ajibpol
WISATA

Mengenal Wilayah Adat Basse Sangtempe, Simbol Pemersatu Antara Luwu dan Toraja

Bastem, mediakita.co – Basse Sangtempe’ yang selanjutnya disebut Bastem adalah sebuah wilayah adat  dan juga pada awalnya merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.  Bastem ditetapkan menjadi nama sebuah kecamatan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan DPRD Gotong Royong Dati II Luwu No.44/Kpts/DPRDGR/1963 tertanggal 30 September 1963.

Berdasarkan Surat Keputusan tersebut Bastem terdiri atas tiga belas desa yang meliputi; Salu Limbong, Pantilang, Barana’, Uraso, Langda, Maindo, Dampan, Tongkonan, Tabi, Kanna, Langi, Kira dan Bolu. Namun kenyataannya diawal terbentuknya hanya ada desa yang aktif yaitu; Kadundung, Rante Balla, Ulusalu, Lambanan, Kanna, Maindo, Pantilang, Dampan dan Tede.

Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Luwu No 6 Tahun 2001, Kecamatan Bastem dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Bastem dan Kecamatan Latimojong. Berdasarkan pemekaran tersebut maka Kecamatan Bastem berkembang menjadi dua belas desa dan Kecamatan Latimojong juga menjadi dua belas desa. Desa-desa yang termasuk Kecamatan Bastem adalah Bolu, Lange, Andulan, Sinaji, To’long, Kanna, Lissaga, Ledan, Kanna Utara, Buntu Batu, Ta’bi dan Mappetajang. Sedangkan yang termasuk Kecamatan Latimojong adalah Kadundung, To’barru, Tabang, Pangi, Boneposi, Ulusalu, Pajang, Paregusi, Lambanan, Tibussan dan Buntu Serek.

Tanggal 30 Oktober 2012 Kecamatan Bastem kembali dimekarkan dengan menambah satu kecamatan yaitu Kecamatan Bastem Utara yang terdiri atas dua belas desa yaitu Ta’ba, Tasang Tongkonan, Maindo, Pantilang, Uraso, Karatuan, Salubua, Buntu Tallang, Dampan. Barana’ Tede dan Bonglo.

Bastem secara keseluruhan meski pun telah beberapa kali diotak-atik untuk berbagi kekuasaan namun ia tetap menjadi daerah yang terlupakan dan terisolir dengan ciri khas wajah yang miskin. Harapan sepertinya akan terbuka pada tahun 2020 yang lalu jalur Luwu – Toraja dibuka melintasi wilayah Adat Bastem setelah jalur Palopo – Toraja melalui puncak terputus karena longsor. Untuk pertama kalinya sejak zaman kolonial hingga Indonesia merdeka masyarakat Bastem merasakan jalannya beraspal.

Secara geografis wilayah adat Bastem terbagi atas tiga wilayah yaitu Bastem Utara (Kecamatan Bastem Utara) yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu di sebelah Utara dan Timur dan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara di Barat; Bastem Tengah (Kecamatan Bastem) berbatasan dengan Kabupaten Luwu di Timur, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang di Barat; Bastem Selatan (Kecamatan Latimojong) berbatasan dengan Kabupaten Luwu di Timur, Kabupaten Wajo dan Sidrap di Selatan, Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang di Barat.

Sejarah Basse Sangtempe’

Menurut Akin Duli sejarawan dari Universitas Hasanuddin bahwa Bastem merupakan penamaan yang secara kultural menyatukan komunitas-komunitas Tongkonan yang ada di wilayah pegunungan. Nama Basse Sangtempe bersifat simbolik (abstrak) layaknya ‘Tondok Lepongan Bulan, Tana Matarik Allo’ di Tana Toraja. Di Bastem pada zaman purba tidak ada pemimpin seperti raja atau puang. Yang ada adalah pemimpin di masing-masing Banua atau Tongkonan. Para pemimpin Tongkonan inilah yang kemudian berikrar/berjanji untuk bersama-sama dengan nama perjanjiannya ‘Basse Sangtempe’. Bagi para pemimpin Tongonan ikrar ‘Basse Sangtempe’ hanyalah  kesepakatan yang bersifat spirit bersama (abstrak), bukan wujud sistem pemerintahan atau federasi sehingga tidak ada struktur kepemimpinan yang harus menjalankan wujud persatuan federasi tersebut.

Selanjutnya Akin juga berpendapat bahwa Basse Sangtempe kurang lebih berarti sumpah atau ikrar untuk Bersatu padu, seiring sejalan dan seia sekata. Ia juga mengungkapkan bahwa istilah Basse Sangtempe kemungkinan telah menjadi sebuah puisi atau pun pantun adat yang sering diungkapkan para Tominaa dalam berbagai upacara adat yang ada di Bastem atau pun Toraja pada umumnya ketika itu. Akin juga mengungkapkan bahwa nama Basse Sangtempe barulah menjadi nama sebuah wilayah setelah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadi nama Kecamatan Basse Sangtempe seperti sekarang.

Basse Sangtempe dalam Ingatan Kolektif Masyarakat Bastem

Sebagian masyarakat Bastem memercayai bahwa  Batem sebagai sebuah wilayah  otonom dan Bersatu telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagian masyarakat Bastem percaya bahwa sebelum menjadi nama yang kita kenal sekarang daerah tersebut dikenal dengan sebutan ‘Sangrodoan tinting, sang tirimbakan pajo-pajo’. Berdasarkan konsep tersebut Bastem diibaratkan sebagai sebuah petak sawah  yang memiliki batas-batas wilayah (pematang), di mana di setiap sudut atau ditancapkan orang-orangan sawah (pajo-pajo dalam bahasa Bastem) pada setiap sudut atau bagian-bagian tertentu. Orang-orangan tersebut dihubungkan oleh sejumlah tali (tinting) yang terjalin satu sama lain sehingga bila ditarik/digoyang maka orang-orangan tersebut akan bergoyang (tirimbak) mengusir burung-burung pemakan padi. Hal tersebut bermakna bahwa Bastem adalah wilayah yang terjalin dan bersatu padu satu sama lain sehingga bila diserang musuh maka semuanya akan bergerak, bahu membahu dan saling membantu menghadapinya.

Munculnya semangat bersatu tersebut disinyalir sebagai wujud pertahanan diri terhadap dua kekuatan besar yang mengapit Bastem yaitu  Kerajaan Luwu di Utara dan Kerajaan Sangalla di Barat. Kuatnya tekanan kekuatan dari dua kerajaan tersebut mendesak para puang di wilayah Bastem untuk bersatu. Letak Bastem yang diapit dua kerajaan besar termaktub dalam sebutan lain yaitu ‘Tona sipi’ batu kapua, tona balla’ taneta kalando’ yang berarti orang yang diapit dua kerajaan besar dengan hamparan lembah yang luas.

Baca Juga :  Dikawal TNI dan Polisi Bantuan Gereja Toraja Akhirnya Tiba Di Mamuju

Dalam perkembangan selanjutnya mimpi untuk Bersatu diwujudkan dengan membentuk sebuah aliansi yang disebut Pitu Penanian yaitu alian pemerintahan yang dipimpin oleh tujuh orang puang meliputi; Puang Ri Tabang, Puang Ri Sinaji, Puang Ri Tede, Puang Ri Biduk’, Puang Ri Tangdu, Puang Ria A’dok dan Puang Ri Sikki’. Belasan tahun kemudian, para puang tersebut berunding di Buntu Puang yang kemudian mereka sepakat membentuk sebuah wilayah yang disebut Basse Sangtempe’ (tulisan sekarang Basse Sangtempe).

Selain cerita di atas ada pula versi lain yang sedikit berbeda namun juga berkembang dalam masyarakat Bastem. Versi tersebut meyakini bahwa Tujuh Puang yang disebutkan di atas masih dibawahi oleh pemimpin tertinggi yang disebut Arung Ri Torajae. Menurut kisah bahwa pada masa kepemimpinan Arung Ri Torajae tersebut ada semangat membentuk sebuah wilayah yang bersatu dan otonom dari Kerajaan Luwu dan Sangalla. Sebelum mewujudkan keinginan tersebut, mereka menginginkan sebuah tanda dari yang Ilahi bahwa Tuhan merestui keinginan mereka. Tanda yang mereka sepakati adalah jika kelak lahir seorang putra atau anak dari Arung Ri Torajae, maka akan diangkat menjadi pemimpin tertinggi mereka.

Setelah menunggu beberapa lama lahirlah seorang putra Arung Ri Torajae yang bernama Simankilo, itu artinya Tuhan menghendaki keinginan mereka. Simankilo kemudian bergelar Puang Tontiri A’dok yang artinya dirindukan di Tandu dan di A’dok. Setelah Simankilo dewasa berundinglah para puang itu untuk segera melantik Simankilo sebagai pemimpin yang akan memimpin sebuah wilayah yang bersatu dan otonom. Mereka berunding selama enam hari, lalu hari ketujuh mereka mengikrarkan sebuah sumpah yang berbunyi:

Tonna digaraga Basse Sangtempe’, ditampa pandanan sang waian

Disanga basse sang rodoan tinting, sang tirimbakan pajo-pajo

Lekko pini’ dipokambutu’na, anna padang dipatongai dipoangkakna Basse Sangtempe’

Bokin dipoulunna pandanan sang waian, dipokaro’pokna padang di Karunanga

Artinya,

Telah berdiri Basse Sangtempe’, terbentuk wilayah bersatu

Dinamai sumpah bersatu padu atau wilayah bersatu

Sungai Lekko Pini’ sebagai batas bawah

Bokin sebagai batas atas disebut juga Karunanga.

Dengan sumpah tersebut maka terbentuklah sebuah wilayah yang bersatu dan otonom yang disebut dengan Basse Sangtempe. Bersamaan itu pula Simankilo yang bergelar Puang Tontiri A’dok dilantik sebagai pemimpin tertinggi dari daerah yang baru terbentuk tersebut. Di bawah kepemimpinan Simankilo Bastem berkembang dengan cepat dengan terciptanya wilayah adat yang bersifat kema’dikaan antara lain Ma’dika Tabang, Ma’dika Langi’, Ma’dika Andulan, Ma’dika Pangi, Ma’dika Ulusalu, dll.  Pembentukan wilayah adat kema’dikaan ini sepertinya mengadopsi model pembentukan wilayah adat yang dilakukan oleh Tangdilino pada masa sebelumnya.

Selain membentuk wilayah kema’dikaan di masa pemerintahan Simankilo juga membentuk wilayah pemerintahan (Banua) walaupun ada juga yang menyebut bahwa hal tersebut saat zaman Sanggalangi. Wilayah pemerintahan (Banua) yang dimaksud adalah Banua A’pa’ Tongkonan Annanpulona. Banua artinya wilayah, A’pa’ artinya empat, Tongkonan artinya rumpun/rumah adat, dan Annanpulona berarti enampuluh.  Empat wilayah (Banua) yang dimaksud adalah Sembang Kada, Balimbing Kalua’ Issong Kalua’ dan La’riri Bassi. Masing-masing wilayah terdiri atas lima belas Tongkonan sehingga total semuanya adalah enam puluh Tongkonan.

Terbentuknya Bastem sebagai sebuah wilayah kesatuan mendapat reaksi dari kerajaan Luwu yang dipimpin oleh Datu Sattarya (Setiaraja) bergelar Petta Matinroe (Datu Kelali). Datu Kelali beberapa kali ingin menundukkan Simankilo tetapi karena kecerdasannya ia pun beberapa kali lolos.  Terakhir ia mensiasati Simankilo dengan adu kerbau namun ia pun kalah. Sebagai pemenang Simankilo dipersilahkan menduduki tempat kehormatan yang ternyata telah dipasangi lubang jebakan berisi ranjau-ranjau mematikan. Simankilo yang tidak menaruh curiga duduk di tempat tersebut sehingga  ia terperosok ke dalamnya dan mati.

Kamatian Simankilo atau Puang Totiri A’dok menaruh dendam di hati cucunya yang bernama Sanggalangi. Dengan maksud balas dendam kepada Datu Sattarya atas kematian kakeknya Sanggalangi berlatih bela diri dan tehnik perang sesetiap hari. Setiap hari Sanggalangi juga mengucapkan kata-kata ini:

Ka’tu anginmi dipudukna Simankilo, Dira’tami bamba kollongna Tontiri A’dok

Todipobarrena kulla lan Bassesangtempe, Todipoarrangna bulan lan pandanan sang waian

Ronta lan padang Wara, titambuntanai lo’ penganjaran

Tallanrika buntunna A’dok nala tallan Sanggalangi

Artinya,

Telah gugur Simankilo , telah wafat Tontiri A’dok

Orang yang terpandang di Basse Sangtempe

Orang yang dikagumin di wilayah bersatu

Gugur di tanah Wara, dimakamkan di Pangenjaran

Kecuali gunung A’dok tenggelam, baru Sanggalangi bisa tenggelam

Melihat apa yang dilakukan Sanggalangi dengan syair-syair yang selalu diucapkannya menggugah hati banyak masyarakat, baik di Bastem maupun di Tana Toraja yang berjulukan Tondok Lepongan Bulan. Dengan dukungan besar dari masyarakat Bastem dan Toraja Sanggalangi menyerang Datu Sattarya yang berkedudukan di Wara. Sepanjang jalan Sanggalangi membakar kampung-kampung yang dilaluinya.  Serangan Sanggalangi diketahui Datu Sattarya sehingga ia melarikan diri ke Pallima, Bugis. Akibatnya serangan Sanggalangi terhadap Datu Sattarya gagal sehingga ia memutuskan kembali ke Bastem.

Baca Juga :  Crisis Centre Gereja Toraja Gerak Cepat Galang Bantuan untuk Korban Gempa Sulbar

Sementara tahta yang ditinggalkan Datu Sattarya diambil alih oleh Arung Palakka keponakannya sendiri. Namun dalam versi yang lain bukan Arung Palakka yang menggantikan Datu Sattarya melainkan Petta Matinroe Ripolka yang juga merupakan keponakan Datu Sattarya. Segera setelah kepergian Datu Sattarya, ia memaksa Dewan Adat untuk segera melantiknya sebagai raja. Sejak kepergian Datu Sattarya maka kelaparan dan keresahan mulai melanda negeri sehingga masyarakat mendesak Dewan Adat untuk mencari Datu Sattarya yang pergi meninggalkan Luwu. Atas kejadian tersebut Dewan Adat kemudian memanggil Sanggalangi sebagai orang yang bertanggung jawab atas kepergian Datu Sattarya dan menyebabkan kelaparan masyarakat. Sanggalangi harus bertanggungjawan mencari Datu Sattarya dan membawanya kembali Luwu.

Sanggalangi berhasil membawa Datu Sattarya kembali ke Luwu. Namun sebelum masuk Luwu mereka istirahat terlebih dahulu, mereka sangat gembira karena Luwu sudah dekat. Tempat mereka istirahat kemudian diberi nama oleh Datu Sattarya, Larombok. Dari kata rambok yang artinya gembira, belakangan Larombok menjadi Larompong.

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dan tibalah di Libukang (Luwu) lalu menyeberang ke Pelauroan (tempat mengambil rotan) yang Sekaran dikenal dengan nama Palopo. Sanggalangi lalu menebang rotan dan kayu kemudian digunakan membangun masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Jami’ dan Istana Salassa, Istana Datu Luwu. Dengan pertimbangan kesejahteraan rakyat, Sanggalangi tak melampiaskan dendam kepada Datu Sattarya. Datu Sattarya dibiarkan hidup. Namun sebelum Sanggalangi kembali ke Bastem mereka berdua bersumpah dengan menanam tugu dari batu dan memotong seekor kerbau.

Sumpah itu didahului oleh Datu Sattarya demikian:

Puppuroko sarakau, mattake maruppe, mandaun meddenne,

macolli mateppo, narekkomusalaikka nawa-nawa Sanggalangi

Artinya,

Hancurlah engkau, luluh lantah dan punah sama sekali sampai kepada keturunanmu

Apabila engkau melalaikan dan mengabaikan datu dan keturunannya

 

Sumpah Datu Sattarya tersebut kemudian disambut oleh Sanggalangi demikian;

 

Kutarima datu, apasusi dukate’e tasitumpuimi te’ batu, tatinggoroi te’ tedong

Nakalungkungiki’ lentekna rokko mangngapi’na padang

Annapempi’pikan ikko’na lako randanna tasik, naserokki tandukki langngan tanggana langi

Ketasalaina’ nawa-nawa Datu saelako bija-bijangku

Artinya;

Saya terima dari namun begini marilah kita memotong kerbau ini

Kakinya akan menginjak sedalam-dalamnya ke dalam tanah

Ekornya akan terlampias sampai ke ujung laut dan tanduknya akan melayang-layang ke langit

Apabila Datu melalaikan dan mengabaikan Puang Sanggalangi dan keturunannya.

Pernyataan Sanggalangi tersebut lalu dijawab lagi oleh Datu Sattarya demikian;

Kutarima Puang Sanggalangi

Takkalupai sipakilalaki’, malilu sipakainga’ki

Artinya;

Saya terima Puang Sanggalangi

Keliru kita saling mengingatkan dan khilaf kita saling menasihati

 

Lalu mereka berdua mengucapkan kata-kata ini

Iake tallan diwai bijanna Sanggalangi, lana tulak lentek bijanna Datu

Iake tallan di buntu bijanna Datu, lana rangkai’ lima bijanna Sanggalangi

Artinya;

Apabila keturunan Sanggalangi tenggelam di air maka akan diselamatkan oleh keturunan Datu

Dan apabila keturunan Datu celaka di gunung akan diselamatkan oleh keturunan Sanggalangi

 

Meski masih ada versi lain tentang sumpah tersebut khususnya dari kerajaan Luwu yang mengatakan bahwa yang mengikrarkan sumpah bukanlah Datu Sattarya melainkan Datu Sakareare dengan Sanggalangi. Meski demikian dalam memori orang Bastem atau Toraja dan Luwu pernah ada ikatan pemersatu dan saling tolong menolong di antara leluhur mereka di masa lampau. Sanggalangi mewakili masyarakat pegunungan (Kerajaan Sangalla) dan Datu Sattarya/Datu Sakareare mewakili masyarakat dataran rendah (Kerajaan Luwu).

Sayangnya, narasi pemersatu antara Toraja dan Luwu ini mulai tergerus oleh zaman dengan versi yang berbeda-beda. Tak hanya itu tak disampaikan dengan baik dari generasi ke generasi sehingga sering sekali terjadi konflik antara masyarakat pendatang dari Toraja dengan penduduk di Luwu. Padahal para leluhur mereka telah bersumpah untuk saling menolong dan melindungi sama lain.

Kajian ini ditulis dari berbagai sumber, bagi pihak yang ingin melestarikan atau pun menyempurnakan tulisan ini dapat menghubungi penulis di facebook: Pither Randan B.

Oleh: Piter Randan Bua

Penulis adalah Pria kelahiran Bastem yang minum, makan dan dibesarkan di dataran rendah Luwu (Lara – Luwu Utara). Sekarang menetap di Semarang Jawa Tengah

Artikel Lainnya