Opini, mediakita.co – Banyak bentuk pesta demokrasi yang telah digelar dalam kehidupan politik kita sekarang. Pilpres, Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati dan Pemilu Legeslatif. Tak ketinggalan adalah Pilkades. Pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaannya begitu mendetail keterkaitan antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya. Sehingga, perlu ketelitian dari tiap calon pemilih dalam menilai calon pemimpin yang akan dipilihnya. Namun pilkades terasa lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu di atasnya. Yaitu adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon. Sehingga, suhu politik di lokasi sering kali lebih terasa dari pada saat pemilu pemilu yang lain, potensi konflik antara para pendukung juga tinggi. Pengenalan atau sosialisasi terhadap calon-calon pemimpin bukan lagi mutlak harus lagi penting. Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh setiap anggota masyarakat yang akan memilih. Namun demikian sosialisasi program atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye atau pendidikan politik yang baik. Kedekatan pribadi, akan sering kali banyak dipakai oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya. Di sini unsur nepotisme masih begitu kental membudaya. Demikian juga dengan kolusi, hubungan baik dalam berbagai posisi juga banyak dijadikan sebagai unsur penentuan hak pilih. Demikian juga dengan unsur politik uang (money politic) yang sering dijadikan iming-iming dorongan dalam pemilihan.
Di sini pendidikan politik perlu dikembangkan. Kerelaan berkorban untuk kepentingan desa yang juga merupakan bagian dari bangsa dan negara ini tentu perlu diwujudkan. Tidak semua pengorbanan harus diukur dengan kontribusi uang. Kalau budaya money politic di tingkat desa bisa dikikis, tentu sedikit demi sedikit di tingkat yang lebih atas dapat diwujudkan proses pemilihan pelaksana pemerintahan yang jujur dan adil.
Untuk mengantisipasi terjadinya penyebaran virus Corona dalam Pilkades serentak pemerintah sudah menyiapkan protokol kesehatan baik protokol 3 M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) maupun melakukan 3 T (test, tracing dan treatment).
Namun sayangnya, dalam mengantisipasi ‘virus’ politik uang dalam Pilkades serentak, sepertinya pemerintah daerah masih belum memiliki protokol yang ketat.
Padahal, virus politik uang ini akan mempengaruhi keterpilihan para calon yang mengutamakan keberpihakan pada masyarakat, profesionalisme dan dedikasi dalam membangun desa. Calon-calon seperti ini akan berguguran terimbas virus politik uang.
Ironisnya, aksi terlarang yang melanggar Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa ini dianggap biasa oleh tim para pelaku yang menganggap money politic tersebut hal lumrah.
Padahal justru hal tersebut merusak sistem hukum ketatanegaraan dan berpeluang sang pejabat melakukan tindak pidana korupsi dengan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena bisa saja dana pembangunan desa, bantuan sosial ataupun dana desa lainnya rawan dikorupsi mengingat budaya money politic atau politik uang itu bisa mengakibatkan bagaimana cara uang modal pemilihan kepala desa bisa kembali lagi alias Break Event Point (balik modal).
Menjabat sebagai kepala desa bukan saja soal prestice atau pun soal penghasilan dari negara. Tetapi juga seorang kepala desa itu dituntut untuk mensejahterakan masyakat desa dengan melakukan pemberdayaan ekonomi dan tentu juga memajukan pendidikan bagi masyarakatnya.
Sekedar mengingatkan bahwa pratek politik uang bisa dipidana. Hal itu sesuai dengan pasal 149 KUHP. Dimana, pemberi maupun penerima uang bisa dipidana 9 bulan penjara, serta denda Rp 4.500. Tidak hanya itu, di ayat 2 dengan pasal yang sama dijelaskan pemilih yang mau disuap, atau diberi janji juga bisa dipidana.
Terkhusus bagi masyarakat Bastem Utara yang akan melaksanakan pesta demokrasi di tingkat desa dalam waktu dekat agar benar-benar dapat memilih pemimpin yang dapat membangun kampung dengan konsep dan visi yang jelas terkait dengan situasi dan kebiasan di kampung tersebut, dapat mengembangkan potensi yang ada di kampung, jangan sampai masyarakat memilih pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan golongan maupun pribadi.
Penulis: Yonas Randan Bua (Ketua Pemuda Bastem Jayapura – Papua)