5 Argumen Wanita Haid Boleh Beraktivitas di Dalam Masjid

5 Argumen wanita boleh beraktivitas di masjid
5 Argumen wanita boleh beraktivitas di masjid

CIPUTAT, mediakita.co– Menstruasi atau haid adalah sesuatu yang alamiah dialami oleh kaum hawa dalam waktu-waktu tertentu. Bahkan, justru ketika wanita tidak datang bulan perlu konsultasi ke dokter, karena di khawatrikan terkena Amenorrhea.

Literatur fikih klasik maupun kontemporer menyebutkan bahwa ada aktivitas yang haram di lakukan oleh wanita yang sedang menstruasi. Salah satu yang diharamkan adalah berdiam diri (al-mukts) di dalam masjid.

Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Tapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum wanita menstruasi berdiam diri di masjid adalah haram, khawatir atau tidak darah menetes di masjid bukan suatu alasan bagi mereka.

Alasan diharamkannya itu ta’abbudi (irrasional), karena masjid tempat suci. Gitu doang sih, simpel. Nah, saya punya 5 argumen yang berbeda dengan pendapat mayoritas ulama di atas. Simak baik-baik ya kawan, khususnya kaum hawa.

1. Ada Ulama Yang Membolehkan

Saya mau menghadirkan argumen yang serius dulu, nih. Perhatikan dan baca dengan seksama!. Pendapat Daud al-Dzahiri, Ibn Hazm, Muzanni, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal,  Ibn Hazm, Mushtafa ‘Azami, Abu Ishak al-Huwaini dan lainnya.

Membolehkan wanita haid beraktivitas dalam masjid, bahkan mereka juga membolehkan orang junub. Pendapat tersebut berdasarkan penilaian mereka akan daifnya hadis yang dijadikan pegangan oleh mayoritas ulama.

Hadis tersebut dinilai daif oleh sekelompok ulama di atas, mereka adalah Ada dua faktor yang menyebabkan hadis ini dha’if; (1) dua orang perawi hadis tersebut yaitu Abu al-Khitab dan Mahduj tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal);

(2) Jisrah binti Dajajah. Walaupun ada beberapa ahli hadis yang men-tsiqah-kannya, seperti al-‘Ijli, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimh, akan tetapi al-Huwaini menganggap mereka mutasahil dalam menilai hadis. Selain itu, terdapat hadis sahih yang menyatakan bahwa ada seorang budak perempuan hitam yang dibuatkan kemah di dalam masjid sebagai tempat tinggalnya, padahal sesuatu yang pasti terjadi bagi wanita adalah haid, akan tetapi Rasulullah diam saja, tidak melarangnya. (H.R.Bukhari, Muslim, dan lainnya)

2. Meringankan Beban Psikologis Wanita

Imam Sya’rani memiliki teori takhfif (diringankan hukumnya) dan tasydid (diperberat hukumnya) dalam karyanya, Al-Mizan Al-Kubra. Teori takhfif dapat diterapkan sesuai dengan pemahaman, kultur, psikologis wanita tertentu.

Bagi wanita yang merasa bahwa larangan wanita haid masuk masjid itu terlalu repot, berat dan sebagainya, karena aktifitasnya selalu berinteraksi dengan masjid, maka diperbolehkan baginya beraktivitas di masjid seperlunya.

Saya juga pernah survei ke istri, saudara, dan beberapa teman wanita lainnya terkait beban psikologis larangan ini ketika mereka berada atau beraktifitas dalam masjid

3. Yang Penting Darah Ga Netes

Dalam permasalahan haid ini,  mayoritas ulama lebih cenderung pada alasan irrasional, yaitu bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh beraktivitas dalam masjid apapun alasannya, baik darah menetes di dalam masjid, maupun enggak.

Mereka yang awam atau bahkan santri sekalipun, ketika mereka sedang datang bulan dan diundang dalam suatu acara yang di selenggarakan di masjid, seperti pelantikan organisasi dan lain-lain, secara terpaksa mereka harus mendatangi masjid tersebut.

Hal tersebut saya kira termasuk darurat. Itu keyakinan saya. Kalian mau percaya atau ga, terserah! Pada initinya, asalkan darah ga netes, boleh-boleh saja beraktivitas di dalam masjid

4. Melakukan Hal Positif di Masjid

Saya meyakini bahwa masjid itu adalah tempat suci. Namun, apakah kesucian masjid lantas berdampak pada pengekangan wanita untuk beraktivitas di dalamnya.

Bukankah lebih baik wanita mendengarkan ceramah, berdiskusi, melakukan hal positif lainnya, sekalipun semua itu dilakukan dalam masjid?.

Nah, kalian perlu mempertimbangkan juga argumen ini. Memang benar, ceramah, diskusi tidak mesti di dalam masjid, tapi kalo kebetulan acaranya berada di dalam masjid gimana hayo?. Coba pikirin sendiri, deh!

5. Berdasarkan Survei

Saya pernah mengajar fikih wanita pada teman-teman kampus saya. Saya juga melakukan survei pada satu persatu murid saya terkait permasalahan waktu haid.

Ceritanya sih, saya pengen kayak imam Syafii menerapkan metode istiqrâ’ (induktif) dalam menentukan permasalahan haid, hehe.

Saya merasa bahwa wanita sudah sangat terbebani dengan nyeri saat haid, rasanya kok larangan aktifitas di dalam masjid menambah nyeri mereka.

Ketika saya tunjukkan pendapat ulama yang membolehkan, mayoritas mereka terlihat senang dan tidak ragu lagi mengikuti ulama yang membolehkannya. Namun, dari semua pendapat di atas, saya hanya bisa mengakhiri dengan ucapan Wallahu a’lam.

Sumber: (Ibnu Harish/datdut.com/Ed: Mas Iben)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.