Headline

Kamis, 4 Desember 2025
ajibpol
OPINI

Kolonialisme Kultural Transmigrasi Ke Toraja

Opini, Mediakita.co – Ramai diperbincangkan Masyarakat Toraja tentang rencana pemerintah melakukan transmigrasi ke dataran tinggi Sulawesi Selatan khususnya Toraja. Rencana transmigrasi ke Toraja terdengar aneh karena masyarakat Toraja sendiri Sebagian besar masyarakatnya merantau karena daerah tersebut tidak terlalu produktif untuk penghidupan mereka. Toraja adalah salah satu daerah yang ada di dataran tinggi sulawesi selatan. Daerah Toraja sebagian besar terdiri atas pegunungan berbatu dan rawan dengan bencana alam seperti longsor dan banjir. Dataran tinggi Toraja juga menjadi hulu beberapa sungai besar yang mengairi dataran rendah Sulawesi. Dengan kata lain Toraja adalah daerah cadangan air bagi dataran rendah di Sulawesi Selatan dan Barat. Tanah Toraja juga adalah daerah yang unik dan kental dengan adat dan budayanya yang dikagumi dunia. Semua tanah di Toraja adalah tanah adat atau ulayat yang dimiliki secara komunitas. Tanah di Toraja juga tidak terlalu cocok dengan semua jenis tanaman dan tergolong tanah tandus.

Kondisi Toraja sebagai dataran tinggi yang sebagian besar terdiri atas pegunungan berbatu, rawan longsor dan banjir, serta menjadi hulu sungai besar yang mengairi dataran rendah di Sulawesi jika dijadikan tujuan transmigrasi maka akan berisiko tinggi menyebabkan bencana dan Ketidakberlanjutan. Perspektif ekologis berpendapat bahwa sistem sosial, ekonomi, dan politik saat ini tidak berkelanjutan dan telah mencapai titik krisis ekologis. Transmigrasi ke daerah yang secara alami rapuh, rawan bencana, dan sensitif secara ekologis dapat memperburuk kondisi alam di sana, yang merupakan krisis lingkungan hidup yang meliputi deforestasi dan erosi lapisan atas tanah.

Toraja adalah daerah cadangan air untuk dataran rendah di Sulawesi. Setiap pembangunan yang merusak lingkungan alam di Toraja dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan peradaban di dataran rendah yang bergantung pada air tersebut. Hal ini bertentangan dengan kebutuhan akan keberlanjutan ekologis (ecological sustainability). Perspektif ekologis menekankan holisme dan kesaling-terkaitan (interconnectedness), yang berarti bahwa gangguan pada satu sistem (seperti ekosistem hulu sungai Toraja) hampir pasti akan gagal dan akan mendatangkan konsekuensi negatif di tempat lain (dataran rendah Sulawesi).

Baca Juga :  Puro Mangkunegaran Gelar Kirab Pusaka Dalem

Perspektif sosial, buadaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkap bahwa transmigrasi, sebagai program yang dipaksakan dari luar, berisiko besar melanggar prinsip keadilan sosial dan HAM yang menjadi landasan pengembangan masyarakat. Seluruh tanah di Toraja adalah tanah adat atau ulayat yang dimiliki secara komunitas. Penerapan program transmigrasi yang melibatkan pemindahan penduduk dan kemungkinan alokasi lahan kepada pendatang akan menghilangkan nilai budaya lokal dan melanggar prinsip menghargai kebudayaan lokal. Pengembangan masyarakat yang efektif harus menghargai dan mengesahkan kultur lokal dan mendorong otonomi. Memaksakan nilai atau struktur dari luar (seperti pola kepemilikan individu atau pola pertanian baru) bertentangan dengan prinsip perubahan dari bawah (bottom-up) dan dapat dianggap sebagai bentuk kolonialisme atau imperialisme kultural.

Transmigrasi adalah program yang umumnya bersifat top-down. Pengembangan masyarakat yang benar harus didasarkan pada partisipasi warga negara yang maksimal dan proses pemberdayaan. Keputusan mengenai pemanfaatan tanah dan pengembangan harus dilakukan oleh masyarakat lokal, yang paling mengetahui apa yang mereka butuhkan. Pendekatan ekologis menghargai keanekaragaman (diversity). Transmigrasi berisiko menerapkan budaya tunggal (monoculture) dan memaksakan satu cara ‘tepat’ untuk melakukan segala sesuatu, yang merupakan resep untuk kehancuran ekologis dan kultural.

Kondisi tanah Toraja yang tandus dan tidak cocok untuk semua jenis tanaman menimbulkan pertanyaan serius tentang kelayakan ekonomi program transmigrasi. Prinsip keswadayaan (self-reliance) yang diturunkan dari keberlanjutan menuntut masyarakat bergantung pada sumber daya mereka sendiri dan meminimumkan ketergantungan eksternal. Jika tanah Toraja tidak produktif untuk pertanian umum dan lebih cocok untuk penggembalaan atau kayu, maka program yang mendatangkan transmigran untuk bertani konvensional berpotensi gagal dan tidak berkelanjutan.

Masyarakat lokal Toraja sudah menggunakan tanah yang tidak produktif untuk penggembalaan, berkebun atau menanam kayu. Ini adalah contoh pengetahuan lokal (local knowledge) yang harus dihargai dan disahkan. Pemerintah seharusnya mendengarkan dan belajar dari masyarakat, bukan mengajari mereka tentang problem dan kebutuhan mereka.

Baca Juga :  SAYA BERSAKSI, ADE ARMANDO RAJIN SALAT

Kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Toraja harus merantau untuk mencari penghidupan sudah menjadi indikasi bahwa kondisi alam dan ekonomi setempat tidak menguntungkan untuk populasi yang lebih besar.

Jadi, rencana transmigrasi yang bersifat terpusat (top-down) dan tidak peka terhadap ekologi dan budaya lokal Toraja tidak akan berkelanjutan dan berpotensi memperkuat struktur penindasan. Jika pemerintah benar-benar ingin mengatasi masalah sosial dan ekonomi di Toraja (seperti tingginya angka merantau) dan sekaligus melindungi aset ekologis (hulu sungai), pendekatan yang disarankan oleh sumber adalah pengembangan masyarakat terpadu (integrated community development) bukanlah mendatangkan transmigrant ke Toraja.

Pemerintah sebaiknya mencari alternatif ekonomi yang berbasis lokal, seperti sistem LETS (Local Exchange Trade Systems) atau koperasi yang dapat memanfaatkan keterampilan lokal dan sumber daya non-pertanian (seperti kerajinan berbasis budaya, kayu, atau pariwisata yang dikelola secara berkelanjutan dan etis).

Pemerintah seharusnya menggunakan keunikan budaya Toraja dan sistem tanah adat sebagai landasan untuk memperkuat identitas dan otonomi lokal. Ini mencakup pembentukan struktur manajemen lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat luas dalam pengambilan keputusan.

Selain itu pemrintah harus memastikan bahwa semua dimensi pengembangan—sosial, ekonomi, politik, kultural, lingkungan hidup, dan spiritual/personal—tercakup secara seimbang, karena pengembangan satu dimensi saja (misalnya, hanya ekonomi) kemungkinan besar akan gagal dalam pengertian keutuhan masyarakat.

Jadi merencanakan transmigrasi ke Toraja adalah seperti mencoba membangun pabrik besar di atas “kapal yang bocor” (kondisi alam yang rapuh dan rawan bencana) dengan menggunakan pendekatan top-down dan sumber daya eksternal sambil mengabaikan “pemilik kapal” (masyarakat adat). Sebaliknya, pengembangan masyarakat akan berfokus pada melatih “pemilik kapal” untuk memperbaiki dan mengelola kapal mereka sendiri dengan sumber daya internal, memastikan kapal itu tetap stabil, lestari, dan sesuai dengan cara hidup mereka.

Penulis: Piter Randan Bua (Dosen Prodi Sosiologi Agama IAKN Toraja)

 

Artikel Lainnya

Indeks Berita Memuat...Tidak Adal Lagi Postingan.