ajibpol
POLITIK

Bahaya Kotak Kosong Dalam Pilkada 2020

OPINI, mediakita.co – Perwujudan demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945, salah satunya adalah proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; anggota legislatif, Dewan Perwakilan Daerah dan kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan local accountability, political equity dan local responsiveness.

Selain itu, Pilkada yang diselenggarakan secara dengan profesional dan demokratis, diharapkan dapat menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik, dengan Pemimpin daerah yang merepresntasikan kepentingan rakyat, sehingga Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik.

Permasalahan kotak kosong dalam kontestasi pilkada, berkaitan dengan kondisi politik di daerah, dalam hal ini konfigurasi kekuatan partai politik, yang kedepanya akan membawa pengerucutan pada dukungan atau pemberian rekomendasi untuk calon kepala daerah yang akan diusung. Hal tersebut memunculkan permaslahan ketika konfigurasi partai politik di suatu daerah hanya memunculkan satu calon kepala daerah, atau calon kepala daerah yang berkeinginan maju dalam kontestasi mendapat semua dukungan partai politik sehingga memunculkan satu calon saja (calon tunggal), padahal terkadang rakyat memiliki pilihan lain, sehingga partai politik dianggap menapikkan peran dan fungsi dari pemilik kedaulatan itu sendiri yaitu rakyat. Meskipun terdapat kerangka acuan dalam mengusung calon independen, namun harus dengan persyaratan dan kriteria yang sangat ketat.

Jika kita lihat calon tunggal ini mengalami peningkatan presetase, pada pilkada tahun 2015 yang lalu diikuti 269 daerah dan terdapat 11 daerah yang memiliki calon tunggal, pada Pilkada serentak tahun 2018 terdapat 171 daerah, dan 16 diantaranya dengan calon tunggal. Sedangkan pada pilkada 2020 yang akan datang, diikuti 270 daerah, setidaknya terdapat 25 daerah yang memiliki calon tunggal, fenomena tersebut menunjukan regenerasi calon pemimpin daerah sangat rendah, selain itu partai politik tidak dapat memunculkan aggota-anggotanya untuk ikut serta dalam kontestasi. Munculnya calon tunggal tentu tidak baik bagi demokrasi pada tingkat daerah, dikarenakan rakyat tidak dapat membandingkan mana calon yang terbaik dan selanjutnya rakyat hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu memilih calon atau tidak memilih calon.

Suara Calon Tunggal Kurang 50% Dilaksnakan Pemilihan Ulang
Landasan yuridis calon tunggal diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur mekanisme pilkada yang hanya diikuti calon tunggal. Dalam Pasal 54D diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.

Terkait tatacara pelaksnaan pilkada di daerah dengan calon tunggal, Sejauh ini aturan hukum yang mengatur masih menggunakan PKPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Pilkada Dengan Satu Pasangan Calon, yang di atur pada pasal 25 ayat 1, menyatakan bahwa, apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya. Sementara di ayat (2) disebutkan “Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Baca Juga :  Video Viral: Wow, Denny Siregar Bongkar Kebusukan Novel Baswedan, dari Sarang Burung Walet hingga Siraman Air Keras

Meskipun terdapat Judicial Review Pada undang-undang Nomor 10 tahun 2016 terkait frasa “pemilihan berikutnya” dalam PUTUSAN Nomor 14/PUU-XVII/2019 MK menyatakan bahwa frasa tersebut tidak bertentangan dengan UUD, MK berpendapat bahwa “Pasal 54D ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 54D ayat (3) Undang-undang nomor 10 tahun 2016 ini, yang menyatakan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan”. Ketentuan Pasal 54D ayat (3) tersebut menunjukkan adanya dua pilihan bagi KPU dalam menentukan waktu pemilihan kembali kepala daerah dalam hal pemilihan yang diikuti satu pasangan calon belum menghasilkan pasangan calon terpilih, yaitu:
a. Pemilihan berikutnya dilaksanakan pada tahun berikutnya, yang artinya dilaksanakan satu tahun kemudian setelah pemilihan yang diikuti satu pasangan calon tidak berhasil memperoleh pasangan calon terpilih; atau
b. Pemilihan berikutnya dilaksanakan dengan mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan in casu Pasal 201 Undang-undang Nomor 10 tahun 2016.

Dalam hal ini MK menegaskan bahwa Pemilihan ulang dapat dilakukan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal pemilihan berikutnya yang telah ditentukan undang-undang diserahkan kepada KPU sebagai penyelenggara Pilkada. Ketentuan terkait pilihan yang kedua, mengenai Pasal 201 dapat di lihat pada ayat 7 dan 8 undang-undang Nomor 10 tahun 2016, yang menyatakan: (ayat 7): Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Selanjutnya dalam menyatakan (ayat 8): Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Kepala Daerah Ditentukan oleh Kemendagri
Sesuai putusan MK yang memberikan dua pilihan kepada KPU untuk menyelenggarakan pilkada jika calon tunggal tidak memenuhi 50% suara seperti penjelasan sebelumnya, KPU bisa melaksanakan pilkada ulang tahun berikutnya atau sesuai jadwal yang ditentukan UU, namun bagaimana jika pilkada ulang itu calon tunggal tetap tidak memenuhi 50%. Bisa dikatakan bahwapilkada ulang itu gagal menentukan pemimpin baru di daerah. maka dalam Undang-undang Nomor 10 dalam pasal 54D disebutkan bahwa “Jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan.” Artinya, Kementerian Dalam Negeri yang nantinya akan memilih Kepala daerah yang bertugas hingga perhelatan Pilkada Serentak selanjutnya.

Baca Juga :  400 Jurnalis Merahasiakan Panama Papers Selama 1 Tahun. Ini Alasan Mereka Membukanya Sekarang
BAHAYA KOTAK KOSONG DALAM PILKADA 2020
BAHAYA KOTAK KOSONG DALAM PILKADA 2020

Jika demikian, merujuk pada putusan MK itu jika calon kepala daerah tidak memenuhi 50% dalam pemilihan ulang maka KPU dapat memilih pilihan yang ke dua, yaitu disesuaikan jadwal pilkada serentak sesuai jadwal yang telah diselenggarakan oleh undang-undang sesuai (ayat 8) undang-undang Nomor 10 tahun 2016: Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Sesuai masa jabatan kepala daerah di Indonesia dalam satu periode kepemimpinan selama 5 tahun, maka daerah dengan calon tunggal yang gagal melaksanakan pilkada akan dipimpin Pejabat yang di tunjuk oleh Kemendagri dan memimpin selama 5 tahun sesuai masa jabatanya, karena jika di hitung dari tahun 2020 jadwal pelaksanaan pilkada selanjutnya akan dilaksnakan pada tahun 2024.

Padahal pejabat yang di tunjuk oleh Kemendgri tersebut memiliki kewenangan terbatas, dan berbeda dengan kewenangan Kepala daerah difinitif. Pejabat Sementara (PJs) atau Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah, tidak dapat memutuskan kewenangan strategis.

Hal tetrsebut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008, Pasal 132A, berbunyi : Ayat (1) : “Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang : a. melakukan mutasi pegawai; b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya”. Selanjutnya pada Ayat (2)-nya : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri”.

Penulis: Nando Yussele Mardika – Peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember

Artikel Lainnya