JAKARTA, mediakita- Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dan penghormatan atas perbedaan merupakan tanggung jawab yang melekat dalam setiap manusia. Namun, realitas berbicara lain. Banyak praktek diskriminatif, intoleran dan juga rasisme terjadi. Paling banyak menjadi korban atas praktek tersebut adalah penyandang difabilitas.
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dalam upaya mewujudkan kesetaraan hak setiap warganegara, secara rutin menyelenggarakan acara Temu Inklusi, setiap dua tahun sekali. Tahun 2020, SIGAB kembali menyelengarakan acara Temu Inklusi dengan tema “Desa Inklusif: Membedah Indikator dan Regulasi Merumuskan Strategi untuk Mereplikasi” pada Rabu (09/09/2020).
Kegiatan ini didukung oleh Kedutaan Australia, dan Kristen Bishop selaku Minister Consellor bagian tata kelola dan pembangunan manusia yang juga turut memberikan sambutan.
Hadir dalam seminar ini 5 pembicara yaitu: Drs, H. M. Imam Aziz (Stafsus Wakil Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah); Bito Wikantosa, SS. M.Hum (Dir, Pelayanan Sosial Dasar Kementerian Desa PDTT), Suharto, SS. MA (Direktur SIGAB Indonesia), Luluk Ariyantiny (Ketua Yayasan Disabilitas Situbondo) dan Drs. H. Hariyadi Tejo Laksono, MSI (Dinas Pendapatan Pengelolaan Bidang Aset Situbondo Jawa Timur).
Seminar dibuka oleh Menko PMK, Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P. yang pada kesempatan tersebut Muhadjir mengatakan bahwa masyarakat difabel pun harus diberi peluang, kesempatan, kesetaraan sebagai warga negara seperti tertera dalam UUD 1945 pasal 23 tentang hak dan kewajiban negara.
Indikator Desa Inklusif
Suharto dari SIGAB Indonesia, menyampaikan beberapa poin berkenaan dengan masyarakat inklusif, di mana masyarakat heterogen yang meliputi perbedaan agama, warna kulit, suku bangsa, agama, status ekenomi, kondisi fisik maupun mental namun harus tetap saling menghargai dan menerima.
Ia juga menambahkan, bahwa mimpi masyarakat inklusif itu, salah satunya adalah hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati pembangunan. “Mimpi desa inklusif itu, salah satunya adalah pemerintahnya memberikan kaum difabel kesempatan yang sama untuk bekerja layak, termasuk menjadi perangkat desa bagi yang berkompetensi” paparnya.
Untuk mencapai kesetaraan tersebut, setidaknya ada indikator desa inklusif difabel sendiri ada sembilan yang sekarang sedang dalam proses penyusunan modul yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat sebagai pedoman untuk masyarakat yang akhir bulan ini akan segera diberikan.
Sembilan indikator yang ditawarkan oleh SIGAB itu adalah: 1) Data Difabilitas komprehensif dan update di tingkat desa; 2) Adanya keterwakilan difabilitas dalam Lembaga desa; 3) Keterlibatan difabilitas dalam pengambilan kebijakan; 4) Anggaran yang inklusif difabilitas;5) Adanya regulasi desa terkait difabilitas; 6) Aksesibilitas layanan bagi difabel; 7) Infrastruktur desa ramah difabilitas; 8) Aksepibilitas bagi difabilitas di tingkat desa; dan 9) Networking bagi kepentingan difabilitas.
“Masih proses penyusunan, kira-kira akhir bulan Indikator Desa Inklusif bisa selesai,” tutur Suharto ketika peserta menanyakan cara mendapat buku pedoman desa disabilitas.
Advokasi Desa Inklusif
Untuk mendorong pencapaian Desa Inklusif, disampaikan komitmen dari sisi Anggaran sampai 2024, termasuk kampanye. Terkait hal tersebut disampaikan:
“Kami sudah siap kalau tidak ada Covid-19 sudah dimulai,” jelas Bito Wikantosa Direktur PSD Kemendes PDTT.
Luluk Ariyantiny dari Yayasan Disabilitas Situbondo menjelaskan bahwa peran aktif disabilitas Situbondo dalam mewujudkan Situbondo inklusi, salah satunya adalah bagaimana mereka para disabilitas menyadari dan memperjuangkan haknya. Ia juga memberikan tips bagaimana cara mendekati Pemkab. Situbondo.
“Advokasi harus dilakukan terus menerus dengan membangun chemistry,” paparnya.
Advokasi bagi penyandang difabilitas mencapai targetnya di Kab. Situbondo. Drs. H. Hariyadi Tejo Laksono, MSI dari DPPKAD Situbondo Jawa Timur memaparkan gebrakan yang telah dilakukan di tahun 2018 – 2020, salah satunya adalah memberikan bantuan modal usaha dari Dinas Koperasi dan UMKM untuk penyandang difabilitas yang memiliki usaha.
Perjuangan kesetaraan bagi penyandang difabilitas sangat diapresiasi oleh Drs. H. Imam Aziz, sebagai pembicara terakhir. Selain menyepakati apa yang disampaikan Suharto, Imam Aziz juga menegaskan kedudukan dan peran pemerintah dengan janji politiknya terhadap 74.340 desa untuk mencapai desa inklusi. Pelatihan bahasa isyarat terutama dalam hal intelektualitas dan mental, menurut Imam Aziz mendesak untuk dilaksanakan.
Pendidikan bagi penyandang difabilitas adalah wujud nyata langkah advokasi tersebut. Tentu, hal ini harus didahului dengan regulasi yang memberikan garansi kesetaraan hak warganegara. Dengan demikian mimpi terbangunnya inklusivitas nasional bisa dirintis melalui lahirnya inklusivitas di tingkat desa.
Penulis : Shobikhatul Fakhriyah