Sungguh sangat disayangkan, hingga dijenjang ini, suara-suara kemampuan finansial kontestan lebih sibuk dan terdengar dinyaringkan ketimbang apa dan mau dibawa kemana Pemalang kedepan. Konstruksi politik yang demikian, lebih nampak belum mampu memberi argumen yang cukup bahwa Pemilukada Pemalang akan menarik dan menjadi titik dimana spektrum perubahan berwajah. Konstruksi politik yang pengorganisasiannya cukup kompetitif dan berbasis program kian tenggelam dengan doktrin klasik yang mengharuskan pemilih tunduk dan taat dengan keputusan partai. Minimnya tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kesediaan, kepedulian dan daya tawar, punya daya maknet elektoral kuat membuat rakyat (pemilih) menempuh jalan pragmatis.
Paling tidak sampai disini, performa perilaku politik elit dalam mengorganisir kekuatannya masih saja belum mampu menghadirkan imagi kebaruan. Pelibatan publik dalam pengambilan keputusan politik strategis masih terabai oleh kebiasaan lama elit. Kecendurangan sikap elit yang lebih memposisikan diri sebagai penentu kebijakan, sesungguhnya menandakan masih kuatnya sistem politik oligarkis. Elit masih saja ogah membangun proses politik yang demokratis karena tersandera oleh kepentingan pribadinya. Akibat lebih jauh, cita-cita reformasi untuk mengkonsolidasi demokrasi memenangi perang abadinya melawan korupsi hampir pasti akan kandas.
Mengail pemikiran Huntington bahwa transisi menuju konsolidasi demokrasi memerlukan rentang waktu sekitar dua kali Pemilu untuk melewati masa anomali, menuju penguatan pelembagaan institusi-institusi politik, maka pilkada tahun ini mestinya menjadi pintu gerbang yang lebar untuk menggapai mimpi terwujudnya perbaikan.
Karena otentiknya, pemilu dan pilkada tak sekedar hanya membuat panggung pesta demokrasi. Tetapi juga harus didorong untuk mampu menyediakan manfaat lain. Dengan Pemilu dan Pilkada, perbaikan sistem politik dan pemerintahan harus didorong menghangatkan perbincangan. Berkah paling penting dari proses politik ini, bagi rakyat, pilkada bisa menghidupi dan dihidupi oleh semangat perbaikan-perbaikan. Karena dilorong belenggu elitisasi politik ini, dalam kesunyiannya ada rindu tak terkira akan adanya perubahan sistem politik yang mensejahterakan rakyat
Inilah tantangan cukup terjal pada Pilkada Pemalang untuk mewujud terjadinya sirkulasi elit. Management lembaga politik yang buruk dengan oligarkinya, mengajak kita untuk “tahu” bahwa semua itu disebabkan karena elit dalam struktur management politiknya masih lebih didasari oleh kepentingan personalnya. Padahal, urgensi demokratisasi menghendaki adanya dukungan dari rakyat sipil adalah kunci legitimasi.
Secara emosional, kepentingan rakyat tidak bersesuaian dengan harapannya dan makna simbolik demokratisasi. Oligarki politik inilah yang walhasil menjadi tantangan besar mengahadapi medan pilkada. Komunikasi politik para kandidat belum memuat aspirasi publik terkait dengan harapan kehidupan politik yang lebih baik.
Absah, aras komunikasi politik menjelang Pilkada Pemalang yang demikian menjadi sulit untuk mengeja harapan perubahan. Pilkada menjadi kehilangan pesonanya ditangan elit politik yang beku terkurung salju ambisi. Pilkada dengan elit yang bercitra glamor dan sibuk dengan bahasa hasrat pribadinya sendiri justru hanya menyisakan keraguan publik. Genangan harapan yang memantulkan menara-menara program unggulan yang mengantarkan perubahan, serta kosntruksi politik yang menawan, yang membingkai atmosfir romantis, agaknya hanya akan mengembalikan keaabadianya dalam mimpi-mimpinya.
Mungkinkah, disisa waktu yang hampir tinggal sepenggal akan ada kejutan-kejutan terbarukan yang akan menjadi ruh dan tonggak sejarah menyiarkan perubahan nasib rakyat ? Semoga !