ajibpol
CERITA RAKYAT

Damar Wulan, Sebuah Kisah yang Tersimpan di Gunung Mendelem

Selapis kain putih ia tarik dari lipatan sabuk kainnya. Hanya itu satu-satunya benda yang menghubungan dirinya dengan Anjasmara. Kain itu pemberian Anjasmara sesaat sebelum ia pergi.

“Simpan baik-baik kain ini,” kata Anjasmara ketika itu usai babak belur dihajar Minak Jinggo. Ada kalanya Damar Wulan begitu bersyukur bisa kalah dari duel melawan Minak Jinggo. Kekalahan itu menuntun naluri Anjasmara menyeka darah di pelipisnya.

Sampai detik ini, bekas darah masih membekas di kain itu. Tidak bisa hilang meski dicuci berkali-kali.

“Diajeng… tidak akan lama lagi, aku kembali. Aku juga akan membuktikan kepada ayahandamu, Ndoro Patih, dan juga Ratu Kencana Wungu, bahwa aku bisa mengalahkan Minak Jinggo. Dan itu artinya, aku akan menjadi raja Majapahit,” tuturnya dalam hati, sambil meremas erat kain pemberian gadis yang dicintainya.

Damar Wulan masih belum beranjak dari duduknya. Pikirannya menerawang jauh, sejauh impian-impian yang sedang ia perjuangkan. Selaksa bongkahan batu tempat dia duduk bersila, hatinya makin teguh di jalan ini. Jalan yang tengah ia tempuh dan perjuangkan, dalam lelaku batin dalam bimbingan sang ayah. Sang guru segala ilmu kanuragannya.

Air dari tuk batur terlihat mengalir berloncatan, seperti saling berkejaran, bergerak melinang seperti sedang mencari tempat di antara rongga-ronga bebatuan. Bunyinya memercik begitu nyaring, seperti suara gelak tawa, atau bahkan rintihan tangis rindu dua hati yang tengah terpisahkan.

“Aku bersumpah, aku harus bisa mengalahkan Minak Jinggo. Apapun caranya, demi kau diajeng Anjasmara. Demi Ayahmu, dan demi Ratu Kencana Wungu, dan demi Majapahit,” sumpahnya dalam hati. Namun lantang.

Sebagai seorang abdi kinasih, karena kepandaiannya, ketika pada tahun Majapahit bergolak (Tahun 1429-1447), ia ditugaskan Sang Mahapatih, untuk mengikuti sayembara ini. Atas perintah Patih Loh Gender juga, ia kini mengemban tugas berat dari Ratu Kencana Wungu untuk mencari cara untuk mengalahkan Minak Jinggo sang penguasa Blambangan, yang diketahui akan melakukan pemberontakan kepada Majapahit, setelah pada pertarungannya beberapa waktu lalu, ia kalah telak.

Menjelang fajar, Damar Wulan tiba di puncak Mendelem. Ia melapor kepada sang guru, bahwa tugasnya berhasil diselesaikan. Bahkan lebih cepat dari waktu yang ditentukan.

“Baiklah, kalau begitu besok kita kembali ke Majapahit. Saya sudah dapat wisik (petunjuk lewat mimpi), bagaimana caranya mengalahkan Minak Jinggo,” kata Ki Tunggul Manik.

Inggih guru.”

“Tapi ingat, kamu harus lebih dulu bertemu dengan para selir Minak Jinggo. Karena hanya mereka lah yang bisa menunjukkan itu.”

“Maksud Romo ?” tanya Damar Wulan.

“Saya sendiri tidak tahu persis, tapi menurut wisik yang saya terima begitu. Untuk bisa mengalahkan Minak Jinggo, kamu harus bertemu dengan para selirnya.”

“Hanya dengan cara itu?”

“Iya, hanya itu caranya.”

Damar Wulan terdiam. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa bertemu para selir lawannya. Ia juga tak mengerti mengapa harus bertemu para selir penguasa Blambangan itu. Ia berharap, Ki Tunggul Manik dapat memberinya cara lain. Cara yang lebih mudah. Cara yang tidak berbelit-belit. Bahkan ia berharap, dapat diberikan ilmu kanuragan baru. Ilmu kanuragan pamungkas. Ia percaya gurunya memilikinya.

“Ampun guru,” selanya tiba-tiba memecah lamunan.

“Apakah tidak ada cara lain?” Pertanyaan itu ia sampaikan dengan harapan ayahnya mau memberikan cara lain.

“Ketahuilah anakku. Ajian Gada Wesi Kuning adalah ajian yang belum ada seorangpun mampu mengalahkannya. Itu artinya, saat ini belum ada seorangpun tahu, ilmu kanuragan apa yang mampu menandinginya. Bahkan Kebo Mercuet, pemberontak yang dikenal sakti mandraguna, tan  tedas tapak paluning pande (sangat sakti, tidak mempan oleh pukulan palu tukang pande besi), kalah oleh Minak Jinggo. Kebo Mercuet tewas remuk di hadapan ajian Gada Wesi Kuning itu,” jelasnya.

“Bukankah kamu juga sudah merasakan?” tambah sang guru.

“Inggih Romo.”

“Dan satu hal yang harus kamu ketahui. Sayembara ini juga memiliki nilai yang sepenuhnya baik. Tekanan Minak Jinggo kepada Majapahit, tidak semestinya terjadi jika Ratu Kencono Wungu tidak ingkar janji.” Kali ini, Ki Tunggul Manik menyampaikan dengan nada suara penuh semangat.

(Lanjut ke halaman : 3)

1 2 3 4 5

Artikel Lainnya