Ahlussunnah Wal’jamaah dan Nasionalisme

NU dan Nasionalisme
NU dan Nasionalisme

Bagian I

mediakita.co – Mungkin ada dari pembaca yang bertanya – tanya : mungkinkah tradisi Ahlussunnah Wal jamaah atau aswaja menjadi bagian dari pemaknaan atas kontruksi Nasionalisme? Aswaja adalah produk Ulama masa lalu dari era salafuna ash – sholih. Sedangkan Nasionalisme adalah produk masa kini, tepatnya diperkenalkan sejak umat Islam bertemu dengan pandangan – pandangan barat tentang bangsa, kebangsaan dan Nasionalisme.

Nahdlatul Ulama (NU) yang mengusung nilai – nilai aswaja, dikenal sebagai ormas Islam yang berwatak kebangsaan. Pandangan umum mengetahui mindset ini karena seringnya mendengar dalil yang disodorkan oleh para kyai Nahdlatul Ulama (NU) “hubbul wathan minal iman” . Cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Dalam visi keaswajaan mungkinkah ?. Tentu saja hal itu sangat mungkin dalam pandangan NU.

Yang menarik NU lahir tahun 1926 dan dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 28 oktober 1928 muncul sumpah pemuda yang menegaskan satu nusa , satu bangsa dan satu bahasa. Dan kesatuan nusa , bangsa dan bahasa inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk selalu mempertahakannya sepanjang masa.

Kontribusi NU terhadap Nasionalisme Indonesia yang monumental adalah keputusan Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin. Pada dekade – dekade berikutnya menjadi pandangan sikap NU tentang ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, Terhadap pertanyaan tentang status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh penguasa non muslim Belanda. Haruskah ia dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Jawaban yang diputuskan adalah bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum fikih. Jawaban ini mendasarkan pada kitab kuning Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan  Al Hadlrami.

Bacaan Lainnya

Alasan yang dikemukakan adalah negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan – kerajaan Islam . Penduduknya sebagian besar masih mengaanut ajaran Islam . Dan Islam sendiri tidak sedang dalam kondisi diganggu atau dirusak.

Oleh karena itu kehadiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa. Dan NU yang dinamis menjadi instrumen penting bagi proses perwujudan negeri yang berperadaban . Dan karena itu dinamika internal dalam tubuh NU tidak bisa kita soroti hanya sebatas dari perspektif doktrin ke – NU – an , soal tarik menarik perbedaan tafsir khittah NU , atau perbedaan kelompok – kelompok politik saja . Tetapi juga harus dilihat dalam totalitasnya sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jiwa Nasionalisme NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi pluralitas budaya dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya.Dalam semangat Nasionalisme semacam ini , lokalitas mendapatkan tempat yang terhormat, yang dalam Nasionalisme Eropa cenderung digeser atau bahkan disisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernisasi.

Nasionalisme yang bersifat kultural tersebut perlu ditegaskan karena kelahiran NU sejak awal berdirinya tidak pernah menyingkirkan nilai – nilai lokal. Sebaaliknya berakulturasi dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Proses akulturasi ini melahirkan Islam yang ramah terhadap nilai -nilai budaya setempat serta menghormati dan menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan serta warisan budaya nusantara. Perspektif Nasionalisme semacam ini sekaligus merupakan paham ke – Islam–an NU.

 

Artikel Dari : Ketua PCNU Kabupaten Pemalang, Ahmad Dasuki

Redaksi         : mediakita.co

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.