Oleh: Guntur Soekarnoputra
Beberapa waktu lalu penulis pernah mengutarakan pendapat mengenai kondisi/peta sosial politik pasca-Pemilu 2024 yang akan datang, yaitu garis besarnya PDI Perjuangan sebaiknya melalui suatu kongres luar biasa (KLB) mengubah struktur organisasinya dengan menempatkan Jokowi yang sudah selesai tugas kepresidenannya tidak menganggur di Kota Solo sebagai warga biasa, melainkan justru ditetapkan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, menggantikan Megawati Soekarnoputri yang saat itu memasuki usia ke-77 tahun. Sangatlah bijak bila Megawati Soekarnoputri diberi posisi strategis sebagai Ketua Dewan Pembina PDI Perjuangan dengan tetap mempunyai hak prerogatif sebagaimana semula.
Pendapat penulis tersebut di atas yang ternyata viral di dunia sosial politik kini “rungkad” (berantakan) karena timbulnya masalah menyangkut putra-putra Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka bahkan Kaesang Pangarep. Yang satu urusan menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari calon presiden (capres) Prabowo Subianto, yang lainnya “ujug-ujug” diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kejadian di atas membuat kalangan politisi, tokoh-tokoh partai dan lain-lain menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, termasuk senior-seniornya, kecuali PDI Perjuangan yang tampaknya siap menghadapi situasi apa pun.
Bagi pribadi penulis, kejadian di atas membuat terkejut karena tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2023 yang lalu penulis bertemu dengan Jokowi dan menanyakan perihal kebenaran berita-berita tersebut di atas, terutama mengenai pendirian politik Jokowi apakah masih konsisten seperti semula ketika bertemu penulis beberapa tahun lalu, yaitu tetap mendukung Ganjar Pranowo untuk menjadi presiden, meneruskan pekerjaan-pekerjaan yang sudah dikerjakan dan rencana-rencana yang sudah dibuat oleh Jokowi, antara lain pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), hilirisasi, dan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengenai putra-putranya, Gibran dan Kaesang, tidak disebut-sebut (tidak diutarakan) oleh Jokowi. Namun bila penulis hubungkan dengan kondisi saat ini, penulis menarik kesimpulan memang sedang terjadi “something wrong” (sesuatu yang salah) dan ini adalah fakta, bukan sekadar ilusi atau situasi yang digoreng oleh kalangan anti-Jokowi.
Oleh sebab itu, kondisi ini harus dilawan karena keadaannya sudah membuat negara berada dalam kondisi berbahaya, di mana sebenarnya Presiden harus bertindak cepat untuk mengatasinya. Nyatanya tidak demikian, karena justru sikap Presiden yang naga-naganya menjadi penyebab terjadinya keadaan berbahaya tadi.
*Contoh di era Presiden Sukarno*
Pada era Presiden Sukarno menjadi kepala negara, pernah terjadi suatu keadaan di mana negara berada dalam keadaan bahaya, bahkan sudah dinyatakan dalam keadaan SOB (Staat van Orlocht en Belach). Keadaan tersebut timbul karena adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah dan dilakukan oknum-oknum militer yang dibantu oleh negara adikuasa, khususnya Amerika Serikat.
Ketika itu Presiden Sukarno segera mengatasinya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin mengganti sistem Demokrasi Liberal Kapitalistik yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada tahun 1963, mereka lagi-lagi mencoba mendongkel Presiden Sukarno dengan jalan mempengaruhi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MPRS No III Tahun 1963; suatu langkah yang tampaknya mendukung Sukarno, akan tetapi sebenarnya menikam Presiden Sukarno dari belakang.
Dengan adanya tindakan tegas dari Presiden Sukarno waktu itu, berangsur-angsur kondisi bahaya dapat diatasi setahap demi setahap bahkan akhirnya negara dalam keadaan SOB dapat dicabut. Untuk kondisi saat ini, tidak mungkin “Jalan Sukarno” tersebut dapat dilaksanakan. Lalu harus bagaimana? What is to be done? Apa yang harus dikerjakan?
*Jalan Keluar Satu-satunya*
Dalam perenungan penulis untuk mengatasi situasi agar tidak berkembang menjadi “chaos” (kacau) maka saat ini seluruh potensi kaum patriotik tidak peduli dari kalangan politisi, pedagang, seniman, generasi muda bahkan kalangan keagamaan, apa pun agamanya harus menyampingkan segala macam kejadian-kejadian tetek-bengek yang membuat pikiran dan energi kita terkuras habis, dan mutlak harus fokus pada perjuangan memenangkan Ganjar Pranowo sebagai Presiden dan Mahfud MD sebagai Wakil Presiden.
Masalah lain dan hal-hal yang tidak perlu sebaiknya dilupakan dahulu dan fokus pada perjuangan “Tohpati” (mempertaruhkan nyawa) agar Ganjar Pranowo menjadi Presiden RI dan Mahfud MD menjadi Wakil Presiden RI. Hal ini adalah satu jembatan emas yang harus kaum patriotik lalui terlebih dahulu dan di seberang jembatan emas tadi hal-hal lain yang belum beres dibereskan secara tuntas.
Menurut hemat penulis, ini adalah satu-satunya jalan yang saat ini dapat ditempuh untuk mengatasi kekisruhan yang sedang terjadi. Marilah kita kaum patriotik, terutama kaum patriotik Sukarnois, dengan geraham gemeretak laksana “banteng ketaton” terus berjuang menjadikan Ganjar Pranowo sebagai Presiden dan Mahfud Md sebagai Wakil Presiden.
Selamat berjuang!
*Ketua Dewan Idiologi DPP PA GMNI/ Pemerhati Sosial
(Foto: Istimewa)