ajibpol
SASTRAKITA

Puisi Karya Kustajianto

Sastra Bisa Apa

Sastra bisa apa?

Puisi hanya ilusi

Kalau cerita, anak kecil saja bisa. Demikian teriak mereka.

Seratus tahun yang akan datang ketika kita sudah tinggal tulang ditimbun tanah bahkan nisanya hilang kuburanya ditumbuhi ilalang, yang tersisa hanyalah karya sastra.

Seratus tahun yang akan datang pada waktu sejarawan akan mengungkap peradaban kita pada saat ini, sastra adalah satu dari sekian unsur sejarah bangsa.

Bagaimana mungkin mendokumentasikan peradaban jika masih disusupi gerno yang berkedok penyair!

 

Tertatih-tatih

Hidup ini tertatih-tatih menaiki tebing.

Terbata-bata membaca Ho No Co Ro Ko.

Meraba-raba angka kalender.

Membiarkan anak-anak kucing berkeliaran di pasar.

Seperti hujan yang tanpa kompromi.

Sedang Tuhan menyuruh kita mediasi.

Akhirnya kita memilih tanpa beban, selepas kapas beterbangan.

Tongkat Jadi Tanaman Bukan Lagu

Silakan datang ke desaku.

Mumpung musim hujan.

Bawa potongan batang kenari.

Atau bambu kuning.

Tancapkan di pematang sawah.

Sewa orang untuk dijaga.

Aku pastikan akan muncul tunas pada ruas bambu, mengapa masih diteriaki hanya ada dalam lagu dengan seribu kebencian pada negeri yang dijadikan berpijak selama hidup dan bernapas bahkan sampai masuk ke liang kubur, dibandingkan negeri dongeng yang engkau anggap suci, maka pergilah dari negeri ini!.

Membangun Perahu

Beberapa kayu jati tua.

Ratusan tahun usianya.

Kubelah kupotong.

Tentu dengan ukuran tepat.

Dengan doa-doa bahasa desaku.

Kubayangkan, laut dalam genggam

Jika kubayangkan seram.

Takut menyeberang.

Agar nenek moyangku orang pelaut.

Bukan hanya lagu.

Perahu yang bentuknya sudah kulukis di langit dan pantulanya mengambang di atas gelombang samudra seakan mengisyaratkan bahwa perahu yang kubuat ini tidak akan karam mesti ada badai.

Baca Juga :  Puisi Karya Rustono

Bahkan sampai badai memecahkan perahu yang penumpangnya bermuka mirip denganku, bisa menggunakan pecahan jati ini jadi sampan menuju tujuan.

Bahkan beberapa hari tak makan karena mengambang di tengah lautan pun kita masih bisa menyanyikan tembang Nyidam Sari agar hati ini tetap hidup, seperti pesan istriku sebelum aku pergi.

 

Bukan Kereta Kuda

Keretaku bukan kereta kuda.

Tidak menerjang Matahari pagi

Dengan secepat kilat.

Pedatiku ditarik kerbau.

Sebab aku hanya gembala.

Bahkan tanpa seruling.

Pedati kerbau ini telah berjalan sajauh 2023 kilometer dengan muatan 156 kilogram lewat jalan naik turun bersebelahan jurang dan jalan berbatuan menuju ke barat ke arah senja dengan harapan sampai tujuan sebelum gelap malam sebelum lampu-lampu minyak dinyalakan gadis desa sebelum hujan merobohkan pohon-pohon sebelum luka ini makin melebar sebelum dingin ini mencekik darah.

Kerbau ini belum lelah.

Teruslah berjalan.

Meski mulai perlahan.

 

Aku Mencintaimu

Bagaimana aku bisa mencintaimu sedangkan menatap wajah saja yang nampak hanya sepasang mata.

Bagaimana aku menyintaimu sedangkan pakaian yang kugunakan saja harus diganti seperti pakaian orang asing.

Bagaimana aku bisa menyintaimu jika menbenci negeri ini sementara aku lahir dan hidup di negara Indonesia.

Bagaimana aku bisa menyintaimu jika bahasa yang kugunakan sehari-hari saja dibantah bahwa alam akhir tak ada Bahasa Indonesia.

Aku mencintaimu seperti matahari sedangkan kasih-sayangmu seperti petir dimusim hujan.

 

Cinta Sejati

Dewi.

Jika engkau masih meragukan cintaku, akan kubawakan bambu kuning ini dan kutancapkan di pematang sawah belakang rumah.

Baca Juga :  Syekh Hamzah Fansuri : Penyair Sufi Tanah Rencong

Jika tumbuh subur maka tanda cintaku tak pernah luntur meski hujan dan guntur menggempur.

Tetapi jika bambu itu mati meski dimusim hujan itu pertanda, sawah belakang rumahmu tidak berada di NKRI.

Aku menyintaimu tanpa henti meski engkau ragu dan malu karena usiaku, Dewi.

 

Saatnya Menepi

Telah kutempuh jarak 55 mil

Hanya mencari cinta yang pernah dibawa lari ikan hiu.

Lelah ini akhirnya yang mengajaku singgah sejenak di Pulau Bidadari.

Barangkali ada tulisan cintaku di punggung seorang wanita penduduk itu.

Entahlah, aku sudah renta.

Ingin rasanya tinggal lama lama di pulau itu denganya sambil merentangkan jala di pantai menjebak ikan-ikan yang sedang sial.

Hingga senja tertutup malam.

Dan tetap malam.

 

Di Langit Itu

Ada yang menyimpan tulisan tulisan batinya yang remuk di langit itu.

Ada yang menulis dan dibuang, jika ada yang memungut ya sukur, jika tak ada tak jadi masalah.

Orang orang yang tulisanya tersimpan di langit, saban keluar rumah dan mendongakan kepala pasti akan membaca perlahan tiap kalimat dan menggema dalam dada, meski dalam perut yang lapar.

 

Warisan Sajak Sajak

Anakku.

Aku tak bisa memberimu warisan harta apalagi titel dan jabatan, tentu engkau tahu, kita kadang makan kadang tidak.

Anakku.

Jika sajak sajaku di laci engkau anggap warisan maka bacalah tanpa harus minta pertimbangan siapa siapa, sobek kalau jelek, publikasi kalau menarik.

Anakku.

Engkau tak perlu tahu bagaimana disetiap langkah memperjuangkanmu disetiap napas mendoakanmu disetiap kedipan mata hanya tampak tangismu, anakku.

 

Oleh: Kustajianto.

Artikel Lainnya