Opini, Mediakita.co – Berawal dari Menteri Kelautan Edhy Prabowo yang berasal dari Partai Gerindra yang diciduk oleh KPK terkait adanya indikasi tindakan praktik korupsi yang dilakukannya, yah permainan benih benur lobster, menyusul kini Menteri Sosial, Juliari P. Batubara dari PDIP yang terkena OTT KPK karena menyunat jumlah anggran Bansos Covid-19 sebesar sepuluh ribu rupiah per paket Bansos, coba saja dikalikan dengan jumlah paket Bansos, kira-kira bisa ditaksir berapa nilai keuntungannya, besar atau kecil bisa ditebak bukan?
Menyikapi kelakuan anak buahnya itu, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang juga adalah sama kedudukannya sebagai Menteri Pertahanan di kabinet Presiden Joko Widodo, Prabowo pun merasa kesal dengan mengutarakan lontaran makian pada anak didik di partainya itu sebagai “selokan” binaannya.
Untuk Juliari P. Batubara, entah Ketua Umum PDIP Megawati marah-marah atau tidak atas kelakuan Wakil Bendahara Umum partainya ini, atau sebagai seorang wanita dan ibu bagi semua kader partai, Megawati bisa saja mengungkapkannya dengan cara yang lebih halus, atau justru memilih diam terlebih dahulu atau ikut mengambil tindakan terukur dan terarah untuk menjaga wibawa dan marwah partainya.
Marah-marahnya ketua partai itu adalah sebuah hal yang lumrah dan wajar bukan tanpa sebab, biasa saja, kemarahan itu timbul karena dampak dari kader yang dianggap telah mencemarkan nama baik pribadi, Ketum atau partai secara keseluruhan akibat dari perbuatan kader yang terkena kasus tadi, bisa juga karena cara kerja mencuri yang kurang rapih yang berakibat fatal bagi partai yang menaunginya.
Berbagai fakta seputar keduanya pun terus bermunculan menyusul penetapan mereka sebagai tersangka. Salah satunya adalah seputar harta kekayaan Edhy dan Juliari yang membuat penasaran masyarakat usai terseret kasus korupsi.
Dikutip e-lhkpn.go.id, Edhy rupanya telah melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK terakhir pada 31 Desember 2019 lalu. Dalam laporan itu, ia memiliki harta kekayaan sebesar Rp7.422.286.613 atau sekitar Rp7,4 miliar.
Edhy tercatat memiliki aset terbesar dari properti berupa bidang tanah dan bangunan yang nilainya Rp4.349.236.180. Dari 10 aset properti miliknya, sebanyak 7 bidang tanah berada di Kabupaten Muara Enim. Sedangkan tiga properti sisanya berada di Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Edhy juga melaporkan harta bergerak berupa alat transportasi dan mesin, total Rp890.000.000. Rinciannya adalah 2 unit mobil, 2 unit motor, 1 sepeda, dan 1 genset.
Kendaraan roda empat paling mahal yang dimilikinya adalah mobil Mitsubishi Pajero Sport Jeep dengan nilai Rp 500 juta. Lalu kendaraan paling rendah yang dilaporkan adalah Yamaha RX-King tahun 2002 senilai Rp Rp 4.000.000. Edhy juga mencantumkan kepemilikan 1 sepeda BMC sport dengan harga Rp 65.000.000.
Kepada KPK, Edhy turut melaporkan aset harta bergerak lain dengan nilai taksiran mencapai Rp1.926.530.000. Kemudian aset berupa kas dan setara kas sebesar Rp256.520.433.
Adapun harta yang dilaporkan Edhy tersebut naik pesat sejak menjadi Wakil Rakyat. Pasalnya, ia hanya melaporkan harta sebesar Rp4.562.804.877 atau sekitar Rp4,5 M saat menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 31 Desember 2018 silam.
Sementara itu, kekayaan Mensos Juliari ternyata jauh lebih tinggi dari Edhy. Berdasarkan laporan LHKPN pada 30 April 2020 lalu, ia total memiliki harta kekayaan sebesar Rp64,7 miliar.
Kekayaan Juliari itu terdiri dari dari aset dan bangunan. Diantaranya aset yang ada di Bogor (Jawa Barat), Simalungun (Sumatera Utara), Badung (Bali), dan Jakarta dengan total senilai Rp48,1 miliar.
Juliari juga melaporkan harta bergerak berupa alat transportasi Land Rover Jeep tahun 2008 senilai Rp618 juta. Ia juga mempunyai beberapa harta bergerak lainnya senilai Rp1,1 miliar. Tak hanya itu, ia juga memiliki surat berharga senilai Rp4,65 miliar, serta kas dan setara kasnya Rp10,2 miliar.
Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi semua berharap bahwa nanti orang-orang yang akan dipasang adalah orang-orang yang bersih dan bisa bekerja secara profesional bukan sebagai mesin keruk dan menjadi pemain di kemetrian, departemen atau institusi yang nantinya diduduki, walaupun itu memang banyak yang dititipkan oleh partai alih-alih jatah partai dalam koalisi pemerintahan, partai-partai pun berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap strategis dan basah. Pertengkaran antar koalisi kadang disebabkan oleh posisi yang dianggap basah atau kering seperti ini.
Setelah Menteri Gerindra dan PDIP terjerat korupsi timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang bakalan menjadi target sasaran tembak KPK.
Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan baik di Kementrian maupun BUMN tidak dapat dipisahkan dari misi partai baik pengaruh maupun pengisi kas partai.
Presiden tentu tidak tuli dan tidak juga buta pada kepentingan partai melalui pembagian jabatan pemerintahan. Jadi logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal.
Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang steril. Dewan Pengawas bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus. Publik ragu jika tertangkapnya dua Menteri adalah kejutan bagi Presiden.
Dua partai yang potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Golkar dan Nasdem. Keduanya mulai “nakal”.
Nasdem aktif mendekati Anies Baswedan “musuh istana” sedangkan Golkar di samping tidak dukung prolegnas RUU HIP juga memiliki tapak pada JK yang membuat poros JK-Anies-HRS. JK adalah mantan Ketum Golkar.
Untuk satu tahap Jokowi dapat sukses menekan dan meredam, tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam.
Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang, maka Jokowi yang “tidak berpartai” akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam.
Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja? Patut diduga tidak. Ini perlu pengusutan menyeluruh dan lebih lanjut!.
Pesiden harus meminta KPK baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras se-obyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih dari kepentingan-kepentingan disekitarnya?
Kini kita tunggu saja siapa Menteri ketiga atau ke empat dan seterusnya yang telah masuk agenda “permainan” bongkar-bongkaran borok demi kepentingan politik ini. Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.
Jelang tahun baru 2021 kemana kiranya arah angin akan berhembus?
(Dinukilkan dari kisah nyata dengan sentuhan sekadarnya saja, Wiwid W. Widjojo).