NASIONAL. Mediakita.co- Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara atas Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipastikan akan memanggil Putra kedua Presiden RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau dikenal dengan panggilan Tommy Soeharto.
Selain Tomy Soeharto, turut dipanggil dalam waktu dan tempat yang sama Ronny Hendrarto Ronowicaksono, pada hari Kamis (26/8/2021).
Keduanya dipanggil dalam kedudukannya sebagai pengurus PT Timor Putra Nasional. Mereka diminta hadir di Gedung Syafrudin Prawiranegara, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat pada pukul 15.00 WIB.
“Berdasarkan hitungan terkini dan nanti bisa berubah ketika Tommy Soeharto datang (memenuhi pemanggilan) itu Rp 2,6 triliun,” terang Menko Polhukam Mahfud MD, dalam keterangan video Kemenko Polhukam yang diterima.
Berdasarkan jumlah piutang negara per 24 Juni 2009, Tomy Soharto memiliki hutang sebesar Rp 2.612.287.348.912,95 atau Rp 2,61 triliun. Satgas akan memanggil Tommy dengan agenda menagih hak negara yang terhutang pada dirinya.
Menurut Mahfud, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi target penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sampai Desember 2023. Menurutnya, ada 48 obligor yang dipanggil Satgas BLBI, termasuk Tommy Soeharto. Jika dihitung maka hutangnya kepada negara mencapai ratusan triliun rupiah.
Para obligor dan debitur BLBI diketahui saat ini berada di sejumlah wilayah, di antaranya Bali, Medan, bahkan Singapura. Laporan Satgas BLBI, aset debitur yang dikejar para obligor dalam BLBI sebesar Rp 110,45 triliun.
Untuk itu, menurut Mahfud apabila para obligor tidak memenuhi panggilan, maka tidak menutup kemungkinan kasus ini akan dibawa ke ranah pidana. “Oleh sebab itu, mohon kooperatif. Kita akan tegas soal ini karena kita diberi waktu tidak lama”.
Seperti diketahui, kasus BLBI merupakan dana talangan pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut diberikan pemerintah kepada sektor perbankan yang terdampak krisis. Krisis perbankan tersebut adalah penutupan 16 bank pada tahun 1997 memicu serbuan para deposan yang takut kehilangan tabungan jika bank yang mereka gunakan ditutup.
Karena potensi sejumlah bank akan bangkrut bila para deposan serentak memutuskan menarik simpanannya, maka pemerintah memberikan bantuan likuiditas. Kondisi saat itu diperparah dengan adanya devaluasi rupiah. Biaya awal BLBI mencapai Rp 144,5 triliun.
Saat itu, Tomy Soeharto melalui bank miliknya, yaitu Bank Pesona Utama memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun.