OPINI, mediakita.co – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Profesor Mahfud MD, membuat keputusan yang sangat revolusioner: menyatakan OPM sebagai organisasi teroris. Keputusan resmi pemerintah yang ditanda-tangani tanggal 29 April 2021 ini adalah keputusan yang tidak populer yang sudah pasti mengejutkan banyak pihak. Namun, keputusan ini disambut positif oleh berbagai kalangan. Hanya beberapa kalangan saja yang menganggap keputusan ini tidak tepat.
Pihak OPM sendiri, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) melalui Juru Bicaranya, Sebby Sembom dengan tegas menolak status teroris yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada mereka. Mereka tak ingin status itu melekat bahkan jika dipaksakan oleh Pemerintah Indonesia maka mereka akan mengajukan gugatan ke dunia internasional. Padahal merekalah yang bisa dibawa ke pengadilan HAM internasional di Den Haag, Belanda, jika melakukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan secara indiskriminan di Papua.
Pemerintah Republik Indonesia resmi menganggap TPNPB sebagai teroris. Keputusan pemerintah tersebut sudah disesuaikan dengan undang-undang yang mengatur soal teroris. Implikasi yuridis terhadap keputusan pelabelan itu pun sangat besar. Setidaknya pihak Polri akan menjadi leading sector dalam menegakkan law and order di wilayah Papua. Polri harus segera mengambil langkah Collaborative Policing yaitu penggabungan antara High Policing dan Low Policing.
Terdapat sejumlah konsekuensi setelah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dinyatakan sebagai organisasi teroris. Pertama, ujung tombak penanganan kasus adalah Polri, dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88). Densus 88, bisa menangkap siapa saja yang setuju atau mendukung aksi kelompok bersenjata di Papua, termasuk via Twitter. Misalnya, Densus 88 harus dapat menangkap Veronica Koman yang selama ini mendukung KKB di Twitter atas dugaan terorisme, sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kedua, polisi akan menghadapi medan tempur baru yang seharusnya ditangani oleh TNI jika harus menangkap anggota kelompok teroris OPM. Kemampuan tempur di hutan belantara ini tidak dimiliki oleh polisi yang umumnya terbiasa menangani kejahatan di perkotaan secara scientific investigation. Implikasi ketiga, terhapusnya opsi negosiasi atau membuat perjanjian damai dengan teroris. Solusi dialog menjadi tertutup dengan adanya keputusan pemerintah ini.
Kendatipun demikian, Polri harus menyiapkan pelibatan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dalam menumpas Organisasi Papua Merdeka (OPM). Setelah Pemerintah melalui Kemenko Polhukam secara resmi menetapkan OPM dan organisasi terkait sebagai teroris, maka polisi kini berada di posisi point of no return. Sebelumnya, aparat Kepolisian Republik Indonesia juga memiliki Satuan Tugas Nemangkawi yang tugas awalnya adalah menangani pergerakan OPM saat masih dilabeli sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pemerintah kini resmi mengkategorikan kegiatan OPM bersenjata sebagai teroris yang akan memberi “beban” baru bagi kepolisian. Pelabelan teroris sudah berdasar pada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa juga dilihat sebagai peluang “ekstensi peran” bagi Polri. Tindakan KKB sudah sepatutnya masuk kategori teroris sesuai definisi dalam beleid tersebut, namun mengejar pelaku terornya akan menghabiskan waktu dan sumberdaya kepolisian.
Sebagai konsekuensi logis dari keputusan penyebutan OPM sebagai teroris, maka para pelaku akan dihukum menggunakan UU 5/2018 yang berbeda dengan nomenklatur pasal-pasal kejahatan biasa dalam KUHP. Dalam operasi penegakan hukum terhadap terorisme, Polri dapat meminta bantuan TNI. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu segera menandatangani Pepres TNI mengatasi teroris sebagai payung hukumnya. Di sisi lain, pelabelan teroris terhadap KKB di Papua harus secara spesifik merujuk pada pimpinan mereka. Jangan sampai salah menyebut sebagai kelompok teroris Papua karena akan membuat marah warga Papua lain yang tidak mendukung, misalnya kelompok teroris Lekagak Telenggen, kelompok teroris Goliat Tabuni, kelompok teroris Kely Kwalik, dan orang-orang lain yang terlibat di KKB ini sudah cukup luas, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Di sisi lain, secara yuridis formal akan kontra produktif karena sidang-sidang pengadilan terhadap teroris OPM nantinya dikhawatirkan akan menginspirasi banyak orang di wilayah tersebut.
Banyak pihak selama ini memandang penuh respek kepada OPM sebagai organisasi pejuang pembebasan. Namun semenjak 2008 OPM tanpa kendali telah melakukan teror dan pembunuhan terhadap banyak anak-anak, orang tua dan memperkosa perempuan secara membabi-buta. Menurut Yoweri Museveni (2001), “The difference between a terrorist and a freedom fighter lies in the fact that while a freedom fighter sometimes may be forced to use violence, he can not use indiscriminate violence. The one who uses indiscriminate violence, that is the terrorist.” Apa yang dilakukan oleh OPM sudah sangat jelas tindakan indiscriminate violence (kekerasan tanpa pandang bulu) terhadap penduduk sipil selain penentangan mereka terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia.
Dalam studi kritis tentang terorisme, dilihat dari perspektif kewilayahan, terorisme dibagi ke dalam dua kategori besar: (1) teroris tanzim; dan (2) teroris tankim. Teroris tanzim adalah teroris yang bergerak secara dinamis, tidak perikat pada batas wilayah atau tanah dan bisa melewati sekat-sekat dan batas-batas negara, kebangsaan, suku, bahasa dan umumnya hanya diikat oleh solidaritas organik sebagai sesama penganut satu sekte atau aliran atau mazhab agama atau satu paroki ideologi. Teroris tamkin adalah teroris yang terikat pada tanah yang diklaim sebagai milik leluhurnya atau merupakan tanah yang diwasiatkan oleh kitab-kitab milenarian yang menjadi rujukannya dan oleh karenanya merasa paling berhak untuk membebaskannya dari aneksasi bangsa atau kelompok lain (Al Chaidar 2017).
Teroris tamkin mudah dibedakan dengan pejuang pembebasan (freedom fighter). Pejuang pembebasan tidak akan membunuh bangsa atau kelompok etniknya sendiri meski berbeda bahasa dan agama dan tidak akan mengancam sipil yang tak bersenjata di wilayah yang diklaimnya. Pejuang pembebasan melakukan perang gerilya yang adil (fair and just warfare) dan hanya menargetkan kelompok bersenjata (tentara dan kombatan resmi) secara vertikal. Sedangkan teroris tamkin melakukan pembunuhan secara indiskriminan kepada kelompok sipil (dan juga militer) tanpa melalui proses pengadilan mahkamah. Gerakan pembebasan memiliki lembaga pengadilan (mahkamah) dalam mengadili setiap pelanggaran yang dilakukan oleh sipil; sedangkan kelompok teroris terbiasa main hakim sendiri dan tanpa mempertanggungjawabkan pembunuhan yang dilakukannya. Teroris tamkin bisa melakukan pembajakan kapal, pesawat, bus penumpang, kereta api dan menyerang aparat otoritas hukum sipil secara brutal dan menyebarkannya melalui berbagai media untuk membuat efek ngeri bagi banyak orang. Apa yang dilakukan oleh OPM lebih mirip sebagai teroris tamkin ketimbang sebagai freedom fighter.*
Penulis adalah Doktor Ilmu Kepolisian