JAKARTA, mediakita.co- Dalam rangka memperingati 75th Proklamasi Kemerdekaan RI, Institut Sarinah menyelenggarakan bedah buku “Ibu Bumi Dilarani” karangan Dia Puspita berdasar riset tentang Gerakan Perempuan Kendeng di Rembang, Sabtu (22/8) kemarin.
Webinar menghadirkan pembahas Dr Muryani, MSi, MED., Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB Unair, Dr Nu Iman Subono, MHum – dosen FISIP UI, dan Eva K Sundari, MA., MDE Ketua Institut Sarinah.
Bedah buku yang dimoderatori Sovya Mardaningrum TA di DPR tersebut dibuka oleh tuan rumah Agnes Purbasari, MA dosen UI yang juga memperkenalkan Institut Sarinah dalam sambutannya.
“Institut Sarinah adalah lembaga think tank mengembangkan pemikiran-pemikiran feminisme nasionalis Pancasila sekaligus melakukan pengorganisasian masyarakat untuk mendukung program-program Nation and Character Building,” jelas Agnes Purbasari.
Buku Ibu Bumi DIlarani memuat hasil riset Dia Puspita berkaitan dengan proses pembangunan industry pertambangan yang mengancam ecosystem di Pegunungan Kendeng. Dalam mebahas buku tersebut, Dr Muryani, MSi.,MED Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB Unair menyapaikan, moralitas baru Pembangunan harus bisa menyeimbangkan antara demi melayani kepentingan manusia dan kepentingan pelestarian alam.
Pada kesempatan yang sama, Eva K. Sundari sebagai Ketua Institut Sarinah juga memberikan penekanan, pentingnya perwujudan cinta tanah air yang pro lingkungan dan daya dukung bumi, “Bukan terhenti pada egoisme manusia untuk mengeksploitasi alam demi akumulasi kapital.”
Dia Puspita dalam menulis Ibu Bumi Dilarani menggunakan teori gerakan sosial dan ekofeminisme dalam risetnya menyesalkan fakta hilangnya 143 sumber air akibat pembangunan pabrik semen di Rembang tersebut.
“Bukan saja tubuh para ibu yang terdampak oleh kerusakan alam tetapi rahim bumi juga terkoyak dan terhenti fungsinya memberi sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup, yaitu air,” tulisnya.
Menguatkan saran tersebut, Ketua Institut Sarinah Eva Sundari mengingatkan prinsip jalan tengah dari Pancasila. Penghormatan pada keberagaman, memajukan musyawarah untuk mufakat, dan menempatkan keadilan sosial untuk semua, harus menjadi prinsip-prinsip dalam perencanaan pembangunan.
“Perwujudan Cinta Tanah Air itu pro pada lingkungan dan daya dukung bumi bukan terhenti pada egoisme manusia untuk mengeksploitasi alam demi akumulasi kapital,” tegas Eva Sundari yang juga anggota DPR 2014-2019 dari FPDIP tersebut.
Dr Nur Imam Subono MH, pengajar FISIP UI yang juga menjadi salah satu pembahas menyarankan perlunya penelitian gerakan sosial lebih lanjut yaitu dinamika para aktor pengambil kebijakan terkait kasus Kendeng.
“Transisi dari Orba ke Orde Reformasi bisa merupakan peluang bagi perubahan termasuk untuk koreksi perencanaan pembangunan yang tidak pro lingkungan dan mengorbankan rakyat miskin,” saran Bonny, panggilan Nur Iman Subono.
Penulis: Tim Redaksi
Keterangan Foto : Berturut-turut, Bony, Muryani, Eva K Sundari, Dia Puspita.