ajibpol
OPINI

Paradigma Psikologi dalam Rekrutmen Seleksi, “Lah, Filsafat?!”

OPINI, mediakita.co- Tahukah anda, tes rekrutmen, baik penyelenggaraan oleh pihak swasta maupun pegawai yang terafiliasi dengan lembaga pemerintah seperti CPNS atau PPPK berparadigma psikologi, bukan yang lain. Diketahui bahwa paradigma pemikiran sejatinya tidak semata berbasis keilmuan yang berkaitan dengan kejiwaan, semisal Psikologi ini, namun terdapat kerangka keilmuwan berkait kejiwaan lain semisal Psikoanalisa dalam Ilmu Filsafat.

Sebelumnya apa sebenarnya yang dimaksud dengan paradigma? Dalam keilmuwan sejatinya telah lama ada dan populer, baik dalam disiplin sejarah, politik atau lainnya, namun kini khususnya di Indonesia mulai ramai penggunaannya dalam diskursus publik dan terbuka yaitu baru-baru ini. Semisal penyampaian oleh seorang dosen dalam diskusi dengan GP sebagai salah satu Calon Presiden PEMILU 2024 di Kampus UI. Istilah paradigmatik digunakan dalam mengidentifikasi corak pemikiran dan mengaruskannya dalam diskusi tersebut. Kemudian penggunaan istilah ini kian familiar di media khususnya para kolumnis.

Kembali kepada persoalan paradigma psikologi, dalam tes terdapat berbagai bagian yang membagi-bagi setiap kelompok materi uji, ada istilahnya WARTEGG, Sinonim, Antonim, Deret Angka dan lain sebagainya yang menggunakan paradigma keilmuwan dalam Psikologi. Hal ini menjadi asing bahkan tidak pernah terdapat sama sekali dalam disiplin lain. Lantaran tidak pernah dipelajari secara khsusus dalam jenjang pendidikan, maka siapa saja yang ingin mengikuti rekrutmen sejenis CPNS tidak jarang mengalami kesulitan.

Baca Juga :  Bupati Idaman Ibu-Ibu

Berbagai jenis tes, WARTEGG misalnya ditemukan dan diberlakukan atas pengakuan pada jasa yang bernama Ehrigg Wartegg berkebangsaan Jerman. Menggunakan intrumen psikologis, namun diberlakukan secara umum berbagai latar belakang keilmuwan juga negara, termasuk di Indonesia. Kemudian, ada lagi Sinonim, Antonim, bahkan deret angka meski berdasar logika dengan menggunakan angka-angka namun paradigma yang terbangun dan bersifat psikologi paradigmatik atau berparadigma psikilogi.

Lah terus, bagaimana sebenarnya logika yang terbangun selain yang terdapat pada Psikologi? Sempat disinggung di atas, bahwa terdapat paradigma yang juga termasuk dalam kerangka keilmuwan yaitu disiplin Filsafat, Psikoanalisa. Secara sederhana, metode ini memperkenalkan analisa sebagai metode dalam penerapannya. Tidak semata dalam arti ilmiah bahwa analisis adalah penguraian hal yang bersifat umum menjadi bagian-bagian yang khusus, namun Psikoanalisa mensyaratkan kondisi kesejatian manusia.

Meski ujung-ujungnya juga berupa eksistensi misalnya sebagaimana yang diungkap beberapa Filsuf Kontemporer, artinya tidak menyentuh kesejatian manusia secara hakikat/esensi, namun metode ini jelas berbeda dengan yang dikemukakan dalam disiplin lain yang kadung populer hingga saat ini seperti Psikologi yang kental bahkan identik dengan sains belaka.

Baca Juga :  Teknologi Fitoremediasi Sebagai Salah Satu ALternatif Memperbaiki Kualitas Air

Maka, kondisi ini menjelma tantangan pengembangan kajian kejiwaan ke depan termasuk berbagai proyek yang berkaitan dengan keilmuwan tersebut semisal rekrutmen karyawan dan lain sebagainya. Kemungkinan jangkauan yang lebih mendekati dengan kebenaran sains khas paradigma keilmuwan, kesejatian khas filsafat berupa psikoanalisa ini menjadi kesempatan berbagai kemungkinan terkait pengembangan atau bahkan perbaikan (dalam Filsafat Ilmu Archie J. Bahm dikenal dengan istilah kritik) suatu disiplin ternasuk berkaitan dengan kejiwaan dan berbagai fungsi atau pemanfaatannya dalam berbagai sektor kehidupan manusia seperti Rekrutmen CPNS dan PPPK.

Selain itu, pengembangan keilmuwan dengan pendekatan ini relatif dibutuhkan oleh berbagai ilmu lain yang notabene baru tumbuh dan berkembang, tidak terkecuali sekawakan Filsafat. Sebagai suatu disiplin tentu berbeda dengan kondisi sebelumnya, Filsafat dalam kategori Ilmu Filsafat menjadi sulit jika tidak mampu mengembangkan diri dan sebatas deskripsi pemikiran-pemikiran tanpa ada perumusan berupa pemanfaatan, “Allahu a’lam.”

 

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.

Artikel Lainnya