ajibpol
CERITA RAKYAT

Damar Wulan, Sebuah Kisah yang Tersimpan di Gunung Mendelem

“Ampun romo guru. Dulu guru pernah mengingatkan untuk berhati-hati dengan kebaikan Ndoro Patih Loh Gender. Jika diperkenankan, saya mohon, bisakah saat ini guru jelaskan maksudnya?“ tanya Damar Wulan. Gelombang lautan tanya yang bertaut di hatinya memberi kekuatan. Seketika mulutnya melepas kata tanya. Sebelumnya, ia tak berani melakukannya.

Ki Tunggul Manik memang pernah mengingatkan anak asuhnya. Ketika itu, dia meminta Damar Wulan untuk menjaga lengah. Karena kebaikan Patih Loh Gender tidak seperti yang ia lihat. Namun saat itu, Ki Tunggul Manik berjanji akan menjelaskan jika sudah tiba waktunya. Dan sejak lama, ia telah menunggu waktu yang dijanjikan itu. Tapi setiap kali bertemu, ia tidak berani menanyakannya. Ia berpikir, Ki Tunggul Manik akan menyampaikan sebagaima janjinya. Jika sudah tiba waktunya.

“Baiklah. Mungkin saat inilah waktu yang paling tepat. Karena setelah ini, kamu akan melewati kehidupan baru. Kehidupan dengan jalan yang engkau impikan.”

“Nuwun romo guru.”

“Ketahuilah. Sesungguhnya lah, penyebab ayahmu tersingkir dari  kepatihan, tak lain karena fitnah yang dibuat Patih Loh Gender. Dan karena perbuatan Loh Gender juga, ibumu harus kembali ke alam fana,” tuturnya dengan suara tersumbat.

Bak disambar petir di siang bolong. Betapa terkejutnya dia. Ternyata orang yang selama ini sangat dihormati, tak lebih hanya seorang pecundang. Bahkan seorang berhati biadab. Orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya. Orang yang telah membuat ibunya harus meregang nyawa.

“Biadaaaab!“ Serunya sekuat-kuatnya dengan suara tertahan. Jantungnya berdebar begitu keras. Mukanya merah menghitam. Darahnya tiba-tiba seperti mendidih. Akal dalam kepalanya lepas bersama amarah.

“Inilah takdirmu yang lain anakku. Terimalah semua ini sebagai garis tanganmu dengan seluruhnya. Biarkan takdirmu bekerja di jalan yang telah ditentukan. Sebab kamu tidak bisa menolaknya. Semua sudah menjadi kehendak-Nya,” katanya mencoba menenangkan.

“Dan sesungguhnya lah, Patih Loh Gender adalah pamanmu sendiri. Adik ayahmu, Patih Udara,” jelasnya. Lagi-lagi, setiap-kata Ki Tunggul manik seperti merobek-robek jantung hatinya.

Damar Wulan begitu terpukul mendengar fakta-fakta itu. Ia tak menyangka. Tak pernah terbayangkan bahwa ternyata biang dari segala petaka dalam hidupnya berada di depan matanya. Orang yang setiap hari dilayaninya. Orang yang ia hormati. Dan orang yang menjadi ayah dari wanita yang ia cintai.

Tak kuasa meredam amarahnya. Damar Wulan berteriak keras-keras. Tangannya memegang kepalanya sambil menjambaki rambutnya sendiri.

“Bedebaaah. Bangsat kamu Logender!” umpatnya. Ia menangis tak kuasa menahan sakit di hatinya. Sedu sedan tangisnya, seperti didengar langit. Awan bergumpalan menyelimuti pagi. Dalam fajar yang kehilangan sinarnya.

Ki Tunggul Manik seperti sedang membiarkan anak angkatnya meluapkan segala amarah di hatinya. Ia terdiam. Tak ada satu katapun yang terucapkan. Meski Damar Wulan menangis, berteriak dan mengumpat habis-habisan. Mimiknya seperti orang gila. Matanya melotot. Mulutnya mencibir. Tangannya kosongnya menggenggam kuat-kuat.

“Sudahlah, tenangkan hatimu nak. Sopo nandur bakal ngunduh. Serahkan semua ini kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sura Dira Jayadiningrat, Lebur Dening Pangastuti, wejangnya menenangkan anak angkat dan muridnya itu.

“Ketahuilah, bahwa setiap manusia akan mendapatkan imbalan dari apa yang telah diperbuatnya. Kehidupan adalah tentang kita sendiri. Untuk itu, tenangkan hatimu. Kita harus segera bersiap untuk kembali ke Majapahit. Segera temui para selir Minak Jinggo dengan caramu. Karena di situlah takdirmu dimulai,” jelasnya menenangkan.

*****

1 2 3 4 5

Artikel Lainnya