Jejak Sejarah : Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

oleh : Bambang Mugiarto

Bagian 1

Tertulis, tahun 1676. Di dalam buku tua yang dipegangnya, tahun itu ia tulis setahun yang lalu.  “Ini hari terakhir, sudah dipenghujung tahun. Dan besok telah tiba tahun 1676”, katanya dalam hati. Pangeran Purbaya nampak menghela nafas panjang.

Dari jauh, ia mendengar ada tangisan bayi.  Selintas pandangan, suara tangisan itu menghilang. Tapi dalam waktu yang tak lama, tangisan itu kembali terdengar seperti meratap-ratap. Setelah ketiga kali tangisan bayi itu bertalu digendang telinganya, ia memalingkan kelopak telinganya kekanan, tapi kedua bola matanya tetap terpaku lurus dengan badannya.

Sebab sore tadi, ia tidak melihat ada rumah satu pun disekitar makam itu. Tak ada jalan, kecuali hanya pematang sawah, jalan setapak satu-satunya yang bisa ia gunakan dari tempat Nyi Widuri untuk ke Makam Ki Sembung Yuda. “Jadi, suara tangis bayi apakah yang kudengar ini ?”, tanyanya dalam hati. Belum usai ia bergumam, suara itu kembali menghilang, hilang tertelan desir suara angin.

Bacaan Lainnya

Beberapa lama kemudian, ia mendengar suara tangisan lain…

Kali ini, ia mendengar suara tangis seorang perempuan. Sangat lirih dan juga jauh. Seperti suara yang menyayat dengan nafas yang terpenggal-penggal.  Ia bahkan seperti turut bisa merasakan desah nafasnya yang tersendat, dilepas, terisak, dilepas, begitu seterusnya. Suara letih, sebagaimana ia ketahui, sebagai suara-suara orang yang mendekati ajalnya. Tapi suara itu, juga kembali menghilang. Kali ini, suara tangisan itu hanya terdengar sekali saja.

Setelah itu, Pangeran Purbaya hanya mendengar suara-suara daun yang saling bersentuahan tertiup angin. Sesekali, ada suara daun yang jatuh. Daun-daun yang jatuh dari dua batang pohon yang berdiri kokoh disebelah barat makam Ki Sembung Yuda. Dengan kesunyiannya, seringkali ia mendengar dengan jelas suara daun-daun itu membentur permukaan tanah.

Suara daun-daun itu seibarat tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ranting dan dahan-dahan yang telah ia tinggalkan, dan mendahuluinya. Dalam pejaman matanya, pikiran Pangeran Purbaya kemudian menerawang jauh. Terseret suara angin yang melesat  diantara daun-daun yang terlepas dari batang rantingnya.

Ia jadi teringat, kemarin lalu, setibanya di Kendal ; bahwa Kesultanan Cirebon telah mengetahui rencana kedatangannya. Menurut seorang prajurit yang disuruh menjadi sisik melik, Sultan Girilaya bahkan telah mengutus seorang panglima perang terbaiknya, Paselingsingan ;  untuk menghalau perjalanannya.

Purbaya berfikir, paling lama besok malam, Panembahan Senopati akan mengetahuinya. Karena, salah seorang prajurit Mataram yang ditugaskan menjadi sisik melik, tengah dalam perjalanan kembali ke Mataram untuk menyampaikan berita tersebut. “Andaikan itu benar, maka dibumi Pemalang inilah, semua akan terjadi,” desahnya dalam hati.

Menjelang tengah hari, seorang prajurit yang ditugaskan berjaga diperbatasan memberi laporan. Mereka telah melihat sebuah pasukan Kesultanan Cirebon sedang bergerak dari arah barat. Tak jauh dari perbatasan Pemalang. Mendengar berita itu, Purbaya memerintahkan pasukannya untuk berkemas. “ Kita ke sana, keselatan. Kita tunggu di hutan jati,” tegasnya, sambil menunjukan jarinya.

Sebelum pergi, Pangeran Purbaya menghampiri makam Ki Sembung Yuda. Menghadap ke barat, ditengah pusara, ia berjongkok sambil berkomat kamit.

Diambilnya sebutir tanah sambil berucap, “ Nyuwun Pangestu ki Ageng, saya hanya seorang prajurit yang melaksanakan titah raja. Ijinkan bumi pemalang ini sebagai kesaksian, bahwa hidup mati seorang Purbaya akan ditentukan disini, di bumi yang engkau rengkuh dan engkau reksani,” katanya dengan suara tidak terlalu keras , tapi terdengar dengan jelas oleh semua pengikutnya yang berjajar, jongkok dibelakangnya.

Ia mengambil sebutir tanah, lalu dilempar ditengah-tengah pusara Ki Ageng Sembung Yuda. Butiran tanah itu jatuh dianatara bunga bunga mawar yang ia taburkan kemarin sore. Taburan Bungan Mawar Merah putih itu masih keliatan segar. Baunya, pun masih terasa menyengat dihidung. Wanginya menusuk dan menerabas kumis Purbaya yang tebal melintang diatas bibirnya.

Penuturan Purbaya didepan pusara Ki Ageng Sembung Yuda itu keluar dari mulut hatinya tanpa alasan. Ia masih terngiang pesan kakeknya disaat Purbaya tengah dirundung duka. Saat ia baru kehilangan orang yang paling penting dalam hidupnya, Roro Rembayung, ibu tercintanya. Peristiwa yang tak akan pernah hilang dari ingatannya. Sebuah kematian yang dramatis dan tak pernah ia bayangkan, dan menjadi simbol kematian seorang wanita yang teguh memegang janjinya.

Demi cintanya, demi masa depan anak semata wayangnya, demi meluruskan trah sejarah asal-usul darah yang mengalir ditubuhnya, dia rela membayar dengan nyawanya. Sebuah harga yang sangat mahal. Harga yang tidak bisa diukur dengan apapun. Tapi itulah kenyataan yang telah ia temukan dan terima. Kenyataan yang harus ia bayar demi menjawab siapa sebenarnya ayah kandungnya.

Pos terkait