OPINI, mediakita.co- Dari enam platform berita online yang dibuka oleh penulis yang memuat tentang dispensasi pernikahan dini di Kabupaten Pemalang pada 21 Juni 2024 memperlihatkan banyaknya jumlah pasanganan yang mengajukan dispensasi pernikahan ke Pengadilan Agama pemalang pada tahun 2023 mencapai 667 pasang, sedangan hingga bulan Juni 2024 pengajuan tersebut telah mencapai angka 300.
Hal tersebut disampaikan oleh Humas Pengadilan Agama Pemalang yang dimuat dalam laman berita daring. Undang-Undang perkawinan telah dirubah dengan nomor 16 tahun 2019, salah satu aturan yang dirubah adalah batas minimal usia bagi calon pengantin menjadi 19 tahun baik laki-laki dan perempuan.
Maka berdasarkan syarat tersebut, pernikahan/perkawinan dini bisa diartikan dengan salah satu calon mempelai yang melakukan perkawinan dibawah usia 19 tahun.
Akan tetapi hal yang paling membuat saya gelisah dari banyaknya pemohon yang mengajukan dispensasi pernikahan bukan berkaitan dengan umur namun karena alasan terbanyak adalah terjadinya hamil di luar nikah.
Ini yang lebih membuat penulis geram dan gelisah, meskipun saya kurang sepakat juga jika pernikahan dilakukan di usia 19 tahun karena berpotensi muncul permasalahan seperti kekerasan dalam rumah tangga, konflik ekonomi yang menurut saya penyebab utamanya adalah belum siap secara mental dari pasangan pernikahan dini untuk menjadi seorang istri dan suami.
November 2022, menyampaikan salah satu program untuk mencegah perkawinan anak melalui konseling Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) AMANI kemudian pada Agustus 2023, disampaikan bahwa pemerintah desa dan kelurahan diharapkan menjadi garda terdepan untuk pencegahan perkawinan anak.
Dari angka yang disampaikan oleh Humas PA Pemalang, menurut saya dua hal tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan pernikahan dini. Hal ini dapat menjadi lebih parah jika Pemerintah Kabupaten Pemalang belum melihatnya sebagai hal yang perlu segera dicari solusi.
Semoga ini hanya menjadi kekhawatiran yang tidak benar. Dalam pandangan saya, para pemohon dispensasi pernikahan dilakukan oleh pasangan yang usianya diantara SMP hingga SMA, maka lingkungan terdekatnya adalah sekolah.
Tentunya peran para tenaga pendidik dilingkungan sekolah sangat dibutuhkan. Jika kita ingat terkait kasus anak SMP yang melakukan berhubungan badan dengan asalan yang diberikan oleh siswa laki-lakinya karena dia mengalami kelebihan darah putih dan untuk menyelamatkan hidupnya dia harus mengeluarkannya dengan cara berhubungan badan.
Lalu jika kita mengingat juga salah satu dialog dalam Film Dua Garis Biru yang ucapkan oleh tokoh utama laki-lakinya “sakit kah tadi?” yang disampaikan setelah mereka melakukan hubungan badan, ini memperlihatkannya bahwa pengetahuan terkait seksual sangat minim dikalangan mereka.
Sayangnya pembahasan tersebut jika dilakukan diluar pelajaran biologi akan dianggap obrolan yang jorok, kemudian jika dilakukan dalam forum formal jangkaunya belum merata.
Bagaimana guru mampu memperhatikan keadaan muridnya bukan sebatas nilai akademiknya dan bagaimana orang tua yang dekat dengan anak bukan sebatas memberikan larangan-larangan, saya rasa diperlukan selain dari memberikan pengetahuan seksual bagi anak.
Faktor lain adalah jangkauan media sosial yang sangat susah dikendalikan. Saya percaya bahwa melalui pendidikan yang tepat, permasalahan pernikahan dini di Pemalang bahkan di Indonesia dapat diselesaikan.
Maka keterlibatan pemerintah baik dari tingkat daerah hingga pusat sangat diperlukan, ini adalah usaha untuk benar-benar memanfaatkan Bonus Demografi supaya menjadi Indonesia Emas bukan hanya menjadi Indonesia Over Populasi.
“Bonus Demografi yang akan menempatkan kaum milenial dan Gen Z sebagai pelaku utama pembangunan bangsa” salah satu kalimat yang disampaikan oleh Bupati Pemalang dalam upacara peringatan hari lahir Pancasila di Alun-alun Pemalang pada 01 Juni 2024, belum lama disampaikan maka semoga kita benar benar menjadi pelaku utama yang mampu membangun bangsa mencapai Indonesia emas dengan dukungan pemerintah melalui kebijakan-kebijkannya.
Oleh: Ikaal