JAKARTA, mediakita.co- Kemedikbud saat ini gencar mengumpulkan data serta riset terkait Jalur Rempah Nusantara. Target yang ingin dicapai adalah di Tahun 2024, Jalur Rempah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Seiring agenda tersebut, BPCB dan Balai Arkeologi Kalimantan Selatan menyelenggarakan Webinar bertema Jejak Jalur Rempah Rempah. Webinar dilaksanakan Jumat 11/09/2020 pada pukul 14.00 – 16.00 WIB.
Sebagai pembicara adalah Mansyur S.Pd, M.Hum (Sejarawan Univ. Lambung Mangkurat), Drs. Dwi Putro Suloksono (Kepala Museum Daerah Kalsel) dan Drs. Muhamad Ikhsan Alhak M.Si (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin).
Jejak Jalur Rempah Kalimantan Selatan
Menurut Mansyur, S.Pd, MHum budidaya dan perdagangan lada sudah terjadi di Kesultanan Banjar Abad 16 – Abad 18. Budidaya tersebut dlakukan oleh orang-orang Biaju (Dayak Njaju). Lahan untuk menanam lada, di tanah berlumpur, sepanjang daerah aliran Sungai Barito dan anak sungainya.
Lada merupakan komoditas barter Orang Biaju tersebut. Namun, semenjak orang Banjar mengenal lada dari orang Biaju, maka “kendali” lada diambil alih orang Banjar. Dan pola budidaya lada dikembangkan dengan cara mamanduk, yakni satu diantara kearifan lokal Banjar dalam budidaya lada.
Pada perkembangannya, pesisir Sungai Barito berkembang pemukiman orang Melayu di kampung Kuin. Muncul embrio perdagangan lada di wilayah tersebut, hingga terbentuknya Kesultanan Banjar tahun 1526. Semakin berkembang aktivitas perdagangan di Bandarmasih, menajdi sentra perdagangan. Hal ini juga dipacu oleh tingginya permintaan dari Tiongkok terhadap lada.
Materi lain oleh Dwi P. Sulaksono, menguatkan tentang Perdagangan Hindia-Belanda memasuki kepulauan Asia-Pasifik untuk berdagang. Jenis rempah berupa lada hitam, palawija, rempah-rempah, dan getah damar, barus, kemenyan, dan minyak kelapa. Jalur pertama perdagangan ini sudah dimulai sejak abad ke-7 dan 8 Masehi melalui ‘Goja’ (Gujarat) sebelum masuk ke Semenanjung Malaka.
Jalur perdagangan Hindia-Belanda berikutnya melalui Kepulauan Madagaskar antara abad ke-12 sampai 14, sebelum kolonial Belanda datang ke Indonesia. Dan, di antara kurun abad itu, perdagangan Cina Utara melalui jalur di wilayah Asia untuk berdagang tekstil, manik-manik kaca serta keramik. Selama proses perdanganan tersebut, akulturasi budaya seperti bahasa, tradisi lisan, ritual dan mitologi terrjadi. Begitu juga perilaku budaya Asia dan Melayu yang telah berasimilasi dengan rumpun budaya Austronesia.
Pasang Surut Lada Banjar
Mansyur menengarai, masa keemasan perdagangan lada & ekspansi pedagang asing di Kesultanan Banjar Tahun 1734-1778. Era ini dicirikan tampilnya Kesultanan Banjar di jalur perdagangan internasional. Bahkan, VOC menggelari Sultan Banjar dengan “koning van het pepergebergte” (Pangeran dari Bukit Lada).
Lada Banjar yang terkenal harumnya, mengundang pedagang cina diikuti dengan ekspansi VOC, EIC dan pedagang asing lain yang berebut komoditas lada di Banjarmasin. Bahkan, selain alat tukar, lada Banjar juga dijadikan alat penawaran utang untuk Sultan Banjar (utang yang tidak perlu dibayar dengan uang, tapi dengan lada), bahkan pengajuan kontrak dagang-pun menggunakan lada.
Terjadi benturan tradisi lokal dan kapitalistik. Dinamika hingga tahun 1778, monopoli dan kontrak dagang eropa perlahan memudarkan tradisi dagang pambulantikan. Dan sejak itu, perdagangan lada di Kesultanan Banjar merosot. Banyak faktor yang menyebabkan kehancuran perdagangan lada Banjar. Pada 1825, muncul Undang-Undang Sultan Adam/UUSA, yang mengatur kepemilikan tanah, penghapusan tanah apanaze. Dan, tragedy memuncak dengan adanya Perang Banjar, hingga dihapusnya Kesultanan Banjar tahun 1860 secara sepihak oleh kolonial Belanda
Sisa Monumental Jejak Rempah
Meski saat ini Lada Banjar kehilangan harumnya, namun, jejak-jejak monumental Rempah Banjar masih tersisa. Kawasan pelabuhan merupakan bukti aktivitas budidaya dan perdagangan rempah lada sebagai bagaian dinamika Kesultanan Banjar.
Perkebunan lada yang tersebar di Desa Padang Panjang, Desa Purui , Desa Salikung di Kecamatan Jaro, Kecamatan Bintang Ara, serta Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong. Semua perkebunan tersebut, telah dilindungi dan masuk dalam daftar tinggalan budaya di Kalimantan Selatan.
Melalui tinggalan arkeologis yang tersisa, terasa harum lada Banjar menyengat. Sebagian terhidang dalam berbagai tradisi kuliner Banjar saat ini.
Penulis : Haris Shantanu