OPINI, mediakita.co- Masyarakat terpaksa melihat hiruk-pikuk partai politik (parpol) yang sedang mempersiapkan jagoannya di pemilihan umum (pemilu) 2024. Baik parpol maupun elite nasional telah menyiapkan koalisi baru. Ada yang sudah mendeklarasikan bakal calon presiden, ada pula yang masih menimang-nimang. Hal itu karena terbentur aturan formal ‘Presidential Threshold’ atau ambang batas 20 persen. Selain itu, kekuatan aliansi bisnis dan politik telah menutup kesempatan calon presiden untuk maju tanpa dukungan mereka. Politik Indonesia memang telah berubah setelah Orde Baru tumbang, namun konfigurasi aliansi kekuasaannya tetap sama.
Kondisi yang terjadi saat ini kelas borjuasi membangun relasi bisnisnya dengan beberapa elit partai politik. Beberapa partai politik yang memiliki hubungan dengan kelas borjuasi seperti halnya Partai Golongan Karya (Golkar) harus ditempatkan di daftar pertama. Partai bentukan Orba ini tidak hanya terus menjadi pemain penting dalam konstelasi politik hari ini, tapi juga telah melahirkan dan membesarkan klik-klik borjuasi yang membentuk partai-partai baru. Sebut saja Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra; Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Aliansi bisnis dan partai politik semakin menguat, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa relasi kapital untuk mendukung salah satu pasangan calon kedepan nyata terjadi. Kepentingan kelas proletar atau rakyat kecil akan semakin tersingkirkan dan hanya menjadi “Sapi Perah” bagi para oligarki dan elit partai politik.
Politik pasca-Orde Baru telah membuka kotak pandora yang selama puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto, yakni terdistribusinya kekuasaan di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh partai politik. Perkembangan partai politik selama periode ini adalah hasil inkubasi aliansi bisnis dan politik, yang tak pelak menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan-kapital.
Politik elektoral merupakan salah satu saluran para oligarki untuk mempertahankan kekayaan. Oligarki dapat memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung sebagai elite politik. Praktis, kelompok oligarki selalu mengupayakan keadaan kesenjangan material dan politik secara ekstrem.
Relasi Hubungan Pemilik Modal dengan Kepentingan Elektoral
Relasi hubungan elektoral dengan oligarki juga kerap terjadi, entah itu dalam pemilu atau pilkada. Hal ini tak hanya terjadi ditingkat nasional saja, namun di tingkat kabupaten atau kota juga demikian. Seperti halnya Tahun 2020 kemarin, banyak oligarki yang membiayai calon kepala daerah, entah bupati atau walikota.
Tingginya ‘Cost Politics’ membuat para calon yang akan menduduki jabatan tertentu berfikir keras untuk mendapatkan kapital yang lebih. Ada beberapa yang rela menjual benda berharga yang sudah dikumpulkan dari dulu, atau melakukan pinjaman kepada pemilik modal dengan melakukan beberapa kontrak politik.
Realitas politik elektoral hari ini dapat dibaca salah satunya dengan pendekatan analisis oligarki. Argumen utama tesis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Robison dan Hadiz (2004), adalah bahwa relasi oligarki merupakan sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan serta pertahanan kekayaan. Sehingga sangat dimungkinkan untuk proses pengembalian modal yang telah dikeluarkan oleh para calon atau kepala daerah yang terpilih.
“Kondisi sosial mempengaruhi pola pikir, bukan pola pikir yang mempengaruhi kondisi sosial”, – Karl Marx. Lingkungan sosial merupakan tempat yang membuat individu yang berada dalam lingkungan tersebut memiliki pemikiran yang hampir sama. Pendekatan teoretis yang dilakukan Bourdieu adalah untuk menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang dalam kehidupannya pada dasarnya adalah sesuatu yang lain dari keinginannya atau hanya sekedar dari struktur sosial dan struktur material.
Pengaruh besar lingkungan sosial itulah yang melandasi pemikiran individu masing-masing. Struktur-struktur yang ada dalam masyarakat diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehingga berfungsi secara efektif. Internalisasi berlangsung melalui pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar. Sepintas habitus seolah-olah sesuatu yang alami atau pemberian akan tetapi dia adalah konstruksi dasar. Bangunan dasar itulah yang mempengaruhi tiap individu untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di lingkungan sosial.
Sumber :
https://grafis.tempo.co/read/1835/potensi-konflik-kepentingan-262-pengusaha-yang-jadi-anggota-dpr
Jurnal Studi Kultural/Teori gado-gado Piere Boudieu/Mangihut Siregar/Universitas Udayana.
Penulis: Alfatah Harimba