MALAKA, Mediakita.co,- Pada kesempatan memberikan materi Bimbingan Teknis (Bimtek) Desa Inklusi di Desa Malaka, Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara, Prov. Nusa Tenggara Barat dan Desa Rogo, Kec. Dolo Selatan, Kab. Sigi, Prov. Sulawesi Tengah, penulis mendapatkan pengalaman menarik, terkait dengan upaya masyarakat desa mengidentifikasi desanya.
Proses identifikasi tersebut tidak terlepas dengan kondisi lingkungan perdesaan, serta potensi yang ada di desa tersebut. Dan, bila dikaitkan dengan gagasan Desa Inklusi sendiri, persoalan yang muncul juga tidak jauh dari keseharian yang dihadapi masyarakat desa.
Desa Inklusi, Menemukenali Kelompok Rentan
Penerapan inklusivitas di desa merujuk pada UU No 6 Tentang Desa, atau dikenal sebagai UU Desa Pasal 67 ayat 2 di mana Desa berkewajiban untuk melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat desa, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa, mengembangkan kehidupan demokrasi, mengembangkan pemberdayaan masyarakat, memberikan dan meningkatkan pelayanan kehidupan masyarakat desa.
Secara lebih spesifik dituangkan dalam PP No 43 Tahun 2014 Pelaksanaan UU Desa Pasal 127 ayat 2 bahwa penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan di desa wajib berpihak pada kepentingan warga miskin, disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marjinal.
Melalui regulasi tersebut, Desa memiliki kewajiban untuk mengakomodir seluruh komponen masyarakat desa, terutama memberikan prioritas bagi kelompok rentan tersebut. Dengan demikian, Desa wajib menerapkan prinsip Desa Untuk Semua Warga Desa, tanpa kecuali. Dan hal tersebut mensyaratkan adanya keterbukaan dan membongkar sekat-sekat yang menghalangi keterbukaan tersebut.
Upaya membongkar sekat atau hambatan setidaknya bisa dijalankan dengan mengakomodir setiap kelompok kepentingan yang ada di desa. Berbagai cara harus dilakukan oleh Desa agar kelompok marjinal tersebut diakomodir melalui system perencanaan pembangunan Desa.
Kelompok rentan dan terpinggirkan di desa sering terjadi karena status ekonomi (kemiskinan), diskriminasi (berbeda suku, ras suku, agama), kondisi fisik (penyandang difabilitas), transgender, masyarakat adat, Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), bahkan saat ini orang yang terpapar Covid-19. Situasi ini membutuhkan aksi afirmatif, agar kelompok ini bisa berpartisipasi secara sejajar dan setara dengan warga lainnya.
Aksi afirmatif ini tentu bukan sebuah pertandingan untuk mencari pemenang tunggal, melainkan untuk memberikan kemenangan bagi kelompok yang lebih membutuhkan. Mencapai kemenangan bersama.
Sistem Pembangunan Desa
Untuk mencapai kesejahteraan bersama di tingkat desa, bila mengacu pada UU Desa setidaknya terdapat 4 (empat) tahap krusial dalam proses pembangunan di Desa, yakni 1) Musyawarah Desa (Musdes) sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi, 2) Perencanaan Pembangunan Desa yang tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Pembagunan Desa, 3) Penganggaran Desa, tertuang dalam APB Desa, dan 4) Pelaksanaan dan Pengawasan.
Sistem tersebut menjadi pola baku yang menjadi rujukan bagi siapapun untuk melihat seluruh dinamika pembangunan desa. Dan, sebagai system maka ia ibarat sebuah mesin yang harus terus berputar untuk menggerakkan desa ke arah yang ingin dicapai.
Arah pembangunan desa, idealnya berbasis pada potensi sumber daya alam yang ada dan mengakomodasi kepentingan warga desa. Selebihnya Desa harus mengembangkan jejaring antardesa untuk bisa saling mendukung dalam pembangunan.
Desa Malaka di NTB misalnya, dengan potensi laut, pertanian dan perkebunan serta berada di jalur wisata menjadikan desa ini memiliki peluang perubahan yang sangat cepat. Desa Malaka sangat terbuka, dan saat diskusi warga mencoba meraba-raba entitas apa yang dibutuhkan untuk menyikapi perkembangan jaman berbasis sumber daya yang dimilikinya.
Desa Rogo di Sulteng sama sekali berbeda. Potensi pertanian dan perkebunan yang ada ternyata terancam oleh perbukitan yang ada di desa tersebut. Gempa bumi besar di Sulteng beberapa waktu lalu, secara nyata menghancurkan struktur batuan perbukitan. Akibatnya, saat hujan deras dalam jangka waktu yang lama, memberikan dampak banjir bandang yang meluluhlantakkan Desa Rogo.
Melalui system pembangunan desa, seharusnya Desa mampu untuk mengidentifikasi diri dalam rangka menyiapkan diri sesuai dengan kapasitas, mengenali kelebahan dan kelebihannya.
Identifikasi Jati Diri Desa
Hasil diskusi dengan warga kedua Desa di atas, Desa Malaka dan Desa Rogo, penulis belajar bahwa Desa butuh megidentifikasi dirinya sendiri. Hal ini perlu bagi Desa untuk menentukan strategi pembangunannya.
Desa Malaka, dengan keterbukaan dan tantangan perubahan yang cepat, para peserta Bimtek mengidentifikasi diri untuk menjadi jenis mesin motor balap, motor yang cepat untuk bersaing dengan lainnya dalam adu kecepatan. Desa dengan karakter mesin motor balap ini membutuhkan pemimpin desa (layaknya sang pembalap) yang juga gesit bermanuver di tikungan, maupun mampu memaksimalkan kecepatan di jalan lurus.
Desa Rogo memiliki karakter yang sama sekali berbeda. Dalam fasilitasi yang mirip dengan di Desa Malaka, para peserta mengidentifikasi Desa Rogo sebagai motor trail yang tangguh dan mampu menjangkau seluruh medan desa. Tentu, dengan identifikasi tersebut, kebutuhan sosok pemimpin desa serta enguatan kelompok yang harus dikuatkan semakin jelas.
Identifikasi Desa menjadi media bagi warga desa untuk menemukan potensi dan masalah yang ada di desa, serta menemukan solusi mengatasinya.
Desa Inklusif memberikan harapan lebih besar bagi warga desa untuk maju bersama dan meretas kesenjangan sosial yang mungkin terjadi. Desa Inklusif merupakan implementasi nyata dari UU Desa.
Penulis : Haris Shantanu
(Penulis adalah Warganegara biasa pedui Desa)