Begini Kisah Jalan Perjuangan Dakwah Islamiyah Alhabib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi Pemalang

Begini Kisah Jalan Perjuangan Dakwah Islamiyah Alhabib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi Pemalang
Begini Kisah Jalan Perjuangan Dakwah Islamiyah Alhabib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi Pemalang

Diantara pohon kamboja, susana Haul Al-Habib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi yang ke 111, di Makam Pagaran Pemalang serasa lebih dihati. Meskipun ratusan orang yang hadir nampak membuat jarak di antara rimbun kamboja, sinar matahari berselinap seperti turut mencari tempat untuk menyaringkan do’a-doa yang suaranya memecah bising knalpot kendaraan yang lewat di jalan Pantura.

PEMALANG, mediakita.co-Tak seperti biasanya, acara malam haul pembacaan manaqib di Jalan Dahlia Pekunden, Pemalang, ditiadakan. Tahun ini, ditengah pageblug Covid-19, haul hanya dilaksanakan terbatas dengan ziarah di Makam Pagaran.

Meski begitu, pandemi corona tak mampu mengalahkan rasa rindu, ratusan ulama, kyai dan habaib nampak hadir dalam ziarah itu. Sedianya, haul ini diadakan tiap tanggal 15 Syawwal. Berikut, dirangkum dari berbagai sumber, secara khusus mediakita.co menyajikan sekilas sejarah perjuangan Al-Habib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi semasa hidupnya.

Almaghfurlah Al-Habib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi lahir di Kota Bugis, Sulawesi Selatan tahun 1837 Masehi. Pada usianya yang ke 10 tahun, oleh Ayah dan Bundanya diajak ke Khadramaut, Arabia Selatan. Tujuannya, untuk menuntut ilmu dan belajar membaca kitab suci Al-Qur’anul Karim.

Bacaan Lainnya

Di Khadramaut, diasuh oleh guru besar Al-Habib Akhmad bin Muhammad Al-Mudhor selama 5 tahun. Berkah atas bimbingannya, Al-Habib Sholeh sudah dapat memahami dan mengerti ilmu-ilmu agama serta hafal Al-Qur’an (Khafidzul Qur’an), dalam usia 15 tahun.

Memasuki usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1857 Masehi, Habib Sholeh berangkat ke tanah suci Makkah Al-Mukarromah. Selain untuk melanjutkan belajar ilmu agama kepada guru-gurunya, disitu Habib Sholeh menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji.

Di tanah suci itulah, Habib Sholeh mulai menyingsingkan lengan bajunya untuk menuntut ilmu pengetahuan agama dari ilmu Nahwu, ilmu Mantiq, ilmu Bayan, Urudh, Tafsir, Khadis, Tauhid, Tasawuf hingga ilmu Falsafah. Bahkan Habib Sholeh mampu menghafal setengah dari kitab Ikhya’ Ulumuddin karangan Imam Ghozali dan kitab Dasuki.

Selama 12 tahun di Mekkah, Al-Habib Sholeh berguru kepada As-Sayyid Akhmad Zaini Dahlan dan Mufti Mekkah. Setalah itu, kemudian melanjutkan menuntut ilmunya ke Yaman dan Zabid selama 7 sampai 8 tahun. Di kedua kota itu Almarhum diasuh dan dibimbing oleh beberapa guru-gurunya para Habib, di antaranya daru suku Al-Ahdali.

Dari Yaman Habib Sholeh bin Idrus Al-Habsyi (Almarhum) kembali ke Mekkah. Dalam rombongan itu, ada almarhum Habib Akhmad bin Abdullah bin Tholib Alatas yang dikebumikan di kota Pekalongan dan almarhum K.H Kholil Madura serta almarhum K.H. Sholeh Darat Semarang.

Di tanah suci ini, Almarhum Habib Sholeh diberi kehormatan oleh Gurunya untuk melebarkan sayap berdakwahnya ke Madinah, Thoif dan daerah sekitarnya. Hal ini meneguhkan pernyataan almarhum Alhabib Alwi bin Muhammad Al-Hadad, dalam sebuah kibatnya yang menyebutkan bahwa sesungguhnya Al-habib Sholeh bin Segaf Al-Habsyi adalah serang Ulama besar.

Diriwayatkan, setibanya di tanah air, almarhum pernah tinggal di beberapa kota. Antara lain di Semarang, Pekalongan, Pemalang, Purwokerto atau Banyumas, Sukaraja, Kebumen, Banjarnegara dan Magelang. Semua itu dilakukan demi untuk syi’ar agama Islam, sebelum akhirnya menetap di Pemalang.

Sebagai seorang suami dan kepala keluarga, semasa hidupnya Habib Sholeh bin Idrus Al-Habsyi dikenal sebagai pedagang kuda. Dari hasil usahanya inilah, almarhum mampu melakukan dakwah Islamiyah dengan gemilang kala itu. Tak hanya majlis taklim, pengajaran lainnya juga ditempuh sembari ber-Amar ma’ruf nahi munkar dengan gemlengannya kepada santri-santrinya bahkan masyarakat.

Karena itu, maka pengaruh almarhum dan semakin luas. Bahkan sayap dakwahnya pun melebar kepada penjajah Belanda yang saat itu menguasai tanah air. Namun, tidak lama kemudian almarhum ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama kurang lebih satu tahun.

Satu tahun mengenyam jeruji penjara, almarhum tidak lantas surut nyalinya. Almarhum terus kembali berdakwah selepas bebas dari hukuman penjara. Bahkan semakin semangat dakwahnya kian membara.  Dakwahnya makin menggurita hingga ke daerah-daerah pelosok wilayah Kabupaten Pemalang dan sekitarnya.

Sebagai tokoh sentral, oleh para alim ulama almarhum kemudian diangkat sebagai imam masjid Jami’ Pemalang.  Beberapa santrinya kala itu adalah K.H. Nasir, K.H. Asy’ari, Kyai Abdul Hamid dan K.H. Arghubi Rokhimahumullah Ajmain.

Di usianya yang ke 73 tahun, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 1 Syawal 1329 H, bertepatan dengan tahun 1910 M, almarhum wafat dan kembali ke Rakhmatullah. Dalam acara sholat jenazah ketika itu, ribuan umat manusia berduyun-duyun datang membanjiri masjid Jami’ untuk mengikuti sholat jenazah. Bertindak sebagai imam sholat jenazah adalah Alhabib Akhmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Almarhum dikebumikan di makam Pagaran Pelutan Pemalang.

Sepeningal almarhum, pelebaran sayap dakwah Islamiyah selanjutnya diteruskan oleh anak dan cucunya sebagai penegak agama Nusa dan Bangsa. Hal ini pula yang menyebabkan kaum penjajah Belanda terus mengawasi gerak-gerik keluarganya karena curiga dengan anak dan cucunya dalam memberikan dakwah Islamiyah.

Akibatnya, rezim Belanda kembali menangkap anak cucu almarhum. Tak lama berselang, anak cucu almarhum, Alhabib Idrus bin Sholeh Al-Habsyi (50 tahun) bahkan ditembak mati. Rokhimahumullah !

Peristiwa yang sadis dan sejarah kelam itu terjadi pada tahun 1947 Mesehi di lokasi Kebon Kelapa Randudongkal Pemalang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.