Debat Pilkada DKI dan Perang Lembaga Survey

 

NASIONAL, mediakita.co – Debat Pilkada DKI yang kedua selesai diselenggarakan tadi malam. Menurut sejumlah kalangan, debat kedua tadi bakal lebih memengaruhi pemilih yang belum menentukan pilihan mereka (undecided voters) dibandingkan dengan debat sebelumnya.

Pasalnya, di debat kedua ini pemilih mendapat referensi lebih banyak bagaimana program setiap pasangan cagub-cawagub untuk Jakarta.

Namun ditengah riuhnya debat Pilkada DKI ini, sejumlah kalangan menilai “Ada Perang Antar Lembaga Survey” untuk mempengaruhi opini masyarakat.

Memang tak bisa dipungkiri, di setiap gelaran pesta demokrasi, baik tingkat nasional maupun daerah, lembaga-lembaga survei akan berlomba menyampaikan hasil kerjanya. Namun, biasanya hasil survei antar lembaga hanya berselisih sedikit prosentase.

Bacaan Lainnya

Di Pilkada DKI kali ini, hasil kerja diantara beberapa lembaga survey justru saling bertolak belakang. Bahkan dinilai tak masuk akal.

Ada opini yang menyebut bahwa lembaga survei dimanfaatkan sebagai alat kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.

Menjelang Pilkada DKI ini setidaknya ada lima lembaga survey yang kerap merilis elektabilitas pasangan cagub dan cawagub DKI. Kelima lembaga tersebut yakni Populi Center, Indikator Politik Indonesia (IPI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Poltracking, dan Polmark Research Center (PRC). Hasil surveynya menunjukan perbedaan tingkat elektabilitas yang sangat mencolok.

Menurut survei PRC, elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno tertinggi dibanding dua pasangan lain. Sementara, pada survei yang dilakukan LSI Denny JA, Poltracking, dan GPR menyebutkan bahwa elektabilitas pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di posisi teratas. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat diunggulkan dalam survei Populi Center dan IPI.

Melihat perbedaan ini, Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Philips J Vermonte, menyarankan agar masing-masing lembaga survey berani membuka data mentahnya pada masyarakat.

“Paling gampang semua lembaga survei yang melakukan rilis ke publik itu diwajibkan untuk membuka raw datanya,” saran Philips.

Menurut Philips, jika masing-masing lembaga survey tak mau “transparan” membuka datanya ke publik. Maka bisa berakibat tergerusnya kredibilitas lembaga survei itu sendiri. Akhirnya masyarakat menuding mereka sebagai juru kampanye calon tertentu.

Bukan hanya itu, perang antar lembaga survey dalam hajatan demokrasi, juga dapat memicu kegaduhan dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada proses demokrasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.