OPINI, Mediakita.co,- Era post-truth itu apa sih? Kata post-truth pertama kali dipopolurkan oleh Steve Tesich dalam tulisan The Government of Lies. Menurut kamus Oxford post-truth merupakan kata sifat yang mendefinisikan sebagai “berkaitan dengan atau menunnjukkan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi.
Era post-truth bisa dikatakan telah terjadi dan masih akan berlanjut. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, post-truth masih berlanjut ketika negara demokrasi tertua ini mengadakan pesta demokrasi Pemilihan Presiden pada 2020. Di saat itu Donald Trump sebagai salah satu calon presiden menggunakan media sosial untuk mengungkapkan pernyataannya yang belum tentu benar. Tetapi pernyataannya dapat menarik simpati dan emosional masa pendukungnya, sehingga mereka mengafirmasi semua pernyataan Trump.
Hasilnya banyak pemilih Trump yang lebih mementingkan emosional ketimbang rasionalitasnya. Salah satunya ketika Trump kalah dalam pemilihan presiden, Trump meminta pendukungnya untuk pergi ke Gedung Capitol guna merebut kembali kemenangan yang dicuri oleh Joe Biden. Akibat pernyataan tersebut terjadilah kerusuhan pada 6 Januari 2021, di Gedung Capitol. Tetapi dampak yang sangat besar ialah tercorengnya wajah demokrasi Amerika yang telah bertahan berabad-abad lamanya runtuh di era post-truth.
Era post-truth sangatlah mampu menurunkan kualitas demokrasi di suatu negara. Tetapi menariknya, post-truth memuncak ketika akan diselenggerakan mekanisme pengalihan kekuasaan yaitu pemilu. Hal ini tentu harus dipersiapkan matang oleh Indonesia untuk menghadapi pemilu di tahun 2024.
Tantangan Pemilu di Era Post-Truth 2024
Pemilu di era post truth tentunya memiliki tantangan tersendiri. Tantangan tersebut dapat diartikan keuntungan atau kelebihan ketika dapat dilewati dengan baik. Namun apabila tantangan tersebut gagal dilewati akan menjadi permasalahan bagi Pemilu Indonesia kedepannya. Ada tiga tantangan yang dihadapi meliputi : (1) Pengguna Internet yang besar di Indonesia; (2) Kecakapan digital yang masih rendah; dan (3) efek terbelahnya masyarakat akibat pemilu.
Pengguna Internet menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pengguna internet di Indonesia mencapai 62,43 persen atau setara dengan 210,03 juta jiwa. Melihat data tersebut pengguna internet di Indonesia sangatlah besar. Penguna internet sangat massif penggunaan di media sosial, apalagi era post-truth dapat tumbuh subur dalam media internet terutama di media sosial. Dikarenakan era post-truth menyajikan informasi dan informasi tersebut dapat terdistribusi massif ketika telah di unggah di media sosial.
Banyaknya pengguna internet, sehingga informasi dengan mudah didapatkan oleh masyarakat dan juga mudah disebarluaskan kembali serta didiskusikan di dunia maya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemilu 2024 di era serba digital.
Berbicara internet tentu juga berbicara tentang kecakapan digital. Menurut Kominfo terdapat empat pilar cakap digital yang harus dipenuhi dalam bermedia sosial yang baik ialah digital skill, digital etnic, digital culture serta digital safety.
Indeks literasi digital tahun 2021 yang diliris Kementrian Komunikasi dan Informasi bersama Katadata Insight Center (KIC) dari 34 provinsi masih terdapat 14 provinsi dengan kecakapan digital yang masih rendah dibawah rata-rata nasional serta 18 provinsi memiliki memiliki nilai rata-rata nasional sebesar 3,44 dan 2 provinsi memiliki nilai kecakapan tertinggi yaitu provinsi DI Yogyakarta dengan rata-rata 3,85 dan Kalimantan Timur dengan rata-rata 3,84.
Dengan kecakapan digital yang masih rendah tentunya menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu 2024 di era serba digital serta di era post-truth saat ini.
Era post-truth mempunyai efek yang sangat besar yaitu terbelahnya masyarakat disaat pemilu. Ketika flashback ke pemilu 2019 masyarakat terbelah menjadi dua kubu yaitu cebong dan kampret. Adanya pembelahan grassroot (akar rumput) akibat pemilu 2019 dikarenakan besarnya arus informasi yang menyebarkan hate speech serta hoax yang diafirmasi langsung oleh masyarakat tanpa mengkroscek terlebih dahulu. Hal ini menjadi PR besar bagi pemilu 2024 dikarenakan pembelahan dimasyarakat akan merusak Persatuan Indonesia yang sudah dibangun sejak lama. Pembelahan juga dapat menimbulkan konflik hebat antar polar.
Pencegahan Era Post Truth di Pemilu 2024
Pencegahan dan pengawasan harus segera dilakukan oleh pemerintah serta penyelenggara pemilu yakni KPU dan bawaslu, agar dampak dari era post truth semakin kecil. Ada dua langkah yang bisa dilakukan penyelenggara pemilu serta pemerintah agar pemilu 2024 berjalan kondusif.
Yang pertama yakni mengedukasi masyarakat terkait dampak dari post truth sehingga masyarakat sadar bahwa post truth sangatlah berbahaya bagi bangsa Indonesia.
Kedua peningkatan literasi digital dinilai sangat perlu di era pst-truth saat ini agar masyarakat tidak terbawa emosional dengan adanya hoax atau hate speech sehingga mengedepankan rasionalitas serta masyarakat dapat menyerap informasi yang beredar di saat momentum pemilu, dan masyarakat tidak terjerumus dalam hoax maupun hate speech yang menimbulkan polarisasi grassroat (akar rumput).
Penulis:
Alfian Fikri Nur Fauzi
(Sekretaris Umum GMNI Kota Salatiga Periode 2018 – 2020, Pengurus DPD KNPI Jawa Tengah Bidang Politik, Pemerintahan dan Luar Negeri Periode 2022 – 2025)