ajibpol
CERITA RAKYAT

Jokowi Dimata Tokoh Dunia

Mediakita – Berikut adalah cerita satire dan fiksi berbentuk dialog antara Soekarno, Lenin, Mao Zedong, dan Ayatullah Khomeini, membahas Jokowi dengan gaya khas mereka, tajam, ideologis, dan kadang getir.

Bertempat hotel mewah diselenggarakan diskusi panel sembari glorifikasi.

Di sebuah amfiteater di alam baka.
Spotlight langsung dari mentari yang tertutup awan. Angin sepoi berhembus.
Di panggung diskusi, empat tokoh besar duduk mengelilingi meja marmer.
Soekarno mendapatkan giliran pertama menyampaikan pendapatnya.

Soekarno (mendongak):
Di negeriku dulu, aku ajarkan marhaenisme. Kini, katanya ada pemimpin dari rakyat, tapi kenapa lebih sibuk membangun Ibu Kota untuk konglomerat?

Lenin sinis :
Pemimpin sejati lahir dari revolusi. Tapi pemimpinmu itu lahir dari elektabilitas, dan tumbuh dari industri buzzer.

Mao tersenyum miring:
Aku hancurkan tuan tanah dan elit. Ia justru membesarkan mereka, satu per satu, dalam baju “investor strategis.”

Khomeini dingin:
Ayatullah bukan hanya ulama, tapi penantang kekuasaan yang zolim. Sedangkan dia? Bahkan tak berani menyentuh skandal yang terang-benderang

Baca Juga :  Sumpah Prajurit : Mbah Kramat Jati  dan Asal-Usul Desa Kaso Dengan Budaya Uniknya di Pemalang

Soekarno terdiam.

Tapi kini, hidup rakyat diarahkan bukan untuk makna, melainkan untuk mendukung proyek.

Lenin (mengutip Bertolt Brecht):

“Unhappy the land that needs heroes.”

Tapi negeri itu justru mengidolakan manajer proyek yang pandai menyembunyikan ketundukan.

Mao menggeleng, seraya mendesis ck ck ck:
Di negeri ini, revolusi tinggal mural. Yang diburu bukan koruptor, tapi seniman.

Khomeini (mengutip Rumi):

“Try not to resist the changes that come your way. Instead, let life live through you.”

Tapi ia membungkam perubahan. .

Soekarno mendesah:
Dulu aku bilang, “beri aku 10 pemuda”—tapi kini 10 pemuda dijadikan admin medsos.

Lenin memonyongkan bibirnya:
Kutempa kader-kader partai. Dia justru bangun dinasti keluarga. Kekuasaan diturunkan seperti warisan tanah.

Mao berkata datarr:
Aku lawan kultus individu. Tapi lihat, namanya dipasang di prasasti dan dibuatkan patung yang disumbang oleh anak menantu sebelum ia mati.

Khomeini mengernyitkan alisnya yang tebal:
Ketika pemimpin mencintai kekuasaan melebihi rakyat, ia telah menjadi Fir’aun.

Soekarno mengutip Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia”:

Baca Juga :  Legenda Nyai Dewi Rantam Sari, Misteri Ratu Pantai Utara di Kerajaan Gaib Gunung Mendelem

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Tapi ia bahkan takut berpikir di luar kebijakan istana.

Lenin:
Dan rakyat diam?

Mao:
Mereka dibungkam dengan program. Mereka disodori makan siang bergizi gratis dan keracunan sambil dijauhkan dari politik.

Khomeini:
Sebuah bangsa yang kehilangan rasa marah, telah kehilangan iman.

Soekarno menatap jauh, bicaranys pelan:
“Kalau rakyat masih percaya bahwa pembangunan adalah pengganti keadilan, maka mereka sedang dipimpin ke padang pasir oleh penyihir.”

Semua diam. Angin tak berhembus. Lalu samar-samar terdengar kutipan terakhir dari langit.

George Orwell, “1984”):

“If you want a picture of the future, imagine a boot stamping on a human face — forever.”

Cerita ini adalah satire, bukan sejarah.


Penulis: Firman Tendry Masengi

Artikel Lainnya