SEJAGAD, mediakita.co- Carina Citra Dewi Joe adalah salah satu ilmuwan asal Indonesia yang memiliki peran penting di tim manufaktur yang sukses memproduksi vaksin AstraZeneca.
Karena peran pentingnya di dalam tim manufaktur vaksin Covid-19 yang kini paling banyak digunakan di dunia itu, Carina ditunjuk mewakili tim untuk menerima penghargaan Pride of Britain di London pada akhir pekan ini.
Vaksin AstraZeneca atau AZD1222 merupakan hasil kerja sama antara Universitas Oxford dan AstraZeneca yang dikembangkan sejak Februari 2020. Disebutkan, penghargaan ini merupakan satu dari sejumlah penghargaan yang diterima tim vaksin Universitas Oxford.
Ketua tim manufaktur, Dr Sandy Douglas mengatakan formula “dua sendok makan sel” yang ditemukan Carina menjadi landasan produksi besar vaksin Oxford AstraZeneca. Vaksin ini selain paling luas jangkauan penggunaannya, juga memungkinkan diproduksi dengan “harga semurah mungkin”.
Saat ini vaksin Oxford AstraZeneca dengan lokasi produksi di lebih dari selusin laboratorium di lima benua, telah digunakan di lebih 170 negara, termasuk Indonesia.
Produksi skala besar vaksin yang dapat dilakukan dalam waktu singkat oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca serta sejumlah produsen lainnya ini menjadi yang pertama terjadi dalam pandemi Covid-19 ini. Biasanya, produksi sebuah vaksin akan memakan waktu setidaknya 10 tahun.
Sejarah mencatat, pada 15 Januari 2020, Carina menemukan apa yang kemudian disebut sebagai “Formula 30 mililiter sel”. Formula dengan menggunakan sel yang hanya sekitar dua sendok makan namun memungkinkan untuk diproduksi 10 kali lebih banyak.
Dari percobaan awal ini, jumlah sel ditingkatkan terus sampai pada skala produksi besar melalui kerja sama dengan berbagai laboratorium di seluruh dunia. Publikasi ilmiah terkait formula “30 milimeter sel ini” akan diterbitkan Universitas Oxford pada bulan November.
‘Formula sangat sederhana dan dapat menekan harga’
“Dengan kombinasi upaya Dr Carina Joe untuk meningkatkan proses manufaktur dan komitmen serta kerja keras rekan-rekan kami di AstraZeneca dan semua mitra kami lainnya, kami mampu memberikan vaksin untuk dunia. Dibuat di berbagai penjuru dunia, dengan harga semurah mungkin,” kata Sandy kepada BBC News Indonesia, dikutip mediakita.co Minggu (31/10/2021).
“Ada lebih dari 1,5 miliar dosis vaksin Oxford AstraZeneca yang didistribusikan secara global. Saya sangat bangga dengan kerja kami yang memungkinkan manufaktur vaksin dilakukan di lebih dari selusin tempat di lima benua, dengan sejumlah besar vaksin dikirim ke berbagai negara di luar Amerika Utara dan Eropa,” tambahnya.
Formula sederhana dengan menggunakan jumlah sel yang sedikit ini juga memungkinkan untuk memproduksi vaksin dengan harga semurah mungkin.
Sandy mengungkapkan formula ini sangat penting (agar vaksin dapat disebar ke negara berkembang, termasuk Indonesia). Untuk itu menurut dia, ada dua alasan.
“Pertama, jumlah vaksin yang didapat dari jumlah tertentu sel, sangat terkait dengan harga. Jadi, formula Carina ini sangat produktif sehingga vaksin dapat dibuat dengan harga murah,” Kata Sandy.
“Kedua, yang sangat penting juga adalah formula ini sangat sederhana sehingga dapat ditranfer ke berbagai fasilitas seperti Serum Institute of India yang belum pernah memproduksi produk seperti ini sebelumnya. Namun cukup sederhana sehingga dapat dipelejari dengan cepat dan kami dapat menyerahkannya ke fasilitas manufaktur di seluruh dunia,” tambah Sandy.
Carina sendiri ketika ditemui di laboratorium Jenner Insitute, Universitas Oxford, Agustus lalu mengatakan senang atas capaian timnya. Meski demikian, dia mengaku masih harus banyak belajar dari para seniornya.
“Saya tidak sangka saja, dari eksperimen 30 mililiter atau dua sendok makan sel, bisa menghasilkan vaksin lebih dari satu miliar dosis dan dengan target tiga miliar dosis (pada akhir tahun) untuk suplai ke seluruh dunia,” kata Carina.
“Tapi, saya tidak merasa bangga atas hasil yang saya capai. Saya merasa perlu banyak belajar dari atasan saya dan profesor yang lain. Menurut saya ini adalah awal permulaan saja. Masih panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menjadi orang hebat,” Tambahnya.
“Saya melakukan pekerjaan saya sesuai job description tapi saya lakukan ekstra. Tapi untuk bangga, saya harus banyak belajar dari atasan dan profesor saya yang lain, saya masih jauh untuk bisa bangga untuk pekerjaan saya. Saya belum ada apa-apanya,” kata Carina lagi.
Disebutkan, jantung operasional tim vaksin Oxford setidaknya ada enam ilmuwan dengan pengalaman puluhan tahun dalam pengembangan, manufaktur dan juga uji coba klinis vaksin untuk menjamin keamanannya dan dilakukan dalam waktu yang sangat cepat.
Mereka termasuk Profesor Sarah Gilbert, Profesor Adrian Hill, Catherine Green, dan Andrew Pollard.
Sandy Douglas memimpin tim manufaktur, tim kecil dengan hanya Carina yang melakukan eksperimen.
Tim pengembangan di bawah Sarah Gilbert ini disebutkan mulai mengerjakan vaksin pada pagi hari 11 Januari 2020, tak lama setelah ilmuwan di China menerbitkan sekuens genome pertama virus corona. Saat itu belum jelas seberapa cepat virus akan menyebar.