OPINI, mediakita.co- Belakangan ini muncul kembali perdebatan tentang sistem pemilu 2024, yakni proporsional terbuka atau tertutup. Kontroversi itu menguat ketika pakar hukum tata negara Denny Indrayana, menyatakan bahwa ia telah mendapatkan informasi penting, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan Pemilu legislatif diubah menjadi sistem proporsional tertutup dilansir laman Kompas, tanggal 30 Mei 2023.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Para pemohon , yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono mengajukan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan mereka sudah teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 pada 16 November 2022.
Kuasa hukum pemohon Sururudin mengungkapkan bahwa Demas Brian Wicaksono adalah seorang pengurus partai PDI Perjuangan di Kabupaten Banyuwangi. Yuwono Pintadi, kata Sururudin, adalah anggota Partai Nasional Demokrat, Partai Nasdem. Sedangkan Fahrurrozi, adalah warga negara yang bermaksud mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Sementara Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono adalah warga negara yang mengaku memiliki kepentingan untuk hadirnya wakil rakyat yang benar-benar mementingkan kepentingan rakyat saat terpilih meminta MK mengganti sistem proporsional terbuka yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan telah menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang. (tempo.co,13 Januari 2023)
Alasan penggugat yaitu sistemnya dievaluasi. Alasannya karena praktiknya sangat liberalis dan bar-bar menghamburkan uang. Sebetulnya siapapun peserta pemilu, suka tidak suka pasti terjebak dalam politik transaksional berbiaya mahal ini. Bahkan setelah menjabat akan terjebak dalam kendali oligarki yang menyandera kebijakan pemerintah itu sendiri. Alasan lainnya, peran partai politik lemah. Sejak dari regulasinya, kaderisasi, rekruitmen, batasan jabatan ketua umum, pengelolaan dana, dan pelaporannya. Padahal partai politik memiliki peran signifikan dalam membangun demokrasi bangsa.
Di Gedung Parlemen Senayan ada delapan parpol menolak sistem proporsional tertutup. Mereka adalah Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Partai Demokrat, PKS, PAN, dan PPP.Hanya PDIP yang meminta MK mengabulkan gugatan terkait sistem proporsional terbuka yang dinilai tidak efektif. Pemilu dengan sistem proporsional tertutup disebut menjadikan ketertataan politik serta memaksimalkan partai politik dalam bernegara.
Perjalanan Sistem Pemilu
Menengok sejarah, sebanyak delapan kali pemilu di indonesia sejak 1955 hingga 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup. Dan perlu dicatat, Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 adalah dua contoh pemilu terbaik yang lahir dari sistem proporsional tertutup itu. Selanjutnya Pemilu 2004 melalui UU 12/2003 hingga UU 7/2017 ini, dengan sistem proporsional terbukanya, justru asas jujur dan adil masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Putusan MK Nomor 22-24/PUUVI/2008 menyatakan bahwa penentuan calon dengan nomor urut inkonstitusional. Sistem proporsional tertutup batal karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Selain itu, sistem pemilu dengan metode memilih partai ini bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945.
Sementara sistem proporsional terbuka memiliki kekurangan. Figur lebih menonjol tapi juga lebih dekat dengan pemilih. Gagasan partai politik menjadi tidak prioritas. Politik uang tentu terbuka lebar. Jadi, kedua sistem tersebut sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya telah dipraktikkan di indonesia. Karenanya, bila ingin menggantinya lagi, sebaiknya dilakukan kajian mendalam dan belajar pada pemilu sebelumnya. Dalam sistem proporsional terbuka memiliki biaya politik tinggi yang diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemilu juga berimbas pada semakin meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Setelah mampu memperoleh posisi dalam lembaga perwakilan rakyat, maka akan timbul niat menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang sebanyak-banyaknya.
Kekuasaan tersebut akhirnya digunakan sebagai bisnis tambahan yang mengakibatkan turunnya kualitas dan kewibawaan lembaga perwakilan ranyat. Anggota legislatif tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, namun hanya mewakili kepentingan kelompok, golongan, bahkan kepentingan pribadinya semata. Dengan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh partai dan caleg, serta anggaran negara yang dikeluarkan untuk pemilu dengan menggunakan system proporsional terbuka, maka peluang untuk adanya sistem pemilu yang baru pada 2024 bisa saja ada, yakni proporsional tertutup yang menawarkan murahnya biaya politik, terminimalisirnya money politic, dan internal partai yang utusannya ideologis.
Sebetulnya fakta pemilu proporsional tertutup memiliki kelebihan. Sistem ini menguatkan partai politik dari pada figurnya. Kandidat tidak perlu capek-capek bersaing sesama kandidat serta menyiapkan dana kampanye sendiri, apalagi untuk politik uang. Bagi pemilih cukup coblos partainya. Selanjutnya, partai politik mendistribusikannya ke kandidat. Namun mekanisme ini justru dinilai mendegradasi kedaulatan rakyat.
Meskipun sistem proporsional tertutup bisa menjadi solusi untuk kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini untuk pemilu, akan tetapi oligarki bisa bermain lewat sistem ini, dan partai akan lebih mendominasi serta kedaulatan rakyat bisa terancam. Meski memiliki kelemahan, masih ada upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan upaya ini bisa dimaksimalkan dalam perbaikan sistem proporsional tertutup, yakni sistem proporsional tertutup bisa dibarengi dengan primary election atau konvensi di internal partai untuk menyaring caleg yang kredibel sembari mengurangi oligarki dan praktik suap di tingkat elit.
Adam Schmidt dalam “Indonesia’s 2009 Election; Performance and Negative Precedent,” menjelaskan ada 10 kriteria menilai keberlangsungan pemilu dalam. Pada Pemilu 2009, hanya ada empat kriteria yang terpenuhi. Yaitu: kebebasan berekspresi partai politik, peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu, pelaksanaan pemungutan suara dengan damai, dan proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Berkaca pada pemilu selama ini, enam poin lainnya yaitu pemilih yang terdidik, masyarakat sipil terlibat dalam semua aspek proses pemilu, proses penghitungan suara yang transparan, hasil pemilu yang dapat diaudit, DPT yang akurat. Terakhir, KPU yang permanen dengan badan ad hoc yang memiliki kompetensi. Semua itu sebenarnya sudah terpenuhi semua. Tapi, penguatan kualitas perlu dilakukan lagi.
Mungkinkah sebabnya karena sistem pemilunya yang rumit? Menurut evaluasi Centre for Electoral Reform (Cetro) waktu itu. Ada lima penyebab utamanya berkaitan dengan surat suara memuat terlalu banyak caleg. Penghitungan suara yang lambat dan sulit, masalah dalam penentuan perolehan kursi dan dalam penetapan calon terpilih, termasuk sengketa hasil pemilu di MK mencapai 700 kasus. Jawaban tersebut tentu tidak relevan lagi untuk sekarang.
Menilai Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, relatif berjalan lancar sesuai peraturan perundangan, tidak serumit dulu, meski dalam situasi tidak normal. Namun yang menjadi catatan penting, seperti politik uang, kurang berfungsinya partai politik, partisipasi belum maksimal, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, ASN/TNI/Polri dan independensi penyelenggara. Salah satunya disebabkan oleh regulasi yang lemah, maka perlu penguatan dengan melakukan unifikasi undang-undang politik dan kepemiluan. Di antaranya undang-undang dan pilkada, undang-undang partai politik, undang-undang pemda, undang-undang keuangan pusat dan daerah, undang-undang MD3, dan undang-undang desa.
International for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengelompokkan sistem pemilu menjadi empat yaitu sistem mayoritas/pluralitas (plurality/majority), sistem proporsional (proportional representation), sistem campuran (Mixed) dan sistem lain-lain (Others).
Sikap pemerintah
Presiden RI Joko Widodo menegaskan dirinya tidak punya urusan soal sistem Pemilu 2024, apakah menggunakan proporsional terbuka atau proporsional tertutup.
Jokowi mengingatkan bahwa pilihan tersebut berada di wilayah para partai politik peserta pemilu.
Mantan Wali Kota Solo tersebut juga menepis rumor yang menyebut bahwa dirinya memberikan arahan untuk mendukung sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Menurut Kepala Negara, kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
“(Sistem) terbuka itu ada kelebihan, ada kelemahannya. Tertutup (juga) ada kelebihan, ada kelemahannya. Silakan pilih. Itu urusan partai,” kata Presiden usai menghadiri peringatan Hari Lahir Ke-50 PPP di Tangerang. Di sisi lain, Jokowi menegaskan bahwa dirinya bukan ketua partai sehingga tidak punya kepentingan untuk memberi arahan sistem proporsional terbuka atau tertutup yang harus diterapkan pada Pemilu 2024.
Menunggu Putusan MK
Anggota KPU RI Mochammad Afifuddin mengatakan pihaknya tidak berpihak pada sistem tertentu, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup dalam Pemilu 2024.
“Jadi, enggak ada kecondongan ke kanan kiri lah,” ujar Afif, sapaan Mochammad Afifuddin. Ia menegaskan bahwa KPU akan tetap menjaga prinsip independensi dan netralitas, menjalankan penyelenggaraan pemilu dengan menggunakan sistem yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi, sebagaimana nantinya putusan dari uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan sistem proporsional terbuka yang sedang berlangsung saat ini. Apabila uji materi itu dikabulkan oleh MK, sistem Pemilu 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menekankan MK tidak mengatur sistem pemilu terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK hanya membatalkan atau meluruskan UU.
“Urusan proporsional terbuka atau tertutup itu urusan legislatif, bukan urusan MK karena MK tidak boleh mengatur, tapi boleh membatalkan atau meluruskan. Proporsional terbuka atau tertutup itu legislatif,” katanya.
Mahfud menceritakan saat dirinya masih menjabat Ketua MK, dia tidak menetapkan sistem pemilu terbuka, namun hanya mencoret persyaratan sistem terbuka, sementara penetapannya tetap di legislatif. PDI Perjuangan selaku satu-satunya partai politik yang tetap teguh mendukung sistem proporsional tertutup akan mematuhi putusan MK terkait uji materi sistem pemilu, baik proporsional tertutup atau terbuka.
“Adanya judicial review yang mengusulkan proporsional terutup, ya silahkan saja bagaimana MK memutuskan. Toh kemarin-kemarin juga proporsional terbuka, PDI Perjuangan juga mengikuti hal tersebut. Jadi, kami ikuti apa yang menjadi keputusan MK,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani. Terkait dengan sikap delapan partai politik yang menolak sistem proporsional tertutup, Puan menegaskan bahwa hal itu juga bukan berarti PDI Perjuangan tidak sepakat dengan sistem coblos nama caleg. PDI Perjuangan, kata Puan, akan taat pada konstitusi dan mengikuti putusan MK.
Pemilu Indonesia tahun 2024 harus dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi yang matang dari pemilu beberapa periode ke belakang, Mulai dari perintah konstitusi, demokrasi, kecurangan, biaya politik, anggaran pemilu dan hak asasi manusia. Dengan sistem yang ada sekarang ditakutkan hanya akan membuat demokrasi dan kedaulatan rakyat serta kecerdasan politik masyarakat akan semakin memburuk. Proporsional terbuka harus diperbaiki, termasuk salah satunya mempertimbangkan pembahasan sistem tertutup dengan konvensi internal partai yang ketat. Catatan preseden buruk dari pemilu 2019 yang dilakukan pemilu serentak,melihat apa yang terjadi pada tahun 2019 berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga 16 Mei 2019, KPPS yang sakit mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa,hal tersebut harus dihindari karena keselamatan orang atas nyawa manusia adalah yang utama dan mutlak.
Mahkamah Konstitusi harus jeli melihat dampak dari sistem operasional terbuka tanpa mengesampingkan konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi.Dalam teknis pelaksanaan, regulasi yang mengaturnya harus memperhatikan kemungkinan money politic yang jika dibiarkan akan menjadi prevalensi di tengah masyarakat Indonesia, serta efesien waktu dan hak dari penyelenggara.
Oleh: Agung Budi Nugroho