Bunuh Diri Terjadi Dekat Keluarga dan Hilangnya Spirit Salam Khas Toraja ‘Manasumoraka’

Cegah Bunuh Diri

Toraja, mediakita.coKasus bunuh diri di Toraja terbilang cukup tinggi, khususnya selama masa pandemi  covid 19. Hal ini terungkap dalam Webinar Bertajuk, ‘Stop Bunuh Diri di Toraja’ (6/3/2021).

Menurut Wakil Bupati Toraja terpilih dr. Zadrak Tombe yang hadir dalam acara tersebut bahwa tercatat ada 14 kasus kejadian di tahun 2020 dan awal tahun 2021 ini sudah tercatat 5 kasus bunuh diri di Toraja dan Toraja Utara.

Dr. Zadrak sangat menyayangkan maraknya kasus bunuh diri yang terjadi di Toraja. Menurutnya fenomena tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika bisa diidentifikasi sejak dini. Karena itu ia menyampaikan akan memaksimalkan semua potensi untuk mencegah kasus-kasus bunuh diri agar tidak terulang lagi dan bersedia bergandengan tangan dengan semua pihak.

Sementara Wakil Bupati terpilih Toraja Utara Frederik V Palimbong yang juga hadir dalam acara tersebut menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian dan keprihatinan semua pihak atas kejadian bunuh diri yang terjadi di Toraja.

‘Terima kasih untuk semua pihak yang telah memberikan perhatian dan keprihatinannya yang sungguh luar biasa untuk mencegah kasus bunuh diri di Tondok ta (Toraja)’ tutur Frederik yang setia mengikuti acara hingga selesai.

Bacaan Lainnya

Webinar yang dipandu oleh Psikiater dr. Diana Papayungan tersebut menghadirkan narasumber Dr.dr. Hervita Diatri, Sp.Kj dari FKUI dan RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Pdt, Dr. Christian Tabduklangi dari Sinone Gereja Toraja.

Berdasarkan statistik yang disampaikan Dokter Hervita kasus bunuh diri  terjadi pada umur 10-85 tahun namun sangat tinggi pada usia 20-25 tahun hal ini disebabkan karena tingginya tuntutan hidup di usai tersebut. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin maka bunuh diri didominasi oleh kaum pria yaitu sebesar 62 persen dan perempuan 38 persen dan 60,9 persen di antaranya dilakukan dengan gantung diri.

Dokter Hervita juga menyampaikan bahwa peristiwa bunuh diri bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba melainkan memiliki legalitas tinggi yang membutuhkan persiapan dan keberanian besar karena itu sangat besar kemungkinan untuk melakukan pencegahan.

Dari kasus-kasus bunuh diri yang terjadi menurut Dokter Hervita termasuk di Toraja sebagian besar terjadi di lingkungan dekat keluarga dan sangat sedikit terjadi di tempat tertutup atau pun tempat umum. Itu berarti menurut Dokter Hervita bahwa masalah dan tantangan hidup itu sebagian besar terjadi di lingkungan keluarga dan pada umumnya semua orang ingin meninggal diketahui dan dekat dengan keluarga.

Sebagai upaya pencegahan menurut Hervita penting sekali mengetahui gejala-gejala awal mereka yang potensial melakukan bunuh diri serta membangun kepedulian yang besar kepada mereka. Karena itu perlu kerja sama semua pihak melalui pendekatan holistik seperti Kesehatan, Pendidikan, sosial, agama, pemerintahan bahkan pembangunan infrastruktur, dll.

Sementara Pendeta Christian Tanduklangi menyampaikan bahwa bunuh diri tidak ada dalam ruang antropologi Toraja yang menjadi celah bagi seseorang untuk melakukan bunuh diri. Bahkan dalam agama asli leluhur orang Toraja yaitu Aluktodolo seseorang yang melakukan bunuh diri tidak berhak menerima prosesi pemakaman secara adat.

Meski demikian Pendeta Tanduklangi tak menampik bahwa dalam Bahasa Toraja ada terminologi tentang bunuh diri yang dikenal dengan istilah ‘mentuyo’. Kata ‘mentuyo’ diambil dari nama jenis kupu-kupu yang dalam Bahasa Toraja disebut ‘Tuyo-tuyo’ yaitu kupu-kupu kecil yang senang mencari cahaya/nyala api dan terbang di sekitarnya tapi pada akhirnya terbakar dan mati. Ia mati karena tertipu oleh cahaya lampu yang menarik dan dianggapnya baik tetapi ternyata membawa maut.

Jadi menurut Pendeta Tanduklangi mereka yang bunuh diri berarti sebenarnya sedang tertipu dengan apa yang dilakukannya. Ia menyangka bahwa pilihan yang ditempunya itu adalah cara terbaik tapi sebenarnya membawa petaka bagi dirinya.

Secara antropologi budaya ada nilai-nilai dalam masyarakat Toraja yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri yaitu filosofi salam khas orang Toraja yang berbunyi ‘manasumoraka (apakah sudah masak)’. Kata ‘manasumoraka adalah spirit orang Toraja yang sangat kuat untuk berbagi khususnya dalam hal makanan baik dalam lingkup paling luas yaitu mantaa (berbagi daging) hingga lingkup kecil dalam keluarga.

Jadi bagi orang Toraja makan bersama menurut Pendeta Tanduklangi adalah bingkai besar ritus-ritus orang Toraja yang diwujudkan melalui adegan makan bersama dengan keluarga bahkan dengan sesembahan (Puang Matua, deata, arwah). Bahkan menurut Pendeta Tanduklangi sistem kekerabatan dalam masyarakat Toraja diikat kuat dengan tradisi makan yang bermakna berbagi. Sayang menurutnya fungsi ini telah mulai hilang dari generasi Toraja sehingga generasi Toraja menghadapi lompatan yang cukup berbahaya ketika melihat gemerlapnya dunia dan ringkihnya rumah yang sunyi sepi dari basis keluarga.

Webinar yang berlangsung selama lima jam tersebut diinisiasi oleh Dokter-dokter Toraja yang bergabung dalam komunitas Dattoro’ Toraya Sikamali’ bekerja sama dengan beberapa komunitas seperti Pojok Diskusi Tondokta (PDkT), KNPI, Alang Ba’ru, dll. (Prb/mediakita.co)

 

 

 

 

Pos terkait