dan pribadi atau keluarga secara perlahan mulai mengalami pergeseran kearah pemilikan masyarakat luas atau kolektif. EFES (European Federation of Employee Share Ownership) mencatat, hingga tahun 2012, ada 32,8 juta orang menjadi pemilik dari 2.505 perusahaan besar di Eropa. Di Amerika Serikat, ada 13 juta orang buruh pada 11.000 perusahaan besar di sana. Hingga tahun 2012, hampir 1 milyard orang menjadi pemilik perusahaan koperasi yang bergerak di berbagai sektor, dari perbankan, ritel, asuransi, pertanian, manufaktur, hingga layanan publik seperti rumah sakit yang tersebar lebih di 100 negara.

Fakta tersebut isyarat bahwa demokrasi ekonomi itu penting untuk ciptakan keadilan bagi semua orang. Kepentingan perusahaan tidak bisa hanya semata mengejar keuntungan atau memberikan kompensasi dalam bentuk program karitatif dalam model tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) perusahaan. Koperasi yang dasarnya adalah tempatkan kedudukan manusia lebih tinggi diatas yang material adalah telah sesuai dengan konstitusi kita.

Membaca berbagai produk regulasi bisnis kita, kepentingan untuk membela investor semata lebih menonjol dengan asumsi agar tercipta lapangan kerja sebanyak-banyaknya namun alpa terhadap arti penting kepemilikan saham oleh buruh yang bermakna penting bagi terciptanya kemakmuran bersama. Demikian akhirnya perekonomian dan nasib kita lepas begitu saja dibawah kendali perusahaan asing dan kapitalis lokal.

Demokrasi ekonomi dalam praktik seperti; koperasi, bisnis mutual, kepemilikan lokal (local ownership), dan ESOP (employee share ownership plan) memiliki peran penting untuk mewujudkan keadilan ekonomi secara distributif. Melalui jalan ini setiap individu memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam proses produksi, konsumsi dan distribusinya. Selain juga mengurangi keserakahan dan mempertinggi modal sosial yang penting bagi pembangunan. Disamping pada akhirnya akan ciptakan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic) , ekonomi ekologis (ecological economic) dan keamanan ekonomi (economic security).

Satu contoh resep pemikiran Bung Hatta yang sungguh sangat futuristik lainya juga dapat kita lihat dari peringatannya yang keras agar ekonomi yang ujung jangan dijadikan pangkal dan pangkal jangan dijadikan ujung. Kita harusnya jadikan persoalan ekonomi domestik (pangan dan energi) sebagai pangkalnya dan sektor komoditi sebagai ujungnya dan bukan sebaliknya. Dikarenakan peringatan keras ini kita abaikan maka jadilah sudah kita sekarang ini sejak tahun 2013 telah menderita defisit ganda (double defisit) dari neraca pembayaran dan perdagangan.

Adapun dengan koperasi secara khusus, kontribusi Koperasi kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2014 hanya sebesar 2 persen dari total PDB kita sebesar Rp. 10.544 Trilyun. Sementara jumlah koperasi kita adalah yang terbanyak di dunia dengan jumlah primer koperasi sebanyak 209.000 (BPS, 2015). Kalau dirata-rata, kurang lebih ada 3 koperasi di setiap desa. Koperasi seakan masif secara kuantitas, tapi pada kenyataannya peranannya sangat kecil dalam perekonomian nasional.

Pemikiran Bung Hatta sekali lagi valid, bahwa koperasi nyata-nyata tidaklah dapat hidup karena banyaknya koperasi, tapi koperasi hanya akan hidup bila telah menjadi cita-cita dan perjuangan bangsa ini untuk keluar dari penindasan sistem kapitalis.

Ditinjau dari kontribusi omset sektoralnya, koperasi kita didominasi jasa simpan pinjam yang mencapai kurang lebih 90 persen. Dari total peruntukkan pinjamannya juga masih terbatas pada kredit konsumtif. Sementara itu, dilihat dari kemampuan memobilisasi modalnya, koperasi masih tergantung pada penyaluran dana pihak ketiga. Kita defisit koperasi di sektor pangan dan juga energi. Padahal, disinilah sebetulnya kekuatan kemandirian ekonomi itu harusnya dibangun. Sebagaimana menjadi sifat alamiahnya koperasi, tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anggotanya dan masyarakat, pangan, energi, sandang dan papan.

Pada masa Orde Baru, dalam permulaan tahun 1970 an, kita dulu ingin agar KUD jadi kekuatan ketahanan pangan. KUD yang dibanjiri fasilitas program bantuan dan kemudahan namun diabaikan aspek kelembagaannya itu terpuruk. Sehingga ketika fasilitasnya dicabut, maka KUD langsung berguguran.

Sementara sebagai satu ilustrasi pembanding saja, gerakan kopeasi kredit (Credit Union), yang disemangati oleh prinsip swadaya, solidaritas pada kenyataannya justru menunjukkan pertumbuhan statistik yang menggembirakan. Anggotanya terus bertambah, dan demikian juga asset dan tabungannya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa koperasi tidak bisa hanya diberikan fasilitas, tapi semangat koperasi untuk ciptakan keadilan ekonomi dan cita-cita sebagaimana tercantum dalam konstitusi dilupakan.

Hal ini sangat kontras bilamana dibandingkan dengan kontribusi ekonomi koperasi di negara lain. Satu misal adalah Singapura yang kuasai sektor ritel sampai dengan 62 persen, dengan penetrasi anggota koperasinya hingga 52 persen dari populasi penduduk. Korea Selatan yang memberi kontribusi sektor pertanian hingga 90 persen dan sektor perikanan hingga 71 persen. Di Jepang yang tempatkan 1 dari setiap 3 keluarga sebagai anggota koperasi dan jadikan Koperasi pertanianya (Zennoh) sebagai koperasi terbesar di dunia. Di Denmark koperasi ritelnya menyumbang pangsa pasar ritel hingga 37 persen. Amerika Serikat yang telah kontribusikan 36 persen dari 300 Koperasi besar dunia dan tempatkan anggotanya sebanyak 149 juta orang dan sediakan 59 persen listrik desa di hampir seluruh negara bagian. Perancis jadikan koperasinya sebagai bank-bank besar skala dunia seperti Credit Agricole. Canada yang tempatkan 1 dari empat orang sebagai anggota koperasi dan sumbangkan Koperasi Kredit (Credit Union)nya sebagai bank terbaik disana dengan gedung-gedungnya yang menjulang tinggi di pusat-pusat kota. Di Denmark, hampir seluruh rumah tangga telah menjadi anggota koperasi dan kuasai pangsa pasar sektor ritel hingga 71 persen. Di Brazil, 37,2 persen berkontribusi di sektor pertanian, dan sediakan layanan kesehatan untuk 17,7 juta orang.

Koperasi di berbagai belahan dunia telah menjadi kekuatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Koperasi menjadi kekuatan untuk memerangi mafia pangan dan energi, menyediakan sektor perumahan rakyat, mengelola hutan dan perkebunan rakyat dan lain sebagianya. Sementara kita tertinggal jauh dengan perkembangan koperasi di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Di negara kita, petani, nelayan, peternak, petambak, industri rumahan nasibnya berada dalam tekanan mafia. Ketika terjadi inflasi atau tekanan mafia pangan bahkan mereka menjadi orang pertama yang kesulitan untuk mendapatkan akses pangan. Mereka kita biarkan dalam kondisi yang lemah posisi tawarnya, bergerak hanya di on farm. Sementara, sektor off farm nya seperti kredit, pengolahan, pemasaran, dan lainnya yang menghasilkan keuntungan besar dikuasai oleh mafia korporasi besar.
Di dalam aspek regulasi bahkan banyak yang tidak mendukung. Seperti misalnya dalam Undang-Undang (UU) Penanaman Modal yang hanya perbolehkan investasi modal asing dalam bentuk Persero. Sehingga banyak justru hanya perkuat cengkeraman imperialisme. Investasi bukan menjadi daya dorong ekonomi domestik, tapi justru disinsentif sosial. Termasuk di dalamnya investasi dari koperasi-koperasi besar dunia seperti Rabbobank, Ace Hardware, Sunkist, Fontera dan lain sebagainya. Kita hanya menyumbang besaran devidend untuk mereka dengan biaya buruh murah dan bahan baku murah. UU BUMN kita juga diskriminatif. Posisikan badan hukum koperasi sebagai tempat terima belas kasih dan pemerintah lebih suka gunakan badan hukum Persero.

Dalam urusan perpajakan bahkan koperasi harus menderita pajak ganda (double tax) antara pajak badan dan perorangan anggotanya, sementara di negara tetangga seperti Singapura dan Philipina misalnya, koperasi diberikan pembebasan pajak (tax free) dengan alasan sebagai hak moral bagi koperasi karena telah lakukan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi masyarakat.

Kondisi koperasi yang hanya dijadikan pemain figuran seperti ini tentu bukan hanya karena rendahnya komitmen kebijakan, tapi kita menghadapi problem yang lebih besar, yaitu menyangkut paradigma. Selama ini kita sudah terlanjur disuguhi citra koperasi yang selalu “hand mainden” dan tergantung pada pemerintah. Berpuluh tahun masyarakat hanya tahu bahwa koperasi itu hanya dapat dibangun dengan bantuan dan fasilitas pemerintah dan bukan menjadi gerakan swadaya masyarakat dengan mengambil manfaat keunggulan kelembagaanya jika dibandingkan dengan model organisasi bisnis lainya.

Untuk itu, guna memberikan porsi peranan koperasi agar dapat berkontribusi nyata bagi pencapaian kesejahteraan dan kemandirian ekonomi serta menjamin keberlanjutan pembangunan bangsa ini, memang diperlukan langkah revolusioner. Pemerintah harus segera merombak dan mengarahkan kebijakan strategisnya untuk memberdayakan koperasi dengan cara memberikan perlindungan hingga mereka memiliki kesejajaran dalam lintas bisnis modern. Sementara orang-orang koperasi sendiri harus segera mampu melepas ketergantungan dan angkat keunggulan koperasi.

Bangsa ini harus kembali jadikan koperasi sebagai kekuatan soko guru. Kementerian koperasi harus ditempatkan sebagai leading sector bagi pembangunan ekonomi. Berbagai regulasi dan kebijakan untuk ciptakan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi harus segera diciptakan dan regulasi yang menghambat harus segera direvisi.

Bangunan sistem demokrasi politik kita sudah lama tidak berjalan pararel dengan sistem demokrasi ekonomi. Setiap warga diberikan hak politik seluas-luasnya, namun liberalisasi politik yang sudah mencapai tahap ultra demokrasi itu belum dapat merobah struktur sosial yang timpang dalam kehidupan ekonomi keseharian. Dalam keseharian rakyat kebanyakan masih berada dalam cengkeram sistem oligarki dan plutokrasi segelintir elit politik dan orang kaya.

Disinilah sebetulnya koperasi memegang peranan penting seperti yang diharapkan oleh Bung Hatta dan juga cita-cita konstitusi, selain sebagai alat demokratisasi, juga menjamin keadilan dari pertumbuhan ekonomi.

Ditayangkan untuk keperluan literasi publik terkait demokrasi ekonomi. Dilansir ulang dari tulisan saudara Suroto 7 Juli 2015_

Penulis : Suroto
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK) dan Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Pos terkait