Bogor mendung, aku sekian jam terkurung di kamar seorang kawan. Tak ada hiburan selain televisi yang menyala sejak pagi. Pilihan keluar mencari angin segar, tidak lama pasti berjumpa hujan. Dalam keheningan akibat obrolan yang kian habis, ia sodorkan kopi ngawi. Ia ajukan syarat, untuk diseduh tanpa gula. Aku protes, kopi tanpa gula amatlah pahit, dalam keseharian di desaku, kopi pahit hanya untuk dedemit dedemit penunggu sungai. Ia disebut sesajen, yang kadang dilengkapi dengan jajanan pasar, bunga, dan perangkat lainya.
Ia terus membantah, memang aku terbiasa menikmati kopi sebatas kopi eceran di warung warung kelontong. Kopi yang nikmat justru tanpa gula, karena dengan gula, akan hilang rasa asli kopi. Aku mengangguk saja mengikuti alur ceritanya. Ia punya kawan yang setia kunjungi setiap warung kopi, dan hafal aroma plus rasanya, dan memang kopi begitu nikmat tanpa gula. Kopi eceran yang aku minum setiap hari ia sebut bukan kopi, itu hanya minuman rasa kopi. Aku terdiam sambil mengaduk kopi yang telah diseduh, dan aku berseda meminum tanpa gula. Satu gelas habis, mendung hilang, kami bersiap pergi mencari makan. Dan ternyata kopi tanpa gula memang nikmat.
Waktu kecil, setelah selesai yasinan di rumah tetangga, kami biasa disajikan kopi dan beberapa potong gorengan, Kopinya amat manis, dan seketika kantuk hilang. Aku penasaran dan membuat sendiri di rumah. Satu sendok kopi dan dua sendok gula, sampai aku berkenalan dengan kopi eceran di warung warung, cara tersebut membuat aku ketagihan.
Kopi eceran menjadi pilihan praktis, selain harganya murah, kita tak perlu menakar perbandingan kopi dan gula untuk mendapatkan rasa yang pas. Kita masih merasakan nikmatnya kopi tanpa mendapatkan kepahitan, karena sudah terusir oleh manisnya gula. Setelah merasakan rasa asli kopi di Bogor, aku baru sadar Kopi tanpa Gula justu lebih nikmat, singkatnya kita mendapatkan rasa Kopi yang sesungguhnya.
Kebetulan selepas dari Bogor, seorang kawan menawarkan Kopi Sidikalang dari Medan. Dan sesuai petunjuk seorang kawan tadi, ia akan nikmat disajikan tanpa gula. Muantep rek, Pas tenan, sampai hari ini, saya berhenti minum kopi eceran.
Saya jadi berandai, kopi adalah kehidupan, kepahitan adalah kesulitan. Gula adalah solusi praktis untuk mengakhiri kepahitan, sebut saja jalan pintas. Kehidupan kita yang senantiasa mengusir kesulitan dengan jalan pintas, memang begitu nikmat, tak ada kepahitan dan kesulitan, kita masih bisa merasakan rasa kopi meskipun bukan rasa aslinya. Namun kita tidak akan sampai menemukan kehidupan yang hakiki.
Kopi eceran kadang bisa dihabiskan dengan beberapa tegukan, istilah “sruput” yaitu meminum kopi dengan sedikit sedikit lama lama menjadi hilang. Menghabiskan Kopi dengan cara menyeruput, mengajarkan kita untuk selalu bersabar dan mengedepankan proses, cara ini menghindarkan kita dari sikap rakus, seperti tercermin dalam kebiasaan kita menghabiskan kopi dalam satu dua tegukan.
Jalan Pintas dalam hidup kita amat beragam, bahkan sering tersedia banyak pilihan. Semisal dalam himpitan kemiskinan, ada saja bisikan untuk mengakhiri kemiskinan dengan jalan pintas yang tidak bernilai halal. Semisal mencuri, merampok, maupun menipu. Bagi mahasiswa yang terdesak tidak bisa memberikan jawaban saaat ujian, bisa menggunakan jalan pintas dengan mengintip jawaban temanya.
Memang Hidup tidak bisa lekat akan kepahitan saja, ada pula yang manis dalam hiudp kita. Namun setiap Kepahitan dalam hidup ini bukanlah dihadapi dengan jalan pintas, kita harus mengedepankan kesabaran dan proses, tentunya semacam kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang tenang yang penuh kesabaran dan menghindarkan dari jalan pintas yang menghilangkan makna kehidupan.
Sampai di ujung tahun baru 2015, aku melihat film filosofi kopi di salah satu stasiun televisi, aku begitu tertegun dengan alur cerita yang bertemakan kopi tersebut. Sampai aku menemukan Foto Rio Dewanto (salah satu pemeran dalam “Filosofi Kopi”) mengenakan kaos bertuliskan kalimat menarik,”Kopi Pahit maniskan harimu. Salam Sruput. Mari minum Kopi.
Faizal Adi Surya, Tinggal di Sikasur, Belik.