ajibpol
LITERA KITA

Si Jamin Si Johan

LITERAKITA, mediakita.co – Melihat-lihat kembali deretan novel-novel di rak buku yang lama tak tersentuh, begitulah salah satu cara mengisi waktu dalam masa pandemic Covid-19. Dan, sejenak diajak merantau ke masa lampau, oleh sang Merari Siregar sang penulis Novel Si Jamin Si Johan.

Buku tidak terlalu tebal, dengan 98 halaman terbitan Balai Pustaka tahun 2010, ya cetakan ke-26, selepas terbit pertama kali di tahun 1920-an. Seratus tahun yang lalu.

Kisah Keluarga Bertes

Jamin dan Johan adalah anak dari pasangan Bertes dan Mina, namun mereka berdua menjalani hidup yang pahit selepas Mina meninggal. Bertes sendiri bukanlah sosok yang baik, sejak muda. Di usia 20 tahun, ia meninggalkan ibunya yang sudah tua untuk menjadi serdadu, dan tak pernah berkabar sedikitpun, sampai ibunya meninggal.
Kehidupan keluarga Bertes dan Mina meski telah mempunyai anak, kelakuan Bertes tidaklah berubah banyak. Bertes suka mabuk-mabukan, meski seringkali dinasehati Mina. Kelakuan Bertes yang urakan membuat Mina makan hati, dan akhirnya meninggal. Sepeninggal Mina, Bertes menikah lagi dengan perempuan bernama Inem. Inem dan Bertes setali tiga uang. Berdua suka mabuk dan menghisap candu. Uang simpanan dihabiskan untuk membeli candu.

Kondisi ekonomi semakim memburuk, Jamin dan Johan hidup dalam kesulitan. Mereka dipaksa mengemis, dan uangnya dihabiskan untuk membeli candu Inem yang merupakan ibu tiri dari Janim dan Johan ini memiliki tingkah laku yang sangat buruk. si Jamin dengan bengisnya Inem menyuruh Jamin meminta-minta, jika ia tak memperoleh uang lima puluh sen maka ia tak boleh pulang.

Inem ibu tirinya, marah jika mendengar Jamin membeli makan. Pagi-pagi sekali ia harus bangun untuk meminta-minta lagi, diseretnya ia jika ia msih terlelap oleh ibu tirinya itu. tempat tidur seadanya, angina menjadi teman bagi mereka ketika malam hari, hal itu sudah biasa bagi mereka. Inem semakin asik dengan dunianya sendiri, ia menjadi pemabok dengan uang hasil dari Jamin.

Janji Jamin Kepada Ibunya

Setelah mencari uang, ternyata dikumpulkan tak seperti apa yang diharapkan, lima puluh sen belum ia dapatkan. Beberapa tempat ia kunjungi, ia bertemu dengan seorang nelayan, ia ingin seperti mereka berkelana ke negeri-negeri orang lain. Namun, ia ingat bahwa ia tidak akan meninggalkan adiknya. Jamin selalu ingat perkataan ibunya sebelum meninggal, bahwa ia tidak boleh sekalipun meninggalkan adiknya.

Baca Juga :  Tafsir Sastra, Hegemoni Dalam Kekuasaan Jawa

Namun, situasi memaksanya untuk pergi tempat lain untuk mencari keuntungan. Hingga larut malam Jamin bertemu dengan seorang anak kecil juga, ia meminta seperti ia, tapi bedanya ia berbohong kepada pemberi, bahwa keluarganya sakit parah dengan suara minta kasihan. Seperti itulah pekerjaan teman barunya itu. tapi ia tak mau melakukan hal itu, ia tak boleh berbohong. Ia diberi roti oleh temannya itu, ia hanya minum air dari sumur tadi pagi untuk mengganjal perutnya, akhirnya ia bisa makan juga walaupun dengan makan roti sedikit.

Perjalanan pun ia lanjutkan, ia tak bisa menahan lagi setelah seharian, dan kini waktu telah menunjukkan jika memang waktunya tidur, tubuhnya tak bisa lagi jaga, akhirnya ia tidur di depan toko seorang yang bertuliskan toko obat. Keesokan harinya pemilik yang bernama Kong Sui dan Nyonya Fi, mereka memberi pakaian yang layak untuk Jamin dan memberi makan, serta ia disuruh untuk membawa roti itu untuk adiknya di rumah, Jamin sudah menceritkan semua tentang keluarganya.

Sekembali di rumah Jamin memberikan hasil uang kepada ibunya. Sementara uang yang diberikan Nyonya Fi untuk dirinya sendiri ia simpan. Dan, ternyata ia menemukan sebuah cincin di celananya, itu cincin Nyonya Fi, ia harus mengembalikannya. Jamin berusaha keras agar celananya tidak digeledah oleh ibu tirinya, demi untuk mengembalikan cincin Nyonya Fi.

Perjalanan Menuju Nyonya Fi

Johan bercerita kepada abangnya, Jamin bahwa ayahnya semalam pulang namun tidak seperti biasanya, Bertes sang ayah sangat sayang dengan Johan. Dan ternyata Bertes dipenjara atas dasar ikut membunuh orang pada malam hari di Pasar Senen.
Keesokan hari, Jamin dan Johan akan mengembalikan cincin itu yang sudah diambil Johan dari ibunya di dalam kotak di atas lemari. Mereka akan pergi ke toko Kong Sui untuk mengembalikan cincin itu.

Baca Juga :  Adaptasi Kebiasaan Baru dari Seniman Panggung ke Seniman Multi Media di Era Digital

Tak disangka, dalam perjalanan menuju rumah Nyonya Fi, Jamin mengalami kecelakaan akibat tertabrak trem. Johan menangis, dan warga menolong dengan membawa Jamin ke rumah sakit.

Misi mengembalikan cincin Nyonya Fi tetap terlaksana karena sebelumnya Jamin telah memberitahu tempat Kong Su. Johan pergi ke toko itu dan memberikan cincin itu.
Johan menceritakan bahwa kakaknya mengalami kecelakaan. Nyonya Fi tersentuh hatinya dan menemani Johan menjenguk Jamin.
Jamin yang malang menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, menyusul ibunya. Jamin disemayamkan di samping kubur ibunya.

Kisah Bahagia dan Kisah Pertobatan
Sepeninggal Jamin, Johan dirawat oleh Nyonya Fi dan Kong Sui yang baik hati itu
Tak lama, Bertes keluar dari penjara dan terbukti jika ia tidak bersalah. Ia pulang dan mendapat berita bahwa anaknya telah meninggal. Ia merasa berdosa karena kedua orang yang meninggal adalah atas kesalahannya. Perubahan sikap dan hidup terjadi pada diri Bertes.

Johan pulang ke kampung halamannya diantara oleh Nyonya Fi dan Kong Sui, Bertes sangat bahagia melihat anaknya itu. Johan menerima sekolah, teman-temannya pun suka dengannya. Bapak Ibu guru pun seperti itu karena perilaku Johan yang baik. Bertes pun juga telah mendapat pekerjaan atas bantuan dari Kong Sui juga, biaya sekolah Johan pun Kong Sui ikut andil alih.

Penutup

Membaca kembali karya Merari Siregar ini, serasa diajak untuk merefleksikan kehidupan yang dinamis. Kondisi kehidupan keluarga yang negative, tidak serta merta menjadikan kebaikan larut atau hilang, dan mutiara si Jamin dan Johan bersinar memancar terang dari keluarga Bertes.

Kilau mutiara Jamin dan Johan adalah hasil asahan Mina, sang ibu. Seratus tahun novel ini masih tetap juga relevan. Kita bersyukur memiliki Merari Siregar yang telah memulai dengan novel yang sangat reflektif ini.

Penulis : Fakhriyah/mediakita.co

Artikel Lainnya