Damar Wulan, Sebuah Kisah yang Tersimpan di Gunung Mendelem

Sejarah Gunung Mendelem
Damar Wulan, Sebuah Kisah yang Tersimpan di Gunung Mendelem

Ada kesan dongkol di wajah Ki Tunggul Ma nik. Dia menilai, sikap Ratu Kencana Wungu mengingkari janjinya merupakan sikap tidak terpuji. Apapun alasannya. Bahwa fisik Minak Jinggo tak tampan lagi, itu risiko dari sebuah sayembara. Apalagi, cacat fisiknya Minak Jinggo karena mengikuti sayembara itu. Sebuah pengorbanan sangat mahal yang sia-sia. Wajar, jika Minak Jinggo harus melawan. Karena hal itu sebagai hak yang harus diperjuangkan.

“Jadi, maksud Romo guru?”

“Sabdo Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali!” jawabnya memberi wejangan, dengan jari tangan menunjuk tegak. Raut mukanya makin serius.

Damar Wulan takzim mengikuti setiap kata yang meluncur dari mulut Ki Tunggul Manik. Ia tahu, gurunya tak setiap waktu memberi Wejangan (arahan). Hanya sesekali saja. Itupun jika ada hal-hal yang dianggap penting dan perlu. Sebagai seorang bergelar Resi, ia memiliki cara pandang dan perilaku yang selalu memiliki pesan keteladanan.

Ki Tunggul Manik adalah saksi hidup sayembara itu. Ia mengisahkan, ketika suara gong bergema saat Ratu Kencana Wungu menggelar sayembara. Dengan lantang kemudian diumumkan, barang siapa bisa membunuh Kebo Mercuet, sang pemberontak yang bernafsu menggulingkan Sang Ratu dari tahtanya, maka ia akan dijadikan suami dan Raja Majapahit.

Bacaan Lainnya

Jangankan menjadi raja. Untuk sekadar menjadi suaminya pun, Ki Tunggul Manik meyakini akan banyak ksatria yang mengikuti. Kecantikan Kencana Wungu saja hampir pasti bisa menjadi magnet bagi setiap kaum Adam. Siapapun itu, sudah barang tentu akan menagih janjinya. Siapapun itu, akan diperjuangkannya. Tak terkecuali bagi Minak Jinggo.

“Nyadong dawuh romo guru.”

“Ini sudah menjadi takdirmu anakku.”

“Dan tentang itu, Ratu Kencana Wungu telah mengetahuinya.” Damar Wulan mengerutkan alisnya. Pernyataan Ki Tunggul Manik kian menyisakan pertanyaan. Tetapi ia segan untuk menanyakan. Ia memilih terus menunggu. Berharap Ki Tunggul Manik akan menjelaskannya.

“Inggih romo.”

“Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, para selir  Minak Jinggo itu, adalah takdir jalan kematian Minak Jinggo. Dan itu jalan yang harus kau tempuh. Jalan yang akan mengantarkanmu melawan Minak Jinggo.”

“Maaf romo guru, apakah itu artinya Wahita dan Puyengan yang akan membunuh Minak Jinggo?”

“Saya tidak tahu pasti.“

“Tapi dalam wisik yang saya terima, kamu harus menemuinya. Dengan cara itulah, kamu bisa mengalahkan Minak Jinggo.”

“Lalu bagaimana dengan pesan nilai dari perjuangan Minak Jinggo bapak guru? Bukankah dia sedang memperjuangkan haknya?“

“Kamu benar. Bahkan Minak Jinggo sedang memperjuangkan martabatnya. Memperjuangkan harga dirinya yang terkoyak. Tapi biarkan hal itu menjadi tanggung jawab Ratu Kencana Wungu dan Minak Jinggo.”

“Maksud romo guru?” Kali ini, mulut Damar Wulan seperti tak terbendung.

“Tugasmu satu. Membela raja! Dan itu menjadi kewajibanmu sebagai rakyat dan ksatria Majapahit.

Karena itu juga sebuah nilai. Sebuah keluhuran yang harus dijunjung tinggi.”

“Eeee…”

“Ini takdirmu anakku!“

“Sudah ginaris. Kaulah ksatria satu-satunya yang terpilih untuk Menaklukan Minak Jinggo,” tegasnya.

Damar Wulan tertunduk. Di hatinya bergelayut rasa yang tak terjangkau oleh nalarnya. Ada rasa bangga. Tapi juga bimbang. Karena wejangan yang disampaikan gurunya masih menyisakan pertanyaan yang tak terjawab. Menyisakan rahasia yang membuat jiwanya seperti berlayar dalam samudra misteri. Samudra yang jauh dari pandangan mata. Tapi gelombang lautnya begitu terasa.

Dalam palung-palung hatinya, bertengger beragam rasa yang menjelajahi samudra rahasia. Ia Bahkan seperti sedang melingkar-lingkar dalam pusaran air laut yang tengah dijelajahi. Laut rahasia. Laut nilai dan rasa yang menggurita selaksa impian bulan purnama. Bulan yang sinarnya seperti hendak membakar jiwa.

Ada semangat baru. Ada risau. Ada kebanggaan yang tak terjamah dengan kekuatan pikirnya. Wejangan bapak gurunya telah memapahnya dalam banyak ruang gelap yang harus diurai menurut takdirnya. Ruang yang harus dititi dalam garis-garis tangannya. Dan semua itu, membuat ia larut dalam perbincangan yang hanya didengar oleh isi ruang batinnya sendiri.

(Lanjut ke halaman : 4)

Pos terkait