NASIONAL, mediakita.co- Akademisi minta presiden meng-endorse RUU PPRT (Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga)
Sekretaris Asosiasi Studi Wanita dan Gender Indonesia (ASWGI), Arianti Ina Hunga, menuturkan, bahwa manusia modern masih mewarisi sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme. Hal ini menjadi penghalang bagi perjuangan kesetaraan lintas SARA (Suku Agama Ras Antar golongan), termasuk gender. Menurutnya RUU PPRT bagian dari upaya transformasi masyarakat sesuai konstitusi, yaitu terciptanya masyarakat egaliter, kebangsaan seperti sila 2 dan 5 Pancasila.
“Negara harus menghormati hak PRT. Oleh sebab itu, ASWGI mendukung penuh pengesahan RUU PPRT ini, karena bagian dari tantangan kesetaraan gender mengingat 80% PRT terdiri dari perempuan,” tuturnya.
Senada, Titik Rahmawati, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Walisongo Semarang, berujar, bahwa UU PPRT harus ada untuk menyudahi praktek diskriminasi yang bersumber dari kelas sosial.
“UU PPRT wujud penghargaan kemanusiaan. Jadi RUU ini kepentingan kita bersama,” ujarnya.
Kedua pengajar dan peneliti isu gender tersebut berbicara dalam webinar yang berjudul “Komitmen Akademisi untuk Mewujudkan Keadilan Sosial #SahkanRUUPPRT” yang digelar oleh Koalisi Sipil untuk Pengesahan RUU PPRT (K-PPRT) pada Jum’at (7/1/21). Webinar diikuti oleh berbagai komunitas kampus, yaitu anggota PSGA dan ASWGI, mahasiswa/mahasiswi studi gender, ormas mahasiswa yang terhimpun di kelompok Cipayung plus, serta para aktivis perempuan.
Eva Sundari mewakili Institut Sarinah dan K-PPRT, menjelaskan pengantar diskusi, bahwa pihaknya sedang menggalang dukungan akademisi untuk ikut mendukung pengesahan RUU PPRT.
“Kami menyiapkan surat berantai kepada Presiden Jokowi untuk juga memberikan endorsement untuk RUU PPRT yang sudah 1,5 tahun macet prosesnya di tangan para pimpinan DPR. Saya gembira para perempuan akademisi mendukung surat kami tersebut,” ungkapnya.
Mewakili PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) sekaligus anggota Bahtsul Masail, Nyai Badriyah Fayumi dan Gus Abdullah, menyampikan dukungannya terhadap pengesahan RUU PPRT.
“Tidak ada satupun yang keberatan di komisi maupun di pleno muktamar. Para Kyai dan Nyai NU satu suara mendukung RUU PPRT, karena ini berkaitan dengan kepentingan kelompok mustazafin, yaitu kelompok yang dilemahkan dan harus dilindungi agama,”papar Nyai Badriyah.
Sementara itu, Gus Abdullah Aniq, mengimbuhkan, “RUU PPRT adalah perintah Islam. Agama menyuruh kita memanggil budak dengan ‘saudaramu’ apalagi pekerja kita. Isi RUU PPRT sejalan dengan aturan fiqh di kitab-kitab kuning, hadis-hadis sahih dan contoh-contoh Nabi memperlakukan PRT yaitu dengan hormat dan berkata-kata dengan lembut,” kata Gus Abdullah Aniq.
Lita Anggraeni dari Jala PRT, mengeluhkan, bahwa sebenarnya draft versi Baleg ini sangat moderat dibanding tuntutan Konvensi ILO no 189/2015. “Isinya hanya 2, yaitu pengakuan status pekerja dan kepesertaan di BPJS ketenagakerjaan dan kesehatan sehingga PRT terlindungi,” ucapnya.
Baariyah dari Pertimix memperkuat kebutuhan terhadap RUU PPRT bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Kondisi pekerja Philipina paling bagus karena mereka punya UU PPRT di Philipina. Riset kami menunjukkan UU PPRT memberi dampak positif bagi PRT di dalam dan luar negeri Philipina sekaligus,” jelasnya.