ajibpol
OPINI

Sesama Nasionalis Tak Perlu Panik Karena Medsos

Era keterbukaan politik adalah realitas faktual yang tidak dapat dibendung. Meminjam istilah Gidden, perubahan ini melaju seperti Juggernaut yang akan melibas siapa saja yang menghalanginya. Pola komunikasi massa berubah dari a few speak to many, menjadi many speak to many.

Setiap orang adalah produsen sekaligus konsumen informasi dalam komunikasi massa yang kian intensif dan masif. Perubahan tersebut telah berdampak pada perubahan landscape sosial politik dewasa ini. Iklim politik demokrasi telah membuka ruang kebebasan bagi rakyat untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan politik secara merdeka, termasuk untuk menentukan kriteria dan figur terbaik yang dianggap dapat membawa bangsa dan negara ini ke masa depan yang lebih baik.

Partai politik tentu harus melihat ini sebagai realitas dan berbenah diri dengan mentransformasikan nilai demokrasi dalam kehidupan partainya, serta memilih jalan seiring dengan garis politik rakyat. Apapun itu bentuknya, keterbukaan yang berbanding dengan kebebasan telah dianggap sebagai wujud dari kemerdekaan sejati.

Semua perubahan itu terjadi tidak semata karena demokratisasi yang telah bergulir sejak reformasi 1998, tetapi juga determinasi teknologi informasi dan komunikasi yang luar biasa. Bahkan, teknologi informasi dan komunikasi telah mampu melahirkan kekuatan ekonomi baru yang tidak terbayangkan sebelumnya, lihat saja bersatunya Gojek dan Tokopedia menghasilkan 308 T, jauh melampaui nilai hutang BUMN 140 T.

Fenomena tersebut merupakan bukti nyata bagi publik tentang dahsyatnya perubahan yang dihasilkan teknologi informasi. Sementara itu, pola hubungan dan perilaku politik baik individu maupun kelompok juga mengalami perubahan. Interaksi politik tidak hanya mengalami ekstensifikasi, tetapi juga intensifikasi.

Bagi mereka yang bergelut pada jabatan-jabatan publik, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi keniscayaan, tidak hanya untuk dirinya pribadi, namun juga konsekuensi dari “jabatan publik” yang menuntut intensifikasi dan ekstensifikasi interaksi publik.

Sehingga, fenomena para kepala daerah, termasuk Ganjar Pranowo (GP), menggunakan Medsos sebagai sarana komunikasi massa bukanlah sesuatu yang “aneh” dan “tidak lazim”. Perlu dicatat, GP adalah seorang pejabat publik yang terikat dengan mandat dan kepentingan publik, tidak hanya semata-mata kader partai politik.

Baca Juga :  Anggota MPRRI Junico Siahaan : Sebarkan Pancasila lewat Medsos

Karenanya, aktifitas GP dalam dunia Medsos tidak dapat dilihat secara sempit dan prejudice sebatas pada kepentingan pribadinya, tetapi juga harus dilihat dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Meski demikian, jika melihat rekam jejak politiknya, GP yang telah diantarkan oleh parpolnya hingga menjabat Gubernur dua periode tentu paham betul tentang status dan perannya sebagai kader partai yang baik dan loyal.

Di tengah situasi pandemi tentu saja Medsos sebagai sarana komunikasi massa menjadi semacam conditio sin quanon, sesuatu yang tidak terhindarkan. Memang, tidak menutup kemungkinan bahwa Medsos digunakan untuk sarana pribadi membangun popularitas dan citra politik tertentu, tetapi diera keterbukaan ini semua akan kembali pada penilaian publik.

Publiklah yang akan menjadi juri menilai kinerja, profesionalitas maupun reputasi politik setiap pemimpin politik, termasuk GP. Beragam instrumen tersedia seperti citizen journalism, survei opini dan kinerja, hingga beragam “kicauan” di platform media sosial untuk melakukan pengawasan sekaligus evaluasi terhadap kinerja pemimpinnya.

Bahkan, publik virtual atau netizen memiliki kecenderungan spontanitas untuk mengekspresikan pandangan dan sikap politiknya terhadap para tokoh publik, baik kepala daerah, politisi maupun pejabat publik lainnya yang kerap muncul di sosial media. Jika netizen suka dan bersimpati, mungkin saja dapat dimanfaatkan sebagai peluang menggalang opini positif maupun dukungan politik, tetapi sebaliknya jika netizen tidak suka maka tokoh tersebut bisa jadi sasaran bullying dan sumpah serapah di dunia maya.

Dalam konteks itulah, GP sebagai pemimpin publik yang seingat dan sepengetahuan saya belum pernah terdengar mendeklarasikan dirinya akan maju sebagai Capres dalam pilpres 2024 akan menghadapi era keterbukaan informasi dalam dunia maya yang demikian dinamis.

Baca Juga :  Dunia yang ‘Tengggelam dalam Lautan’ Stress: Ketahui Dampak dan Cara Pengendaliannya

Hal ini tentu seharusnya disadari oleh setiap partai politik yang telah mendudukkan kadernya dalam jabatan publik. Ketika kader tersebut menjadi pejabat publik, maka dia telah menjadi milik publik dan terikat dengan kepentingan publik. Setiap upaya mendomestifikasi dengan menjadikan dalih atribut kader partai, justru akan merugikan partai politik bersangkutan dan mencederai kepercayaan publik.

Bahkan, jika saja GP diuntungkan secara politik dari aktifitas Medsosnya dan berimbas pada naiknya popularitas yang merupakan modal penting dalam Pilpres, toh itu justru akan memperkaya partainya dengan kader-kader yang semakin banyak dapat dikelola secara politik untuk kepentingan strategis partainya.

Apalagi, mekanisme Pilpres yang berlaku masih menempatkan parpol sebagai sarana utama dalam pencapresan sehingga kendali parpol akan tetap menentukan. Dengan demikian, kekhawatiran fenomena aktiftas GP menjadi “bola liar” semestinya tidak perlu terlalu dirisaukan.

Di tengah tantangan ideologis yang kian kuat, seluruh potensi kelompok nasionalis semestinya dapat bersinergi dan bekerjasama, apalagi ketika berada dalam satu parpol. Menjadi ironi ketika sesama kader nasionalis justru berpolemik.

Sebagai mantan Ketua Presidium PA GMNI, tentu saja saya tidak akan mencampuri urusan internal dan menghormati dinamika dan platform politik masing-masing parpol, namun sebagai sesama nasionalis tentu saja patut kita menaruh harapan besar bahwa seluruh potensi kelompok nasionalis dapat solid dan bersatu menghadapi momentum strategis ke depan, termasuk Pilpres 2024.

Mari kita dorong setiap potensi kader nasionalis yang kita miliki, serta kita dorong kedewasaan politik dan beri kepercayaan politik kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya yang terbaik.

Oleh: Palar Batubara/Mantan Ketua Presidium PA GMNI

Artikel Lainnya