Ada selembar harapan baru yang ditambatkan kepada Mukti Agung Wibowo-Mansur Hidayat, Bupati dan Wakil Bupati Pemalang, periode tahun 2021-2024. Seperti bara api, harapan itu disulut sejak kampanye pemilihan Bupati Pemalang tahun 2020 lalu. Kala itu, isu perubahan sering kali terlontar sebagai janji kampanyenya. Meskipun terdengar disampaikan dengan hati-hati, tetapi harapan itu terlanjur mengubah mimpi rakyat yang berhasil memunculkan harapan publik akan terjadinya perubahan untuk Kabupaten Pemalang.
Mengutip pesan Walmsley, konsep perubahan dalam implementasinya itu harus direncanakan, diorganisasikan, dipimpin dan dikendalikan. Maka kejelian mengidentifikasi tujuan perubahan menjadi kata kunci.
Mempertimbangkan sistem sosial dan struktur politik yang ada, harapan rakyat akan hadirnya perubahan yang disambut ekspektasi begitu tinggi ini, selain sejatinya menjadi beban berat juga mengandung sejumlah tantangan yang kompleks. Butuh treatmen dan terobosan jitu untuk mewujudkannya. Tanpa semua itu, bila harapan perubahan ini kandas (atau tak terealisasi), maka justru menjadi bom waktu yang bakal memantik bertunasnya persepsi dan sikap negatif warga. Kondisi semacam itu justru menyulitkan pekerjaan rumah pemimpin baru Pemalang.
Kita bisa membaca arus perbincangan pengguna platform media sosial untuk menjadi sample pola interaksi sosial yang berkembang di masyarakat saat ini (paska pilkada). Setidaknya dapat dilihat dua isu besar yang paling menyedot perhatian masyarakat. Pertama, program infrastruktur, dan kedua program unggulan Desa Wisata (Dewi), Desa Sinergi (Desi), dan Desa Digital (Dedi).
Merujuk amanat Undang-Undang Desa yang menempatkan asas rekognisi dan subsidiaritas sebagai prinsip baru pembangunan desa. Tiga program unggulan desa ini diharapkan “mampu” menjadi instrumen pengait dimensi administratif dan politis yang selama ini menyandra perencanaan pembangunan desa. Secara kontekstual, program ini dengan sendirinya mensyaratkan adanya pijakan yang menawarkan konsep perubahan manajemen (change management). Manajemen yang mampu menjernihkan kekeruhan dalam menentukan arah perencanaan desa menjadi lebih komprehensif.
Disisi lain Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, Undang-Undang Desa telah menempatkan desa sebagai fundamen pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa diberikan kewenangan dan sumber dana yang memadai agar dapat mengelola potensi yang dimilikinya guna meningkatkan ekonomi dan kesejahtaraan masyarakat.
Membaca mata rantai regulasi dan kebijakan serta situasi yang ada, pembahasan tiga program unggulan ini penting diawali dengan memetakan permasalahan, peluang dan tantangan yang tersimpan dari konsekuensi berlakunya UU Desa. Karena azas rekognisi dalam UU ini telah menempatkan desa sebagai entitas sosial dan pemerintahan yang dalam spirit otonominya terbukti menggenggam problem politis sebagai konsekuensi aktual dari proses demokratisasi desa.
Kondisi demikian, terdapat isyarat pentingnya instrumen program dan kebijakan yang mampu mengawal amanat UU Desa dan tiga program unggulan desa ini secara detail dan holistik. Butuh sejumlah prasyarat kebijakan teknis yang menjamin operasionalitas. Dibutuhkan ketepatan untuk memenuhi prasyarat yang berbasis kajian-kajian yang detail dan komprehensif (research based) agar program ini tidak kembali memusar dalam tataran slogan.
Sebut saja program desa wisata (Desi). Sambutan begitu gempita datang setidaknya dari penggiat dan pelaku usaha pariwisata. Sebelumnya, berlaku kecenderungan umum di mana pembangunan desa wisata menjadi model baru pasca diluncurkannya program dana desa. Sejumlah desa seperti berlomba menjajaki dan menggali potensi alam dan budayannya untuk membangun desa wisata. Sebuah harapan besar yang harus dijawab dengan kerja keras atau bisa kehilangan kredibilitas publik.
Disini, pemkab harus cermat dan hati-hati. Regulasi program-program sangat penting menjadi catatan, sebagai jalan etis untuk menahan kecenderungan program “latah”. Hal itu bisa menjadi instrumen pembatas (framework), penakar, pemeta dan penginjak pedal pembangunan desa wisata yang berbasis potensi, studi geopolitik dan ekonomi kepariwisataan yang holistik.
Hal lain misalnya, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 2 dinyatakan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan berasaskan manfaat, keseimbangan, kemandirian, parisipatif, kelestarian, dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam pasal 4 dinyatakan bahwa tujuan kepariwisaaan adalah: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan lingkungan sumber daya alam, serta memajukan kebudayaan.
Sebagai sebuah aktivitas yang kompleks, pariwisata juga merupakan sistem aktivitas yang memiliki berbagai komponen keterkaitan. Baik dari sisi ekonomi, ekologi, politik, sosial, maupun budaya dan lainnya. Urgensinya, pembangunan kepariwisataan memerlukan konsep detail yang mencakup berbagai aspek kepariwisataan yang harus dilihat. Terdapat banyak subsistem yang saling memiliki ketergantungan dan saling terkait (interconnectedness).
Program unggulan ini selain berfungsi untuk mempelebar akses, juga menjadi design untuk mengorganisir kontrol tata kelola pemerintahan desa yang demokratis dalam rencana pembangunan wisata desa. Bukan pembangunan yang melulu berorientasi pada program karena ketersediaan anggarannya, tetapi program yang memiliki pendekatan potensi dari sistem yang utuh, terencana secara holositik, terpadu dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomi, teknis, pelestarian alam dan lingkungan.
Kedua, menyongsong Program Desa Sinergi (Desi). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dalam Pasal 83 (1) menjelaskan Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten/kota. Dengan sendirinya, barangkali, konsep desa sinergi ini bakal menjadi alat urai dan menjadi akselerasi terwujudnya pembangunan kawasan perdesaan. Tujuan utamanya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pendekatannya, tetap mengacu pada spirit pembangunan partisipatif.
Pelibatan berbagai pihak dalam konsep pembangunan kawasan perdesaan ini sangat penting. Konsep collaborative governance, dapat menjadi opsi peretas problem klasik menjadi lebih terkelola. Karena dalam pembangunan kawasan pedesaan, beberapa problem yang menonjol adalah tentang adanya ego sektoral, aspek leadership dan dimensi politik desa yang masing-masing memiliki daya dukung dan sandung dalam menentukan format dan profile perencanaan pembangunan desa yang strategis dan komprehensif.
Ketiga, tentang program desa digital (Dedi). Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), saat ini menjadi isu sentral di semua sektor. Termasuk institusi dan lembaga pemerintahan, dan perusahaan swasta. Penggunaan TIK bagi pemerintahan desa, sesuai dengan amanatnya, diprioritaskan untuk menjamin akuntabilitas kebijakan dan pelayanan publik.
Dikotomi politik dan transparansi sebagai konsekuensi digitalisasi, program dedi ini menghendaki adanya watak pelecut untuk mengantisipasi timbulnya conflict of interest para pemangku kepentingan desa. Pencegahan menjadi prioritas.
Tulisan ini, sebagai bentuk afirmasi atas tiga program unggulan desa Kabupaten Pemalang. Harapannya, program ini mampu meretas kecenderungan umum, dimana program-program unggulan pemerintah berakhir sebatas pendekatan normatif dan adiministratif dalam pelaksanaannya. Maka pekerjaan rumah selanjutnnya, bagaimana organisasi perangkat daerah (OPD) dapat merespon secara sensitif dan utuh terhadap program ini.
Karena sebagai program unggulan, Dewi, Desi dan Dedi ini cukup menawarkan banyak peluang. Dalam implementasinya, program unggulan selalu menawarkan ketersediaan akses. Termasuk akses politik anggarannya. Untuk itu, program ini harus menjadi daya ikat terwujudnya akuntabilitas tata kelola desa. Terlebih dengan alokasi dana desa dalam mengemban misi penciptaan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan dan mengentaskan kemiskinan. Karena agenda pokok yang wajib dikawal publik teletak pada terwujudnya kesejahteraan warga desa.
Pada akhirnya, regulator program ini bakal menjadi pemandu perumusan pembangunan desa dan pedesaan. Regulator yang membawa iklim perubahan secara paradigmatik dalam mendesain manajemen pembangunan desa yang komprehensif dengan framework yang tepat dan pendekatan yang komprehensif. Dibutuhkan strategi dan aksi strategis, untuk mengimplementasikannya. Terobosan yang tidak semata mampu mendekati hambatan, tetapi juga mengisi kekosongan. Adaptif dan solutif. Lebih penting dari itu, menjadi arena partisipatif. Saatnya mewujudkan kepemimpinan visioner yang bukan hanya menjual mimpi tetapi mampu memandu aksi transformatif untuk kesejahteraan warga Pemalang.
Penulis : Bambang Mugiarto
Ketua Umum Seknas Jokowi Jawa Tengah, (Pemerhati Sosial dan Pedesaan)