Pilkada Serentak 2020, di Tengah Covid–19

Pilkada Serentak 2020, di Tengah Covid–19
Silahudin Pemerhati Sosial, Dosen STIA Bagasasi, tinggal di Bandung

KONSOLIDASI demokrasi lokal yang terus menerus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rancang bangun kehidupan politik masyarakat yang makin berkualitas. Kehidupan politik masyarakat (infrasturktur politik) memberi energi bagi kehidupan politik pemerintahan (suprastruktur politik).

Karena itulah, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak (kendati dalam situasi dan kondisi Covid – 19), niscaya akan berlangsung berjalan, agar hak – hak politik rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya, tidak mandeg. Demokratisasi pemilihan kepala daerah langsung ditentukan oleh rakyat yang pada tahun 2020 ini ada 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak, yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Mereka para kandidat pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah tersebut, terpilih atau sebaliknya, yang jadi penentu adalah rakyat. Rakyat sebagai pemilik hak konstitusional kedaulatannya, memegang peran yang signifikan dalam menentukan kepentingan – kepentingan daerahnya.

Dengan demikian, baik pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur di 9 provinsi, maupun pemilihan bupati – wakil bupati di 224 di kabupaten, dan 37 pemilihan wali kota – wakil walikota pada tahun 2020 ini, harus secara sadar dimaknai dalam menentukan proses demokrasi pemilihan pemimpin daerah, dan sekaligus merancang bangun nasib pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Pertama, rakyat pemilih, secara subyektif rasional sudah sepatutnya mengkritsi figure – figure dan sekaligus program – program yang ditawarkannya. Rakyat dalam berpartisipasi untuk menentukan pemimpin daerahnya, tidak hanya asal melakukan memilih, namun harus lebih jauh dari itu disertai kesadaran – kesadaran rasional, dan keyakinan bahwa figur pemimpin daerah yang terpilih oleh rakyat, benar – benar dapat menjalankan kegiatan pembangunan dan kesejahteraan daerahnya.

Kedua, kontekstual daerah menjadi basis agenda program potensial pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah, mesti diaktualisasikan dengan kebijakan – kebijakan yang memang harus berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Pembangunan – pembangunan di daerah bukan atas pertimbangan “politik balas budi” kelompok – kelompok tertentu, yang bisa merugikan masyarakat luas.

Kepala daerah terpilih, sebagai pemimpin daerah harus “membawa” daerahnya berdaya bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Program – program yang dijanjikan saat kampanye, bukan basa – basi atau “pepesan kosong” politik sekedar untuk memperoleh kekuasaan, atau sekedar gimmic politics. Kekuasaannya yang diperoleh lewat pemilihan secara langsung oleh rakyat harus menjadi fokus menjalankan program – programnya secara terukur dan membumi dalam tatanan hidup dan kehidupan di daerahnya.

Ketiga, tantangan kepala daerah – wakil kepala daerah terpilih yang diusung dan didukung oleh partai politik, atau gabungan partai politik, maupun perseorangan, secara niscaya berhadapan dengan kelompok – kelompok parpol (fraksi) di legislatif (DPRD). Kepala daerah terpilih, tidak begitu saja “lenggang kangkung” menjalankan program – programnya, akan tetapi, program – program yang dijanjikan pada saat kampanye, harus dibawa ke ruang legislatif untuk mendapat persetujuan dan pengesahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerahnya. Di sini pula, kepala daerah – wakil kepala daerah terpilih dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya tidak bisa mengelak harus mendapat persetujuan legislatif daerah.

Itu sebabnya, kekuasaan kepala daerah yang diperolehnya melalui pemilihan langsung oleh rakyat, adalah merupakan bagian integral yang harus dijalankan dengan benar dalam menjalankan kekuasaannya. Kekuasaan kepala daerah dalam merealisasikan program – programnya melalui kebijakan – kebijakan pemerintahannya, disandarkan bagi pementingan kesejahteraan masyarakat luas dalam segenap bidang. Tanpa itu, kekuasaan yang diperoleh tersebut, hanya (apalagi) sekedar pertimbangan “bagi – bagi” kapling, bisa saja kesejahteraan rakyat tersebut terabaikan, bahkan digerogoti oleh kepentingan bagi – bagi kapling.

Pemilihan pemimpin daerah secara demokratis oleh rakyat, bukan hanya “lulus” secara prosedur minimalis. Namun sejatinya harus jauh lebih dari itu, perwujudan dari demokrasi prosedural tersebut membumi dalam demokrasi substantif penyelenggaraan pemerintahannya. Artinya, rakyat yang menentukan pemimpin daerah tersebut terpilih, harus jadi keberpihakan yang substansial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerahnya untuk kesejahteraan rakyat.

Jadi, kualitas kepemimpinan kepala daerah, teruji atau sebaliknya, dapat dilihat dari konsistensinya atas program – program yang dijanjikannya itu. Dan rakyat pemilih (khususnya) bukan hanya sekedar partisipasi dalam pemlihan tersebut, akan tetapi justru partisipasi selanjutnya adalah terus menerus memantau atau mengontrol, dan mengingatkan pemimpin daerah tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerahnya.

Bandung, Rabu, 30 September 2020

Penulis : Silahudin Pemerhati Sosial, Dosen STIA Bagasasi, tinggal di Bandung

Pos terkait