Oleh : Bambang Mugiarto
Saat Damar Wulan akhirnya harus mengakui kadigjayaan Minak Jinggo dalam pertarungan berdarah tempo hari, tak berarti semua impiannya telah kandas. Luka di tubuhnya memang tak begitu parah. Tapi sudah tiga hari, Damar Wulan belum bisa bangun.
Di atas lincak bambu, sekujur tubuhnya nampak masih dibalut dengan tumbukan daun ramuan yang sudah mengering. Bentuknya sudah keliatan retak-retak, dan warnanya juga sudah menghitam. Ia seperti kuda paling tangguh dengan leher terlingkar kekang. Tidak berdaya namun sulit ditaklukan.
Sekitar 20 depa tangan dari sana, persis di samping pohon karet yang akarnya selebar perut kerbau, di atas batu, Ki Tunggul Manik duduk bersila. Mematung dengan kedua bola mata terpejam. Telapak tangannya menggenggam. Sikut tangannya tak sedikitpun menekuk, lurus memanjang hingga melewati tekukan sendi lututnya. Dari jauh, pendar-pendar sinar merayap di tubuhnya. Gelap malam yang merauti bumi pucuk Gunung Mendelem, gagal memadamkan kilau cahaya di tubuh Ki Tunggul Manik.
Damar Wulan terbatuk lirih. Tapi Ki Tunggul Manik mendengarnya dengan jelas. Suara batuknya menembus telinga. Tidak ada suara yang lolos dari telinga sakti Tunggul Manik. Batuk itu lebih keras dari suara dengung nyamuk, detak jantungnya sendiri, dan suara-suara isi hutan malam yang sebelumnya mengiringi seluruh waktu meditasinya. Di kejauhan, suara ayam berkokok. Pertanda fajar telah bersiap merias langit.
Lelaki tua itu bangkit dari meditasi. Bergegas menuju sumber suara. Sejak kecil, Damar Wulan memang telah dilatih berbagai ilmu miliknya. Ia tidak sekadar murid, lebih dari itu, ia bahkan telah dianggap sebagai anak sendiri. Pelan-pelan Damar Wulan membuka mata, persis sesaat ketika Ki Tunggul Manik menyambar salah satu gelas bambu yang terjatuh di tanah.
“Syukurlah, kamu sudah sadar nak,” katanya dengan suara seperti bergetar ditahan dalam tenggorokan. Dalam dan berwibawa.
“Ya,” jawabnya nyaris tak terdengar. Damar Wulan menarik tubuhnya. Ingin bangkit mencium tangan sang guru. Ki Tunggul memberi isyarat berhenti.
“Kamu harus minum ini, agar tenagamu segera pulih,” kata sang guru sambil mengambil air berisi ramuan yang sudah disiapkan sejak dua hari lalu. Jemari tangannya tampak sudah sedikit gemetar saat memegang batok kelapa. Damar Wulan mencoba mengangkat badan lagi.
“Jangan, jangan bangun dulu, cukup angkat sedikit kepalamu saja, tunggu sampai besok setelah baluran ramuan ini dibersihkan,” pinta sang guru. Dengan satu tangan, ia miringkan batok kelapa mengarah ke mulut sang murid. Tangan satunya dipakai mengangkat kepala sang murid.
Damar Wulan tidak menolak. Ia hanya manut dan sedikit mengangkat kepalanya sambil memandangi ayah dan gurunya itu dengan mata sedikit melotot ke sebelah. Kulit wajahnya begitu pucat, namun tubuhnya nampak begitu kekar. Dadanya lebar dan lengan tangannya besar.
Berhari-hari berikutnya, ketika petir dan hujan pergi meninggalkan musimnya, Damar Wulan telah pulih seperti sedia kala.
Setelah mandi, Damar Wulan tidak langsung kembali ke persinggahan gurunya, di Gunung Mendelem. Ia memilih duduk di atas sebongkah batu, persis di depan jalan setapak yang tadi ia lalui saat berangkat menuju ke Tuk Batur.
“Ini sudah yang kelima, artinya sudah selesai,” gumamnya dalam hati. Wajahnya menengadah ke langit, ia menafsir cahaya bulan. Mencoba mencari tahu, sudah berapa lama ia menghabiskan malam.
Sejak matahari terbenam, ia sudah beberapa kali mandi. Yang pertama di Tuk Setu. Setelah itu, ia langsung bergegas ke Tuk Bengkawah, Tuk Silating, dan Tuk Telaga, untuk menyelesaikan perintah gurunya, Ki Tunggul Manik. Di malam Selasa Kliwon ini, ia harus mandi di tuk lima yang sumber mata airnya berasal dari Gunung Mendelem.
Selama perjalanan dari tuk satu ke tuk lainnya, ia sering harus berlari-lari kecil demi mengejar waktu yang harus selesai satu malam. Sebetulnya badanya masih sedikit lemas. Tiga hari lalu ia baru saja menyelesaikan puasa ngebleng. Tapi demi tekadnya memenangi sayembara Ratu Kencana Wungu, untuk mengalahkan Minak Jinggo, ia teguhkan hati melakukan semuanya sekuat tenaga. Seperti disebutkan di awal, ia memang seekor kuda tangguh.
Beberapa menit, Damar Wulan terus menatapi rembulan. Berhias cahaya bulan, langit jadi begitu indah. Melihatnya, pikirannya dikekang paras Anjasmara, kekasihnya. Seorang putri cantik, anak Patih Loh Gender. Tempat dirinya mengabdi. Ia dicabik-cabik rindu. Dipikir-pikir, asmaranya dengan Anjasmara mirip dengan cahaya bulan. Begitu jauh. Sampai hampir tidak tergapai. Damar tahu, ia hanya tukang rumput, hanya seorang pesuruh keluarga sang patih.
(Lanjut ke halaman : 2)