Dedi Mulyadi : Saya Menjalankan Marhaenisme Dalam Pola Aplikatif

dedi-mulyadi-bupati-purwakarta
dedi-mulyadi-bupati-purwakarta

mediakita.co – Dedi Mulyadi menekankan pentingnya implementasi ideologi Marhaenisme dalam setiap kebijakan skala regional maupun nasional.

Menurut Dedi, ‘Marhaenisme’ memiliki akar berupa kultur Indonesia sebagai bangsa sehingga bukan saja milik satu golongan semata.

Hal itu disampaikan oleh Dedi dalam acara Pembukaan Musyawarah Daerah Partai Golkar Kabupaten Indramayu, Rabu (14/9) di Wisma Haji Indramayu kemarin. Dalam kesempatan tersebut pria yang selalu mengenakan pakaian khas Sunda ini mengatakan dimensi aplikatif nilai-nilai Marhaenisme dapat mengantarkan Jawa Barat menuju kesejahteraan.

” Meski Dedi Mulyadi Ketua Golkar Jawa Barat, saya ini seorang Marhaen. Saya menjalankan Marhaenisme itu dalam pola aplikatif, baik sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat maupun sebagai Bupati Purwakarta,” kata Dedi.

Marhaen sendiri merupakan sosok yang ditujukan Presiden RI Soekarno kepada seorang petani di Jawa Barat. Soekarno menyebut Marhaen sebagai sosok petani yang memiliki lahan sawah, alat produksi dan hasil untuk kepentingan sendiri.

Bacaan Lainnya

Ketika disinggung mengapa dia berbicara tentang Marhaenisme padahal istilah tersebut terbilang asing dalam partai yang dia pimpin, Dedi menegaskan bahwa Marhaenisme dapat menjadi spirit Jawa Barat untuk meraih swasembada di bidang pertanian.

” Saya mendalami ide-ide Bung Karno, Marhaenisme itu sudah menjadi bagian kultur masyarakat Jawa Barat, itu cikal bakal serta roh kemandirian Jawa Barat dalam hal pangan. Marhaenisme itu semangat Jawa Barat untuk meraih swasembada beras,” beber Dedi.

Menurut pria yang masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta untuk periode yang kedua itu, kontekstualisasi Marhaenisme kini tercermin dalam laku kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Jawa Barat. Ia mengaku pernah berkeliling daerah adat di Jabar dan menyaksikan upacara adatnya, semuanya memiliki karakter yang sama, memliki lumbung padi sehingga saat musim paceklik mereka tidak pernah kekurangan.

” Anda memproduksi beras sendiri, di lahan sendiri, untuk produksi sendiri dan sisanya disimpan di leuit (lumbung). Saat musim paceklik, beras yang disimpan itu masih aman dan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Itulah konsep Soekarno tentang Marhaenisme yang telah ratusan tahun diterapkan oleh masyarakat adat, Marhaenisme itu yang menghasilkan goah atau leuit atau lumbung,” jelasnya.

Kondisi di kampung adat yang dia kemukakan hari ini berbanding terbalik dengan kondisi petani pada umumnya. Ia sempat mendatangi Kecamatan Compreng Kabupaten Subang dan beberapa daerah lain di Jabar sebagai penghasil beras. Kondisi yang ia temukan, banyak buruh tani yang hanya menggarap lahan sawah milik orang lain dengan alat produksi sendiri namun hasilnya untuk orang lain.

Bahkan, ia juga menemukan banyak pemilik lahan sawah yang menggarap sawahnya, memanen hasilnya namun hasilnya justru langsung dijual ke tengkulak dengan harga rendah. Tidak ada beras yang disimpan sebagai cadangan saat musim paceklik sehingga akhirnya mereka harus kesulitan dan membeli beras mahal saat musim paceklik.

Sumber dan Foto : RMOLJabar / @DediMulyadi1971

Redaksi : mediakita.co

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.