JAKARTA, mediakita.co – Sejarah panjang hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok memberikan catatan penting bagi kedua negara. Bertepatan dengan 71 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bung Karno (Fisip UBK) mengadakan webinar dengan tema “The Dynamics of Indonesia-China Relations in Political Economy and the Changing Global Order” pada 16 April 2021.
Kegiatan webinar dilaksanakan secara hybrid dengan pembicara dan moderator berada diberbagai lokasi yang berbeda. Juru Bicara Presiden Joko Widodo, M. Fadjroel Rachman dari Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tiongkok merangkap Mongolia, Djauhari Oratmangun dari Hangzhou, Wakil Duta Besar, Dino R. Kusnadi dari Beijing, Franky P. Roring dan Harsen Roy Tampomuri, masing-masing sebagai Dekan Fisip UBK dan Akademisi Fisip UBK yang juga Tenaga Ahli MPR RI menghadiri langsung di kampus UBK.
“Ini adalah hal menarik dan pengalaman pengetahuan yang luar biasa untuk para mahasiswa dan masyarakat luas. Atas nama Universitas Bung Karno dan mahasiswa, saya menyampaikan apresiasi yang luar biasa untuk setiap pembicara yang berkenan mengisi materi hari ini terkait hubungan Indonesia dengan Tiongkok dalam kaitannya dengan politik, ekonomi dan tatanan global,” ungkap Wakil Rektor III UBK, Rinaldi Agusta Fahlevi, Jumat (16/04/2021).
Rektor UBK, Didik Suhariyanto melanjutkan sambutan yang sekaligus membuka kegiatan webinar. Didik menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan suatu wujud pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi dalam pengembangan keintelektualan di Universitas Bung Karno. Politik luar negeri bebas aktif merupakan sebuah landasan yang menjadi prinsip hubungan internasional oleh Indonesia. Hubungan bilateral antar negara harus terjalin dengan baik, Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatik secara resmi dengan Tiongkok.
“Dewasa ini pengaruh Tiongkok semakin menguat dalam kontelasi global dan regional, yang jika dimanfaatkan dengan baik kondisi ini tentu akan membawa pengaruh signifikan bagi Indonesia. Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dunia memberikan pengaruh dalam konteks politik dan ekonomi di Indonesia. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok telah berkembang dengan cepat. Dalam hubungan internasional perlu kebijakan luar negeri yang harus memperhatikan prinsip martabat nasional. Setiap negara dalam hubungan internasional harus memberikan pengaruh terhadap kepentingan nasional,” tegas Didik.
Juru Bicara Presiden RI, M. Fadjroel Rachman dalam keynote speech menyampaikan bahwa dia sangat bergembira bisa berbicara diacara yang sangat terhormat yakni di webinar Universitas Bung Karno. Fadjroel sedikit bercerita sebagai seseorang yang satu kampus atau almamater dengan Bung Karno dan Bung Karno jelas sebagai seniornya. Yang mana saat masuk di ITB, yang pertama didatanginya adalah Fakultas Teknik Sipil, mencari ruangan Bung Karno dulu kuliah.
Fadjroel melanjutkan bahwa Presiden Joko Widodo sangat menghormati hubungan dengan Tiongkok. Pada momen 71 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Tiongkok, Presiden Joko Widodo mengatakan “Saya harapkan hubungan dan kerja sama antara dua negara akan lebih kuat dan saling menguntungkan”.
“Kerja sama kedua negara, Indonesia dan Tiongkok adalah penggabungan kekuatan ekonomi, kebudayaan dan politik besar sehingga akan menjadi kekuatan global di masa mendatang. Oleh karenanya, seperti pesan Presiden Joko Widodo, kerja sama kedua negara akan terus ditingkatkan agar menjadi kekuatan global,” ucap Fadjroel.
Duta Besar Djauhari Oratmangun dari Hangzhou menyampaikan beberapa hal penting terkait dinamika hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. Pertama, sejak 2013 Indonesia dan Tiongkok adalah comprehensive strategic partnership sementara sejak 2005 strategic partnership. Saat ini kita masih dalam suasana merayakan 71 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok yang dibuka sejak 13 April 1950. Dinamika hubungan antara dua negara bertumpu pada tiga pilar yakni politik keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial dan budaya.
“Saya mungkin akan lebih menekankan pada pilar ekonomi serta sosial budaya. Pilar politik dan keamanan saya kira sudah banyak yang dikerjakan apakah itu dalam konteks bilateral maupun dalam kerja sama regional khususnya East Asia Summit (EAS)-ASEAN, ARF serta keterlibatan bersama-sama dalam forum-forum multilateral. Selain itu, tentunya kita berharap juga bahwa dimasa yang akan datang gagasan Indonesia yang telah diwujudkan menjadi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dapat didukung oleh Tiongkok dan beberapa negara partner ASEAN.” ucap Dubes Djauhari.
Lanjut Dubes Djauhari, pada bagian kedua yakni sektor ekonomi, ditahun 2020 pertumbuhan volume ekspor antara Indonesia dan Tiongkok telah mencapai 78,9 miliar USD. Menurutnya, Tiongkok merupakan partner dagang Indonesia yang terbesar saat ini. Dibidang investasi pada tahun 2020 realisasi investasi Tiongkok di Indonesia sudah mencapai 4,8 miliar USD sementara Hongkong berada diposisi keempat dengan jumlah 3,5 miliar USD. Apabila Tiongkok ditambahkan dengan Hongkong maka itu jumlah yang sangat signifikan.
Dalam bidang tourism economy, sayangnya kita dihadapkan pada situasi pandemi sehingga tahun 2020 sangat minim jumlah turis dari Tiongkok yang berkunjung. Padahal tahun 2019 turis Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 2,1 juta pengunjung. Selanjutnya kontribusi digital economy di Tiongkok terhadap GDP sudah 32% sementara di Indonesia sekitar 3%. Indonesia diprediksi akan menjadi leader disektor digital economy ditahun 2025 dengan nilai 130-150 miliar.
“Pilar yang ketiga adalah sosial budaya, tentunya pertukaran budaya antar kedua negara sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dan itu sekarang direfleksikan juga hingga sebelum masa pandemi. Sementara itu jumlah mahasiswa asal Indonesia yang studi di Tiongkok telah mendekati 16.000 orang. Kita berharap dimasa yang akan datang semakin banyak mahasiswa Indonesia yang mengejar ilmu ke Tiongkok karena kelak mereka yang akan menjadi jembatan kata-kata bagi hubungan Indonesia-Tiongkok. Sementara itu semakin banyak juga mahasiswa Tiongkok yang mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia,” ungkapnya.
Dubes Djauhari menambahkan bahwa salah satu yang dikerjasamakan pada masa pandemi adalah infrastruktur kesehatan termasuk vaksin untuk menjamin pasokan vaksin ke Indonesia. Hal ini terus dikoordinasikan melalui berbagai pertemuan pada tingkat menteri. Sementara itu Tiongkok ingin agar Indonesia menjadi manufacture hub untuk vaksin di Indonesia.
“Dalam hubungan ini Indonesia harusnya menyadari posisi arti penting Indonesia bagi Tiongkok, sehingga memiliki posisi tawar terhadap Tiongkok. Selanjutnya dalam hubungan diplomatik, wajar setiap negara mengajukan kepentingan nasionalnya, namun dalam relasinya tentu kepentingan yang saling membagi, apakah bentuknya keuntungan atau manfaat,” ungkap Dekan Fisip UBK, Franky P. Roring.
Menurutnya yang menjadi kendala utama hubungan Indonesia-Tiongkok yakni diwarnai dengan kecurigaan dan persepsi serta opini negatif sebagai masyarakat kepada kepentingan terselubung dan ambisi Tiongkok. Bahkan Franky menambahkan bahwa kecurigaan juga ditujukan kepada pemerintah Indonesia sendiri karena dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok. Maka penting untuk membangun saling kesepahaman antar masyarakat atau people to people. Selain itu tetap bersahabat dengan lain negara sesuai prinsip bebas aktif dan prinsip one thousand friend zero enemy.
Wakil Duta Besar RI untuk RRT merangkap Mongolia, Dino Kusnadi yang juga hadir mendampingi Duta Besar menyampaikan bahwa yang menjadi balas hubungan bilateral yang stabil adalah hubungan people to people contact dibidang sosial budaya. Hubungan antara non pemerintah, universitas, akademisi, dan pertukaran antar mahasiswa itu sebenarnya menjadi balas yang bisa menjembatani generasi kita dan generasi Tiongkok saat ini. Untuk generasi kita, kita harus terus bisa memberikan sumbangsi dibangun balas people to people sehingga kalau terjadi masalah dan gangguan ekonomi maka masyarakat kita akan saling menguatkan karena sudah saling memahami latar belakang budaya dan filosofi hidupnya.
“Disinilah letak peran dari mahasiswa dan akademisi untuk memperdalam pemahaman kita tentang Tiongkok. Begitu juga dari Tiongkok, kita berusaha memperkenalkan Indonesia yang saat ini adalah maju, modern, demokratis dan berasaskan Pancasila. Mudah-mudahan dengan balas people to people contact ini maka hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok dapat dimanage dengan baik dan kita bisa sama-sama merasakan kesejahteraan pada masa-masa yang akan datang,” ucap Dino.
Harsen Roy Tampomuri selaku akademisi Fisip UBK yang memoderatori jalannya webinar menyampaikan bahwa pandangan visioner Soekarno pada pertengahan tahun 1950 hingga 1965 terkait Tiongkok sebagai mercusuar dan pusat modernisasi di luar blok Barat dan blok Timur yang sejalan dengan gagasan New Emerging Forces (NEFO) memiliki relevansinya kini. Ketika melihat polaritas dalam sistem internasional secara khusus sistem kontemporer, terlihat perubahan dalam tatanan global dengan munculnya kekuatan baru termasuk dari Asia yakni Tiongkok.
Menurut Harsen, Indonesia wajib melihat peluang kerja sama dalam ragam konstelasi global, termasuk dengan Tiongkok. Tiongkok yang kini kuasai 18 persen ekonomi dunia tentu tidak bisa diabaikan keberadaannya. Kerja sama dua arah diberbagai bidang perlu diperkuat dengan terus menjaga politik luar negeri bebas aktif baik dengan Tiongkok maupun negara manapun.
“Selain itu kerja sama diruang-ruang akademik intelektual tentunya diperlukan pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri dalam rangka memboboti pertimbangan untuk pembuatan kebijakan luar negeri. Disinilah collaborative governance berbasis pendekatan penta helix dibutuhkan yakni dengan melibatkan lima jenis pemangku kepentingan, baik academic, business, community, government maupun media, semoga kerja sama UBK dengan KBRI Beijing dapat terus berlanjut,’ ungkap Harsen menutup rangkaian diskusi dalam webinar. (hrt/mediakita.co)