Oleh : Damas Baswananda
Hari ini, one touch service sudah jadi primadona di setiap kelas masyarakat. Munculnya fenomena perusahan aplikasi transportasi daring (online) telah banyak merubah tatanan pola hidup masyarakat kita. Disaat transportasi umum konvensional mencapai titik jenuhnya untuk berkembang, transportasi daring telah menjadi alternatif baru yang sekonyong-sekonyong hadir memberikan solusi.
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi disambut dengan gembira oleh masyarakat dan berkembang dengan cepat. Perusahaan penyedia tranportasi online pun melakukan rekrutmen tenaga kerja. Mereka adalah para driver yang oleh penyedia aplikasi sebut sebagai mitra. Awalnya, para mitra yang bergabung dengan perusahaan – perusahan tersebut memiliki penghasilan yang signifikan dan menjanjikan. Tak mengherankan jika beberapa dari mereka dulunya adalah top manajemer dari perusahaan lain rela menanggalkan pekerjaannya dan sepenuh waktu menekuni usaha jasa yang masih segar di pasaran ini. Namun seiring berjalannya waktu transportasi daring yang fenomenal ini mulai menghadapi permasalahan yang kompleks khususnya dalam hubungan dengan para driver sebagai mitra kerja mereka .
Munculnya ketidakharmonisan di antara keduanya. Polemik soal tarif yang murah adalah masalah utama yang mulai dipersoalkan, disamping masalah lain seperti skema insentif, koperasi yang tidak transparan, keamanan driver, aturan yang belum jelas, dll. Hal ini semakin meruncing karena pihak penyedia aplikasi seringkali membuat kebijakan secara sepihak. Termasuk didalamnya perekrutan driver secara besar – besaran tanpa memperhatikan permintaan pasar. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara driver dengan konsumen pengguna jasa transportasi. Hal ini pun mempengaruhi turunnya penghasilan para driver karena permintaan konsumen mulai berkurang.
Mencermati fenomena transportasi daring dengan permasalahannya, maka penulis teringat dengan tulisan Guy Standing dalam buku, ‘The Precariat: the New Dangerous Class’, yang menjelaskan tentang pekerja prekariat (pekerja yang tidak menentu). Prekariat sendiri menurut Guy adalah paduan antara precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Prekariat sendiri memiliki ciri; jam kerja, kontrak kerja, jaminan kerja dan lingkup kerja yang tidak menentu. Akibatnya rawan terhadap eksploitasi baik oleh pemilik modal maupun pemegang kekuasaan.
Pendapat Guy tersebut bila dijadikan sebagai pisau analisa atas permasalahan yang dihadapi para driver transportasi daring maka dapat dilihat bahwa profesi ini adalah profesi yang sangat rentan dengan eksploitasi. Hal ini dapat dilihat dari ketidak jelasan jam kerja, jaminan sosial dan perlindungan hak – hak mereka sebagai pekerja, dll. Hal ini semakin tegas dengan pengaburan istilah mitra yang disematkan pada mereka. Mitra yang hanya bersifat fatamorgana karena para driver tak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Kenyataannya setiap kebijakan mutlak hanya ada pada penyedia aplikasi.
Ibarat rantai makanan, para driver adalah penghuni baris pertama dalam rantai makanan bisnis ini yang dituntut untuk menyediakan yang terbaik untuk rantai selanjutnya yaitu penyedia aplikasi. Para driver dituntut menyediakan jasa layanan yang terbaik untuk konsumen dengan harga termurah. Nasib mereka pun ditentukan oleh penilai para konsumen. Sementara itu para konsumen dimanjakan dengan layanan one stop service termasuk layanan fintech yang praktis. Padahal antara driver dan konsumen merupakan ‘lahan lahapan’ yang besar bagi penyedia aplikasi. Baik driver maupun konsumen sama – sama adalah komoditi yang memberikan keuntungan besar bagi penyedia aplikasi. Bedanyanya para konsumen begitu dimanjakan sedangkan para driver diperlakukan secara diskriminatif.
Lalu kemudian, sebagai kembang gula dalam bisnis ini ditebarlah apa yang di sebut bonus kerja (insentif) bagi driver dan voucher-voucher bagi pelanggan yang sebagian kecil diambil dari keuntungan besar yang mereka dapatkan. Namun kenyataanya lagi – lagi para driver harus bekerja seperti ‘kuda’ untuk memperoleh insentif itu, yang selalu berubah – ubah sesuai keinginan penyedia aplikasi.
Melihat fakta ini para draiver transportasi online harus sadar bahwa mereka adalah pekerja yang sangat rentan akan eksploitasi dan minim perlindungan. Yang suatu saat bisa saja kehilangan pekerjaan tanpa bisa berbuat apa – apa. Para driver harus bertindak kreatif mengantisipasi semua kemungkinan termasuk pemutusan hubungan kerja agar kehidupan terus berlanjut. Para driver transportasi daring penting memperhatikan anjuran filsuf Mechel Hardt dan Antonio yang mengatakan, sesungguhnya preksritas adalah sisi lain dari kreatifitas’. Artinya para driver transportasi daring harus mengubah prekariat menjadi kreatifitas agar tidak tertimpa perentanan yang eksploitatif.
Sementara itu pemerintah sebagai sandaran utama harus tanggap melihat kondisi ini. Membiarkannya berarti sama saja menyimpan bom waktu yang akan meledak setiap saat. Pasalnya ratusan ribu pekerja yang sangat rentan ini akan mengalami kemiskinan massal bila suatu ketika terjadi ‘tsunami’ ekonomi terhadap tranportasi berbasis aplikasi ini. Pemerintah harus mengantisipasinya dengan regulasi yang visioner dan berpihak pada kesejahteraan bersama. Khususnya kesejahteraan para pekerja.
Para driver perlu juga membangun kesadaran akan pentingnya berserikat untuk membangun kekuatan bersama memperjuangkan hak – hak mereka. Serikat para driver juga harus memikirkan alternatif – alternatif lain dalam menghadapi kerentanan profesi mereka. Para driver perlu membangun kekuatan bersama mewujudkan kemandirian ekonomi dan kedaulatan mereka sebagai pekerja. Mereka harus mandiri secara ekonomi dan tidak sekedar menjadi alat sistim kapitalistis yang tak berpihak pada masa depan mereka.
Penulis adalah Pengurus Relawan Seknas Jokowi Banyumas