Rupa Rempah di Negeri Bawah Angin Pesisir Timur Jambi

NASIONAL, mediakita.co – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini tengah gencar mendorong issue jalur rempah sebagai warisan dunia. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah menyelenggarakan Webinar. Kemendikbud, melalui BPCB Provinsi Jambi menyelenggarakan webinar bertemakan Rupa Rempah di Negeri Bawah Angin Pesisir Timur Jambi, pada Selasa 27/10/2020.

Webinar yang dimoderatori oleh Wenri Wanhar, menghadirkan pembicara Drs. H. Hasan Basri Agus. MM, Ananto Kusuma Seta, Ph.D (Ketua Komite Jalur Rempah,Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud), DR. Yunus Satrio dan Dedi Arman (Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri).

Negeri Bawah Angin dan Program Jalur Rempah

Istilah Negeri Bawah Angin muncul pada jaman lampau di mana perdagangan yang melalui jalur laut berupa kapal layar mengandalkan tiupan angin. Angin barat daya menjadi andalan kapal-kapal pedagang asing ke Nusantara, dan mereka harus beristirahat berbulan-bulan jika ingin kembali pulang karena menunggu hembusan angin timur laut. Dan cakupan wilayah yang masuk dalam Negeri Bawah Angin untuk di Sumatera meliputi Aceh, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Jambi, Palembang dan Lampung.

Ananto Kusuma Seta, Ph.D dalam presentasinya menyebutkan bahwa salah satu tujuan Program Jalur Rempah adalah gerakan rekonstruksi dan revitalisasi warisan budaya, selain memuliakan warisan membangun masa depan. Dengan demikian program ini sebagai platform budaya untuk menumbuhkan kebanggaan akan jati diri daerah-daerah di Indonesia dan memperkuat jejaring interaksi budaya antar daerah, pulau, suku, dan bangsa.

Bacaan Lainnya

Lebih jauh, Ananta menjelaskan perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melindungi, mengembangan, memanfaatan, dan mengelola warisan budaya Jalur Rempah untuk pembangunan berkelanjutan. Dan, ke depan diharapkan mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai Warisan Dunia untuk memperkuat diplomasi Indonesia, sekaligus meneguhkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Jalur Rempah Jambi

Dalam paparan Yunus Satrio, berita pertama tentang pemukiman di Jambi datang dari berita Cina tahun 643 Masehi yang menceritakan kedatangan utusan dari Mo-lo-yeu (Melayu) untuk berdagang. Dan Jambi memiliki komoditas unggulan yang jarang ditemukan di tempat lain seperti emas, cula badak, getah damar, buah pinang, dan merica.

Komoditas tersebut memiliki nilai dan dihargai mahal oleh bangsa-bangsa lain. Dan cara perdagangan dilakukan secara barter, meski terdapat tanda-tanda telah digunakannya mata uang logam berbahan emas, perak, dan perunggu. Dan, melalui perdagangan orang-orang Jambi kemudian mengenal agama Hindu dan Budha serta sistem pemerintahan kerajaan, serta agama Islam dengan kesultanannya

Sementara, dari paparan Dedi Arman menyebutkan bahwa Jambi telah dikenal sebagai penghasil lada sejak tahun 1545. Dan pada 1568, Portugis sudah berupaya mencari akses ke daerah persediaan lada. Maka tidak mengherankan jika tahun 1616, Pelabuhan Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya di Sumatra, setelah Aceh dengan hasil utamanya lada.

Jambi sebagai penghasil lada utamnya di daerah hulu Jambi seperti Tanjung, Kuamang, daerah lainnya di VII Koto (Konteks hari ini masuk Kabupaten Tebo). Selain di daerha tersebut, lada juga ditanam di Muara Ketalo, Sumai, dan sepanjang sungai Muara Tembesi. Produsen utama lada di Jambi adalah orangorang Minangkabau yang tinggal di sepanjang Sungai Batanghari, khususnya di dua distrik yaitu Tanjung dan Kuamang, federasi Kota Tujuh (VII Koto) dan Sembilan Kota (IX Koto).

Dari tahun 1550-an hingga akhir abad 17, perdagangan lada mendatangkan kemakmuran bagi kesultanan Jambi. Pihak kesultanan melakukan perdagangan lada dengan Portugis, yang kemudian pada masa colonial dilanjutkan dengan perusahaan dagang Belanda (VOC) dan EIC (Inggris).

Infrastruktur Kebudayaan

Untuk memperkuat kedudukan Jalur Rempah, Hasan Basri Agus memberikan masukan bahwa perlu dibangun Infrastruktur kebudayaan. DUkungan infrastruktur kebudayaan tersebut menurutnya berupa fasilitas yang dipergunakan untuk beraktivitas dan mengembangkan ekspresi budaya yang sekaligus menumbuhkan ekonomi kreatif serta pengetahuan pemajuan kebudayaan. Selain itu bangunan tersebut harus disinergikan dengan infrastruktur yang dapat memberikan dampak positif bagi ekonomi, pendidikan membuka lapangan pekerjaan seperti melengkapi balai-balai desa dengan menyediakan tempat berkreasi masyarakat dalam memajukan kebudayaannya dan ekonomi kreatif.

Lebih lanjut, beberapa contoh yang diusulkan oleh Hasan Basri Agus terkait dengan infrastruktur kebudayaan berupa: 1) Pendirian museum sebagai pusat edukasi dan wisata; 2) Rumah budaya (ruang publik untuk perhelatan ekspresi budaya seperti seni tari, musik, teater dan seterusnya), 3) Pengembangan sarana dan prasarana di lokasi Cagar Budaya, 4) Pengembangan dan pemanfaatan bangunan rumah-rumah tradisional (misal, pemugaran rumah-rumah tradisional, melengkapi dengan prasarana bagi wisatawan), 5) Pembangunan infrastruktur mendukung objek wisata budaya di pusat-pusat pembuatan kapal tradisional, pasar kuliner, pusat-pusat kerajinan, tempat-tempat perayaan upacara adat dan festival keagamaan, dan 6) Membangun jaringan telekomunikasi ke objek wisata budaya yang ada di masyarakat.

Penulis : Fakhiryah/mediakita.co

Pos terkait